INGGERIS lagi gawat secara ekonomi, tapi kesenangan hidup tak
seluruhnya berhenti. Khususnya bagi tamu dari Arab.
Di Earls Court atau Bayswater -- bagian mewah kota London,
seorang Arab hari-hari ini bisa berkata kepada seorang Arab
lainnya: "Di sini anda tidak akan ketemu dengan seorang
asingpun".
Agak berlebihan barangkali. Tapi kenyataannya memang menunjukkan
bahwa daerah-daerah itu sudah hampir jadi daerah Arab. Sejak
boom minyak mengalirkan petrodolar ke tangan para Sheik dari
jazirah Arab itu, London memang merupakan sebuah tujuan yang
menarik. Jumlah mereka yang terus datang dengan kocek penuh mata
uang itu setiap harinya bertambah, dan tahun 1976 diramalkan
orang sebagai "Tahun Arab" bagi ibu kota kerajaan Inggeris itu.
Ke tempat mewah lainnya, Cote D'Azur, Roma, Bon serta kota-kota
besar di Amerika, orang Arab itu juga berdatangan. Namun tak
disangsikan bahwa mereka itu lebih asyik dengan London. Di
London mereka merasa bisa santai menikmati hidup dan uang
mereka. Ada beberapa alasaan, tentu saja: di mata mereka,
tingkat hidup di London lebih murah. Bagi mereka yang lama
dijajah oleh Inggeris, alasan tambahan ada juga: adat kebiasaan
bekas tuannya itu mereka kenal betul. Juga bahasa Inggeris tidak
jadi masalah bagi mereka.
Menurut mereka yang membaca koran Inggeris, hampir setiap hari
muncul berita mengenai 'domino-domino' yang jatuh ke tangan para
Sheik itu: hotel-hotel mewah, rumah sakit, villa atau pun tempat
rekreasi. Seorang pangeran dari ke-Sheik-all Ras El Khaimah --
tidak bisa nampak di peta -- baru-baru ini menjadi pemegang
saham utama hotel mewah Dorehester. Mahdi Tajir dari Dubai --
duta besar Persatuan Emirat Arab -- membeli kastil Merryworth
dan benda-benda bergerak lainnya. Dengan membayarnya dengan uang
kontan, diperkirakan bahwa orang-orang Arab di London itu telah
menghabiskan uang sebesar Rp 70 milyar.
Resepsionis Cina
Dan Inggeris yang ekonominya memang lagi payah itu nampaknya
memang telah siap menerima aliran uang dari orang-orang bekas
jajahannya itu. Segala-galanya sudah dipersiapkan secara Arab
atau Timur Tengah. Kalau mereka akan pergi ke rumah sakit
Wellington, di sana bahkan mereka tidak usah susah-susah
berbahasa Inggeris, sebab para resepsionis adalah gadis-gadis
Arab lengkap dengan petunjuk-petunjuk yang juga tertulis dalam
bahasa Arab. Pasien-pasien yang sebagian besar adalah orang Arab
boleh memesan makanan Arab untuk tamu-tamu mereka sesukanya.
Sambil menikmati film-film Arab yang diputar lewat pemancar tv
jarak dekat -- antara lain versi Arab dari The Messenger,
tentang Nabi yang dihebohkan -- mereka mendapat perawatan di
rumal sakit mewah itu.
Kendati pun tidak semua orang Arab itu bersembahyang Jumat, tapi
bagi mereka yang mau, di Regent Park tersedia mesjid untuk itu.
Tidak jauh dari sana ada Omar Khayam. Di sini kehidupan malam
berlangsung dengan santai bagi orang-orang Arab yang mendadak
kaya itu. Konon pula penyanyi Mesir yang didatangkan oleh
manajer Omar Khayam itu cuma tergolong penyanyi klas dua. Meski
pun demikian, langganan-langganan klab macam itu tidak
mempersoalkannya. Selain barangkali mereka memang tidak terlalu
acuh dengan soal yang menyangkut klas-klas dari para penyanyi,
mereka sudah cukup puas dengan kesempatan bersantai -- hal yang
tidak mungkin mereka nikmati di Kuwait atau di Dubai. Maka dari
saku-saku mereka, mengalirlah uang-uang lembaran f5 (Rp 3500) ke
pinggul para penari perut yang kadang-kadang muncul ketika malam
sudah menjelang fajar.
Baju Poundsterling
Cerita-cerita yang lebih menarik dan sensasionil mengenai
orang-orang Arab di Inggeris sudah tentu juga ada. Dikisahkan
pula oleh sebuah surat kabar London mengenai seorang Sheik yang
membuat baju dari lembaran mata uang Inggeris untuk kemudian
dipakai kapada tubuh seorang penari perut -- siapa tahu ini
lambang inflasi poundsterling. Juga ada cerita mengenai Pangeran
Salman, Gubernur Riyadh (ibu kota Saudi Arabia) yang kalah f2
juta (Rp 1.4 milyar) di meja judi dalam waktu 3 malam. Dan orang
macam Salman ini dikabarkan pula sangat pemurah hingga suka
memberi persenan sebiji chips bernilai f100 (Rp 70 ribu) kepada
pelayan kasino. Semua ini memang mungkin terjadi atas diri orang
kaya mendadak, tapi sampai di mana kebenaran cerita-cerita yang
kadang-kadang fantastis ini, tentu tidak selalu mudah
dibuktikan.
Terhadap tingkah laku sejumlah kecil orang Arab yang sempat
menikmati hasil minyak negerinya itu, orang bisa bikin
macam-macam penafsiran. Ada menilai hal itu sebagai
pemberontakan terhadap kungkungan tradisi yang membelenggu
mereka di negerinya. Tapi ada juga melihat hal itu sebagai
cara membalas dendam terhadap orang Inggeris yang dulu menjajah
dan menghina mereka. Entahlah, tapi salah satunya atau keduanya
bisa benar. Bisa juga orang Arab itu cuma mau senang-senang saja.
Tapi ternyata London bukan cuma tempat untuk bersenang-senang,
sebab komentar yang menyedihkan mengenai dunia Arab juga
terdengar di sana. Ketika kemelut berdarah masih terus melanda
Libanon, ketika orang-orang Palestina masih terus hidup dalam
tenda-tenda yang pengap, ketika dunia Arab dipenuhi silang
sengketa, sejumlah kecil orang Arab memasuki toko-toko mewah di
London dengan tidak usah menggunakan bahasa Inggeris, sebab
semua harga dan keterangan mengenai barang di toko itu sudah
ditulis dalam bahasa Arab. Terhadap kenyataan macam ini seorang
intelektuil Arab di London memberikan komentarnya: "Kini adalah
masa di mana para pemimpin kami harus berkonsultasi dengan teori
Ibnu Khaldun. Mereka harus mempertanyakan kalau-kalau masyarakat
Arab telah mencapai tahap ke-5 dari teori Ibnu Khaldun yang
meramalkan runtuhnya sebuah negara, ketika penghamburan dan
sifat lupa daratan sudah menjadi amat nyata".
Ramalan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah dan ahli kemasyarakatan
Arab abad ke 14. Pada tahap ke-5 dari teorinya, ia menyebutkan
bahwa elit yang memerintah di suatu negara mempercayakan
administrasi kepada tentara dan birokrat yang diimpor. Dan
elit-elit ini mengabdikan dirinya kepada hidup yang penuh dengan
kemewahan serta kesenangan. "Sebagian besar waktu mereka disita
oleh pemeliharaan kesehatan", tulis orang pandai Arab itu --
bagaikan meramal.
Dan gejala macam ini memang sudah terjadi pada Kuwait. Di sana
suatu minoritas orang asli makin kecil saja jumlahnya sementara
para pendatang makin bertambah banyak. Dan kaum pendatang --
Palestina, Pakistan dan India -- yang mengerjakan tugas-tugas
kenegaraa, meskipun sama sekali tidak punya politik .
Orang-orang pribumi Kuwait sendiri kabarnya sibuk memelihara
kesehatan mereka sembari menikmati yang keluar dari perut bumi
dalam bentuk minyak. Untuk keperluan itu, Kedutaan Besar Kuwait
di London mempunyai bagian khusus yang unik, "Atase Kesehatan".
Bagian unik dari kedutaan itu tahun ini saja telah mengurus 1000
orang Kuwait pribumi yang khusus datang ke London untuk
perawatan kesehatan. Tentu saja mereka memilih klinik-klinik
mewah, dan Inggeris yang ekonominya memang butuh transfusi itu,
terpaksa harus bersukur dapat pemasukan tambahan sebesar Rp 2,1
juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini