TAK kurang dari 764 imigran gelap Hoa Kiauw baru-baru ini telah
melapor di imigrasi Bandung (TEM PO, 30 Oktober- Hukum).
Beberapa di antaranya berhasil ditemui Abdullah Mustappa,
koresponden TEMPO di Bandung. Berikut ini laporannya:
Kuo MS (39). wanita kelahiran Bandung, tatkala masih jadi murid
kelas 2 SMP Ching Hua di Bandung pada tahun 1960, berangkat ke
Hongkong bersama rombongan sekolahnya. Mencari penghasilan
dengan menjahit, lalull 1967 ia kawin dengan Tong JW (36)
kelahiran Tangerang. Pemuda Tong berangkat ke Hongkong akhir
1959, juga bersama rombongan sekolah. Bekerja di pabrik tegel
dengan gaji Hk$ 1.000 sebulan, suami-isteri itu kemudian
menempati sebuah ruangan dengan sewa HK$ 300 sebulan. Namun sang
isteri yang merasa tak kerasan dan ingin kumpul dengan kedua
orangtuanya yang masih tinggal di Jl. Cihampelas Bandung,
akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Karena tak memiliki surat-surat yang sah, mereka lalu
menghubungi Mr Lie -- yang dikenal tukang mengurus paspor dan
dokumen lainnya. Kepada TEMPO, Ny. Tong mengatakan "tak mengenal
nama lengkap Lie, apalagi tempat tinggalnya". Sang nyonya yang
bertindak sebagai jurubicara -- Tong sendiri mengaku tak lagi
bisa bicara Indonesia -- kemudian menerangkan bahwa segala surat
yang diperlukannya berhasil diurus Lie dengan biaya Hk$ 6.000.
Dengan biaya yang jatuh sekitar Rp 528.000 itu, Lie bahkan
mengantar kedua orang itu hingga selamat mendarat, di lapangan
terbang Kemayoran pada awal 1974. "Mr Lie juga yang mencarikan
taksi untuk kita", kata ny. Tong. Tapi setelah itu terus
berpisah. Ny. Tong yang kini sedang mengandung bayi pertama --
bersama suaminya datang melapor ke kejaksaan dan imigrasi pada
tahun 1976.
* Liauw HS (27) baru datang melapor bulan Oktober lalu. Dia juga
masuk ke Indonesia secara tidak sah via Kemayoran di tahun 1974.
Pemuda kelahiran Jakarta ini berangkat ke RRT pada Juni 1966,
meninggalkan orangtuanya yang berdagang hasil bumi. Di RRT sana
memang masih ada 2 orang saudaranya. Merekalah yang membantu
Liauw yang meneruskan sekolah di Canton. "Tapi baru satu
setengah tahun juga sudah tidak tahan". katanya. Kemudian kabur,
jalan kaki lewat pegunungan, naik kereta api sampai akhirnya
tiba di Kowloon (Hongkong). Akhirnya kerja di pabrik plastik
dengan gaji Hk$ 700 sebulan. Kemudian ia juga ingat sama
orangtuanya yang masih di Jakarta. Dengan ongkos Hk$ 5000 ia
akhirnya memperoleh paspor dan surat-surat lain yang
diperlukannya dari seorang yang ia ketahui sebagai Mr. Wou.
Segalanya ia terima di kapal terbang untuk kemudian diminta
kembali setelah tiba di Jakarta.
* Chu Ch. H (40) tamat SMA pada tahun 1955 di Hoa Kiauw Midle
School Bandung. "Untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi
rasanya sulit, karena sampai SMA bahasa pengantar waktu sekolah
adalah Mandarin", kata Chu. Anak tunggal ini akhirnya berangkat
ke Hok Kian di RRT pada bulan Maret 1960. Di sini, ia lulus
sarjana pertanian pada tahun 1964. Tiga tanun kemudian ia
menyeberang ke Hongkong dan kawin pada tahun itu juga. Dan
bekerja di sebuah kontraktor bendungan. Walaupun sudah
memperoleh dua anak, toh Chu terus berusaha untuk kembali ke
Indonesia, berkumpul kembali dengan ibunya yang sudah jadi WNI.
Tanya sini tanya sana, tak ada kawannya yang sanggup membantu.
Sampai akhirnya ia mendapat telepon dari seseorang yang
menyanggupi untuk mengurus keperluannya, asal ongkosnya Hk$ 9500
seorang.
"Sampai naik pesawat, kami tidak tahu paspor apa yang kami
pergunakan", kata Chu, "sebab itu sudah menjadi perjanjian
sebelumnya". Sampai akhirnya ia turun di Singapura. Di sana
menginap selama tiga malam, untuk kemudian terbang lagi ke
Jakarta. "Kami berpisah dengan pengantar kami di hotel
Borobudur", kata Chu. "Lalu naik taksi ke Bandung". Karena
ibunya punya kenalan seorang pegawai imigrasi, esok harinya Chu
anak-bini terus melapor.
Mereka itu semua temasuk di antara 764 orang imigran gelap yang
melapor di Jawa Barat, seperti dilaporkan oleh Kepala Imigrasi
Wilayah IV Jawa Barat dan Jawa Tengah, A. Satari, kepada Menteri
Kehakiman baru-baru ini. Jumlah sebanyak itu adalah yang melapor
selama 14 bulan sampai bulan September 1976 ini. "Umumnya memang
mereka mengaku masuk tidak sah ke Indonesia ini sekitar tahun
1974", kata sebuah sumberTEMPO di imigrasi. Alasannya: "Ingin
berkumpul dengan mamah atau papah yang telah lanjut usia.
Masuknya imigran gelap ke Indonesia sudah disinyalir sejak lama.
Pada tahun 1968 misalnya, imigrasi bekerjasama dengan Pepelrada
waktu itu, berhasil menangkap 28 orang imigran gelap. Mulanya
tertangkap satu orang. Setelah ditahan beberapa lama, kemudian
dilepaskan kembali dengan perjanjian. Harus menganjurkan imigran
gelap yang lainnya yang kebetulan ia ketahui untuk segera
melapor. Yang 28 orang ini terus diperiksa sampai akhirnya
disidangkan. Vonnis yang dijatuhkan pada mereka umumnya denda
atau kurungan. Ada yang didenda Rp 3000, atau kurungan 2 bulan.
Bahkan menurut sebuah sumber di imigrasi, ada pula yang harus
diusir. "Tapi diusir ke mana?" tanya sumber itu. Alhasil, mereka
ini akhirnya hanya diwajibkan melapor saja.
"Pada tahun 1975, pernah pula diadakan operasi Satya Warga",
kata Sadjidi SH dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat di kantornya.
Operasi itu sendiri ditutup tanggal 20 Agustus tahun kemarin.
"Tapi imigran gelap yang melapor, terus berbondong-bondong
sampai sekarang", kata Sadjidi lagi. Cara mereka datang melapor
sendiri ini patut diperhatikan. Biasanya, baik waktu melapor ke
imigrasi maupun melapor ke kejaksaan, umumnya diantar oleh
orang-orang yang dulunya membuka biro perjalanan tapi kemudian
ditutup tahun kemarin karena terlibat dalam perkara pemasukan
imigran gelap ke Indonesia. Perkara biro-biro perjalanan itu
sendiri sudah diproses, tapi belum disidangkan ke pengadilan.
Entah apa sebabnya. "Bahwa mereka kemudian mengantar imigran
gelap untuk melapor, itu tidak jadi soal", kata Sadjidi. Bagi
orang yang suka memperhatikan, baik di imigrasi atau di
kejaksaan, ada empat orang yang paling banyak mengantarkan
imigran-imigran gelap waktu melapor. Bahkan Liauw itu tadi
misalnya, sengaja datang dari Jakarta, untuk kemudian diantar
orang lain waktu melapor. "Ibu yang nyuruh", kata Liauw waktu
ditanyakan dimana ia kenal dengan pengantarnya.
Sadjidi tak membantah kemungkinan imigran gelap yang akan datang
melapor akan terus bertambah. Cuma yang mengherankan fihak
imigrasi, mengapa mereka hanya melapor di Bandung saja? "Atau
apa mereka betul mendarat di Kemayoran, bukan di Medan atau
Palembang?" tanya sumber TEMPO di sana. Dari catatan yang ada,
kebanyakan para imigran gelap ini mengaku tidak pernah melihat
paspor apa yang telah mereka gunakan. Kalaupun ada yang dapat
disita, umumnya paspor negara-negara ASEAN, kecuali Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini