Diplomat yang suka bicara terbuka itu meninggal pekan lalu. Pemerintah dan rakyat Australia bersedih. SEORANG lelaki jangkung berambut pirang agak lama memegangi tangan Nyonya Saur Halomoan Dominika Tambunan, selepas upacara pemakaman jenazah Mayor Jenderal (Purn.) August Marpaung, 65 tahun, di TMP Kalibata, Jakarta, Sabtu siang lalu. Dialah Philips Flood, yang bersama istrinya memberi perhatian khusus pada sang jenderal, yang meninggal 16 Mei lalu. Dari sakunya, Dubes Flood mengeluarkan sepucuk surat untuk Nyonya Marpaung. Isinya: ucapan belasungkawa dari Menlu Australia, Senator Gareth Evans. "Pemerintah dan rakyat Australia merasa sedih mendengar berita wafatnya August Marpaung, bekas duta besar Indonesia untuk Australia (1984-1987)," kata Menlu Evans. "Marpaung adalah dubes Indonesia yang amat efektif dan berhasil." Pernyataan Menlu Australia yang disiarkan sebagai edaran pers itu memuji kelincahan Marpaung dalam menghadapi pers di Negeri Kanguru, "di saat-saat hubungan yang tak selalu mudah." Barangkali tak banyak yang tahu bahwa Marpaung, menurut Evans, berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar kerja sama yang lebih erat antara kedua negara, terutama dalam beberapa tahun ini. Dan itu, terakhir "tercermin dengan berhasilnya perjanjian kerja sama di kawasan Celah Timor, dan dilanjutkannya pertemuan yang berjalan lancar antara para pejabat kedua negara di Canberra, pekan lalu." Wartawan Australia mana yang tak kenal August Marpaung, anak Porsea, Tapanuli Utara, yang fasih berbahasa Inggris, dengan gayanya yang khas, blak-blakan. Itu sebabnya Menlu Evans mengatakan, "Berkat Marpaung, orang Australia bisa lebih mengerti cara pandang orang Indonesia." Dia pernah bicara di National Press Club, di Canberra, yang dikenal sebagai "sarang macan", di saat pers di Australia masih gencar mengkritik soal integrasi Tim-Tim, dan soal pelintas batas Irian Jaya-PNG. Humornya, yang sering mengundang tawa, mampu mencairkan perdebatan yang kadang disertai dengan menggebrak meja. Itu pula sebabnya dia, oleh pers di Australia, seperti ditulis buku Apa & Siapa terbitan Pustaka Grafiti, pernah disebut sebagai "the top ambassador". "Hebat. Ia betul-betul menguasai pers, dan pribadinya hangat," komentar Jim Dunn, penulis buku Timor, ketika itu. Mochtar Kusuma-Atmadja, yang ketika itu menjadi menteri luar negeri, menjulukinya "perintis diplomasi blak-blakan". Dan bagi diplomat kawakan Roeslan Abdulgani, yang pernah menjadi atasan Marpaung ketika sama-sama bertugas di Perwakilan Tetap RI di New York, almarhum mengingatkannya pada gaya diplomasi Haji Agus Salim di awal revolusi, dan dirinya sendiri. "Dia memang suka ceplas-ceplos, tapi menguasai masalah," kata Roeslan. Penguasaannya atas masalah politik dan pers tidak datang sesaat. Dua tahun sejak 1971 ia pernah menjadi Kepala Pusat Penerangan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Apalagi selama lima tahun sebelum bertolak ke Australia, ia menjabat sebagai pemimpin umum dan pemimpin redaksi LKBN Antara. Sementara itu, kemampuannya berdiplomasi memang tumbuh sejalan dengan kariernya. Dan kariernya yang terlama memang sebagai diplomat: di PBB, Amerika Serikat, Kuba, Senegal, Mozambik. Dan selama itu, diplomat yang suka membaca, bermain golf, dan catur ini juga menyempatkan diri mengunjungi beberapa negara Amerika Latin seperti Guatemala, Nikaragua, Honduras, El Salvador, dan Kosta Rika. Bekas Menteri Luar Negeri Australia, Bill Hayden, menilai Marpaung sebagai "duta besar RI terbaik yang pernah ditempatkan di Australia". Almarhum dinilai sangat ulet, dan pandai bergaul. Selalu konsisten, dan berusaha menepati janji di tengah kesibukannya. Analisanya tajam dan mampu berkomunikasi dengan siapa saja. Dubes Philips Flood juga sangat terkesan akan kepribadian dan peran Marpaung untuk mendekatkan kedua negara. "Ia tidak pernah takut menjawab segala macam pertanyaan mengenai Indonesia. Ia sangat yakin karena menguasai masalah," katanya. "Ia orang yang sangat terbuka dan jujur (forthright)," ujarnya berkali-kali. Tak heran bila Presiden Soeharto menilai August Marpaung sebagai duta besar RI yang sangat berjasa. Almarhum adalah penerima sejumlah bintang kehormatan. Antara lain Bintang Gerilya, Bintang Sewindu Kemerdekaan, Satyalencana Kemerdekaan I dan II, Satyalencana Kesetiaan VIII, XVI, dan XXIV, Bintang Kartika Ekapaksi, serta Bintang Satyalencana Penegak. Sabam Siagian, 59 tahun, yang baru minggu lalu meletakkan jabatannya sebagai pemimpin redaksi The Jakarta Post, setelah dilantik sebagai Dubes RI di Australia, melihat August Marpaung sebagai "guru saya, bapak saya, juga abang saya". Selama dua setengah tahun, Sabam pernah menjadi asisten eksekutif ketika almarhum menjabat penasihat militer dan kepala bagian hukum internasional pada Perwakilan Tetap RI untuk PBB itu. Sepulang dari Australia, August Marpaung, yang ketika itu masih kelihatan sehat, tak lagi melanjutkan kariernya di pemerintahan. Dia akhirnya memilih bekerja di sebuah perusahaan swasta yang berpusat di Medan. "Ya, mau apa lagi sekarang. Kita cari duit sajalah," demikian ia pernah berkata kepada TEMPO. Tampaknya, ia tak begitu kerasan dengan dunianya yang baru. Lebih dari setahun lalu, ayah dua anak itu terdengar mengidap sakit lever. Baru kemudian diketahui, ia juga terserang kanker tulang. Ia meninggal setelah selama 11 hari bergelut melawan maut. Selamat jalan, Jenderal. Budiman S. Hartoyo, Sri Indrayati, Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini