Dua negara komunis raksasa rujuk lagi. Cina tak ingin mesra dengan Soviet seperti tahun 1960-an. Cara boleh berbeda untuk mencapai sosialisme. APA yang dibicarakan bila dua kepala negara raksasa komunis bersua? Ternyata, mereka saling menasihati. Jiang Zemin, Sekjen Partai Komunis Cina memberi nasihat: "Stabilitas nasional perlu, demi keberhasilan reformasi." Tuan rumah Gorbachev pun menjawabnya sambil balik memberi petuah bahwa setiap negara berhak menentukan pilihan jalan yang ditempuh untuk mencapai masyarakat sosialis. Keduanya, dalam pertemuan tiga jam di Moskow pekan lalu, sepakat dengan nasihat terakhir, yaitu, apa pun jalannya, yang penting sampai ke tujuan. Itulah kegiatan pada Rabu pekan silam, hari pertama kunjungan lima hari Jiang ke Uni Soviet. Kedatangan Jiang memang peristiwa besar karena itu merupakan kunjungan seorang pemimpin tertinggi PKC sejak 1957, ketika Mao Zedong bertandang ke Moskow. Waktu itu Mao berusaha berunding dengan Nikita Khrushchev untuk menyelesaikan konflik Cina-Soviet yang masih belum terbuka. Seperti kedatangan Mao lebih dari 30 tahun yang silam, kehadiran Jiang di Moskow kali ini juga untuk menjembatani sengketa yang sudah berlangsung 40 tahun. Jiang nyatanya lebih berhasil daripada Mao. Pada hari kedua, Cina dan Soviet berhasil menyelesaikan sebagian dari masalah perbatasan di timur. Menlu Qian Qichen dan Menlu Alexander Bessmertnykh menandatangani persetujuan yang menyangkut perbatasan kedua negara sepanjang 7.300 km. Walau rincian kesepakatan tak diumumkan, kesepakatan itu dinilai sebagai suatu kemajuan besar. Masalah perbatasan berkembang sejak Negeri Naga diperintah oleh dinasti-dinasti dan Negeri Beruang dikuasai para tsar. Wu Jianmin, juru bicara Deplu RRC, memujinya sebagai langkah awal "untuk menutup masa lalu dan membuka masa datang". Tak lama sebelum persetujuan ditandatangani, pemerintah Cina mengumumkan akan segera membuka sebuah kantor konsulat di Kota Khabarovsk. Sejarah hubungan Cina-Soviet dimulai pada 1949, tak lama setelah Mao memproklamasikan berdirinya RRC. Atas dasar pertimbangan ideologi dan keadaan internasional pada waktu itu, Mao kemudian mengumumkan sepenuhnya berpihak kepada Moskow dalam polarisasi Barat-Timur seusai Perang Dunia II. Cina juga memutuskan, sebagai negara sosialis, ia harus mengikuti "model Soviet" dalam pembangunan ekonomi dan program modernisasinya. Malah, pada 1950, kedua negara menandatangani perjanjian persahabatan dan aliansi militer. Soviet kemudian menumpahkan ratusan juta dolar ke Daratan Cina. Puluhan ribu teknisi Soviet dikirim untuk membantu pembangunan Cina. Sebaliknya, ribuan mahasiswa Cina ditugasi belajar di Soviet sampai bahasa Rusia sempat menjadi bahasa kedua di Cina. Tapi, menjelang pertengahan 1950-an, hubungan antara kedua raksasa komunis ini mulai renggang. Prosesnya dimulai ketika Mao sadar bahwa "model Soviet" itu tak cocok dengan kebutuhan Cina. Untuk menciptakan masyarakat sosialis, Cina harus mencari jalan sendiri. Hubungan renggang berubah menjadi konflik ketika Khrushchev, dalam kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet, mengucapkan pidato yang menyerang Stalinisme dan kultus individu. Ia juga mengemukakan tesis tentang kemungkinan sistem sosialisme bisa berdampingan dengan kapitalisme. Mao, sebagai sekutu terpercaya dan terbesar Soviet, tersinggung berat. Apalagi di Cina, pada saat itu, sedang tumbuh pemujaan yang berlebihan terhadap Mao. Sampai-sampai serangan Khrushchev atas kultus individu terhadap Stalin itu dianggap sebagai sindiran kepada Cina. Pertentangan menjadi-jadi setelah Soviet menarik semua bantuan teknik dan ekonominya sebagai protes atas langkah Mao pada 1957, yang melancarkan "Gerakan Lompatan Jauh ke Muka". Ini dicap sebagai "petualangan" ekonomi. Soviet juga bersikap tak mendukung Cina, yang pada 1958 sedang mempersiapkan pembebasan Taiwan. Yang paling menyakitkan Cina adalah perang perbatasan Cina-India 1962. Mao sangat berang karena Soviet mendukung India. Soviet dituduh berkhianat dan berpihak dengan kaum borjuis yang melancarkan konflik dengan kaum proletar. Konflik mencapai puncaknya pada 1963, ketika Soviet -- bersama negara-negara Barat -- ikut meneken perjanjian pelarangan percobaan senjata nuklir di atmosfer. Cina mencap Soviet telah bersekutu dengan negara-negara imperialis untuk memonopoli senjata nuklir. Cina kesal karena Soviet selain menarik bantuan ekonomi, juga menyetop bantuan untuk pengembangan senjata nuklir. Sentimen anti Soviet memuncak dalam Revolusi Kebudayaan di Cina. Menjelang 1970, konflik terselubung menjadi terbuka secara fisik. Pertentangan mereda sepeninggal Mao pada 1976 dan perubahan politik di Cina sejak 1979 walaupun ia masih curiga dengan invasi Soviet ke Afghanistan. Walaupun kedua negara telah rujuk, tak berarti hubungan antara mereka akan semesra tahun 1950-an. Para penguasa Cina yang masih menganut Stalinisme tetap menganggap bahwa reformasi dan liberalisasi yang dilaksanakan Gorbachev sebagai pengkhianatan terhadap ajaran komunis. Prinsip-prinsip di atas tergambar dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Jiang. Pernyataan itu menekankan kedua pihak akan bekerja sama demi terciptanya "tatanan dunia baru". Bahkan, sebelum kembali ke Beijing, Jiang mengatakan, "Normalisasi tak berarti kembali ke pola aliansi seperti 1950-an." Artinya, Cina tak mau sekadar menjadi "adik" yang harus tunduk kepada saudara tuanya. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini