Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wajah-wajah bijak

Kehidupan dan pandangan beberapa purnawirawan abri antara lain letjen (purn.) soedirman, jenderal (purn.) abdul haris nasution, marsekal madia (purn.) boediardjo, letjen (purn.) kemal idris.

25 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang ingin tetap bertahan di tengah, ada yang menganggap wajar masuk partai politik. Semua dijamin oleh UUD '45. Letnan Jenderal (Purn.) Soedirman INILAH profil tentara tulen: Soedirman. Sekalipun sejak pensiun aktif memimpin Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyah (PTDI), dan pernah jadi anggota Majelis Ulama Indonesia (1965 dan 1975), ia menolak masuk orpol Islam. "Saya ingin berdiri di tengahtengah," katanya menolak tawaran yang disodorkan. Alasan itu yang mendorong Soedirman, 78 tahun, yang pernah jadi anggota Dewan Pertimbangan Pepabri, mundur dari organisasi purnawirawan tersebut karena ada keharusan masuk Golkar. Ia kelihatan tetap akan mempertahankan prinsip berdiri di tengah-tengah itu sekalipun putranya, Brigjen. (Purn.) Basofi Soedirman, kini menjabat Ketua DPD Golkar DKI Jakarta. Tapi Soedirman tak ambil pusing pula dengan masuknya sejumlah purnawirawan ke PDI. "Boleh-boleh saja mereka masuk ke sana. Kan tidak menyalahi Undang-Undang Pemilu," katanya. Bekas Pangdam Brawijaya yang sibuk mengurus dakwah Islam ini sedang menyiapkan buku Liku-Liku Prajurit Pejuang dalam Bahtera Pancasila. Salah satu keinginannya, dan ini konon tak dapat ditawar-tawar, ingin dikubur bersisian dengan makam istrinya, Masriah. Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution TOKOH peletak dasar siasat perang gerilya Indonesia ini sekarang lebih banyak diam di rumah sambil menulis buku. Pernah coba-coba "bergerilya" lewat Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, dan sempat mengirim Berkas Putih (catatan mengenai upaya menegakkan UUD 1945 dan Pancasila) ke DPR, lalu tak lama kemudian ikut menandatangani Petisi 50 yang menghebohkan itu. Pada masa tuanya, Nasution, kini 73 tahun, masih aktif menulis. Ia telah menyelesaikan delapan jilid buku Memenuhi Panggilan Tugas -- meliputi kisah masa kecil, masa perang kemerdekaan, sampai saat menjabat Ketua MPRS di awal pemerintahan Orde Baru -- serta belasan makalah. "Buat menambah-nambah uang pensiun," katanya. Meski pernah menjabat KSAD, Menko Polkam, dan Ketua MPRS, Nasution mengaku uang pensiunnya (total sekitar Rp 900.000) tak cukup untuk membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) rumahnya yang terletak di Jalan Teuku Umar 40, Jakarta Pusat. Tak aktif di Pepabri, Nasution tak melihat masuknya sejumlah purnawirawan ABRI ke PDI bukan suatu dosa. "Pasal 27 UUD 1945 menegaskan, kedudukan semua warga negara RI dalam hukum dan pemerintahan adalah sama. Tak ada kecualinya. Jadi, bagi purnawirawan ABRI juga tiada kelainan," katanya. Marsekal Madia (Purn.) Boediardjo TERNYATA tak semua purnawirawan beranggapan bahwa masa pensiun harus diisi dengan kegiatan bisnis atau politik. Itulah pendapat Boediardjo, 70 tahun, yang sejak tak lagi menjabat Menteri Penerangan (pensiun pada 1974), aktif di bidang sosial -- mulai dari mengurus anggrek, masjid, sampai wayang. "Seorang purnawirawan memang harus cari kesibukan agar tak merasa dikucilkan. Tapi kesibukan itu tak selalu harus di bidang bisnis atau politik," katanya. Pensiunan perwira tinggi TNI AU itu mengaku, kesibukannya selama 17 tahun terakhir hampir seluruhnya dicurahkannya pada kegiatan sosial dan mengembangkan hobi di bidang fotografi. Ia, misalnya, sudah 15 tahun ikut aktif mengelola Masjid Istiqlal, Jakarta. "Saya bukan kiai, bukan santri, tapi toh diperlukan dalam mengelola masjid untuk masyarakat luas," tambahnya. Di bidang fotografi, sudah ribuan slide dihabiskan Boediardjo untuk merekam berbagai obyek, terutama yang menyangkut pengembangan pariwisata. Ia memang punya pondok tinggal untuk remaja di kawasan wisata Candi Borobudur, Magelang, dan empat hektare kebun anggrek di Ciputat, Jakarta. "Semua itu sifatnya setengah bisnis," ujar Boediardjo. Tarif pondok tinggalnya disesuaikan dengan isi kantung remaja, dan kebun anggreknya dipakai juga untuk kebun percobaan. Barangkali kepuasan itu yang membuat anggota Akademi Jakarta ini tak berpikir untuk terjun di bidang politik. Bahkan ia heran ada orang yang mempersoalkan purnawirawan dan pemilu. "Gejala itu lumrah. Apalagi menjelang pemilu," katanya kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Ia menambahkan, wajar saja bila ada purnawirawan ABRI bersimpati kepada parpol. "Mereka yang santri tentu akan bersimpati pada PPP. Mereka yang dulunya pengagum Bung Karno sekarang mendukung PDI. Itu hak asasi seseorang, dan tidak dilarang." Mengenai penyebab sejumlah purnawirawan memilih parpol sebagai media penyalur aspirasi mereka, menurut Boediardjo, mungkin karena mereka tidak bisa menyalurkannya di Golkar. "Kadang-kadang anak kandung saja tidak dapat menyalurkan aspirasinya dalam keluarga, apalagi menyalurkan aspirasi dalam lingkungan besar seperti Golkar," kata Boediardjo. Ia mungkin benar. Letjen. (Purn.) Kemal Idris BAGI Kemal Idris, 68 tahun, seorang purnawirawan ABRI bebas untuk memilih OPP yang mereka sukai. "Bagaimanapun, kebebasan itu sudah diatur oleh UUD 45 dan Pancasila," katanya. Bekas Pangkostrad ini menambahkan, tindakan sejumlah purnawirawan ABRI menyokong parpol etis saja. Maka, Kemal tak setuju jika ada purnawirawan dihalang-halangi masuk parpol. "Biarkan mereka memilih sendiri. Kalau dihalangi, bisa jadi masalah," ujarnya. Ia juga keberatan jika konsep Saptamarga dihubungkan dengan kebebasan memilih. "Saptamarga itu menyangkut soal pengamanan negara, sedangkan parpol juga menyangkut keamanan negara," ujar Kemal melanjutkan. "Lagi pula, tak ada undang-undang yang melarang purnawirawan ABRI aktif di parpol." Ayah lima anak yang kini jadi pengusaha hotel ini mengaku belum tertarik mengikuti jejak sejumlah rekannya yang masuk parpol. "Tapi bukan berarti saya tak ikut memilih," katanya. Mengenai pilihannya, Kemal, yang berterus terang bukan anggota Golkar, akan memilih yang terbaik di antara ketiga OPP yang ada. Pensiun pada 1977, Kemal menjaga kesehatan dengan jogging setiap pagi, dan main golf sekali seminggu. Mayor Jenderal (Purn.) Slamet Danoesoedirdjo NAMA samarannya: Pandir Kelana. Ia adalah salah seorang dari segelintir anggota ABRI yang tercantum di deretan seniman Indonesia. Dari tangan Pandir Kelana memang telah lahir sejumlah novel: Kereta Api Terakhir (yang kemudian difilmkan), Kadarwati, Ibu Sinder, Rintihan Burung Kedasih, Suro Buldog, dan Tusuk Sanggul Pudak Wangi. Tak heran bila Slamet pada 1983 terpilih sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta, sebuah lembaga pendidikan kesenian di lingkungan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Namun, sekitar enam bulan lalu ia minta berhenti. "Capek ngurusi seniman," katanya. Di dunia militer, karier tertinggi Slamet sebagai Deputi Asisten IV KSAD. Setelah itu ia mengembara ke berbagai instansi: pada 1968 menjabat Wakil Ketua Bappenas, selang empat tahun loncat sebagai Dirjen Bea Cukai, lalu terpilih jadi Sekjen Departemen Perhubungan. Tahun 1980, pensiun sebagai tentara, dan tiga tahun kemudian terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Sejak tergabung dalam Pepabri, Slamet kini 66 tahun, sudah bertekad tak akan mengembara ke dunia politik. Jiwanya masih militer 100%. Ia kini sedang menggarap tulisan-tulisan yang berkaitan dengan ABRI, dan akan dimuat secara bersambung di harian Berita Yudha. Jenderal (Purn.) Widodo IA tampak 10 tahun lebih muda dari usia sesungguhnya -- 65 tahun. Tak heran bila KSAD periode 1978-1980 ini masih berwibawa. Ia masih dipercaya menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Pepabri. Mengenai masuknya sejumlah purnawirawan ABRI ke PDI, kata Widodo, prosesnya sudah berlangsung lama. "Pepabri tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi mereka itu bukan tokoh terkenal," ujarnya. Widodo menambahkan, purnawirawan ABRI (yang terdaftar di Pepabri hanya sekitar 90% dari 600.000 orang) punya kebebasan menyalurkan aspirasi politik mereka. Tak ada larangan untuk berpolitik, dan tak ada keharusan masuk Golkar. Meski anggota Pepabri, Widodo mengaku tidak memegang kartu tanda anggota Golkar, apalagi tanda anggota parpol. "Jadi, saya ini netral," katanya. Selain aktif di Pepabri, Widodo juga sibuk di dunia bisnis dan kegiatan sosial. Purnawirawan yang punya hobi jogging dan naik sepeda ini adalah presiden direktur perusahaan kaleng PT Indocan Mulia, presiden komisaris perusahaan properti PT Getraco Utama, Ketua Yayasan Guntur Madu (bertanggung jawab memelihara anjungan Yogya di Taman Mini Indonesia Indah), dan Ketua Yayasan Bela Tanah Air (bergerak di bidang dokumentasi perjuangan anggota Peta). Ketika menjabat KSAD, Widodo sempat mendirikan Fosko ABRI, guna merangsang anggota menyalurkan ide dan saran kepadanya sebagai pimpinan tertinggi TNI AD. Ternyata, ide dan saran yang disampaikan juga disebar ke luar. Karena tak ada lagi kedisiplinan, Fosko yang bertahan setahun itu dibubarkan Widodo. Ayah tiga anak dan kakek 13 cucu ini -- yang mengaku uang pensiunannya hanya Rp 230.000 per bulan, -- kini hidup nyaman di rumahnya yang asri di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jenderal (Purn.) Soemitro SETELAH meletakkan jabatan Pangkopkamtib pada 1974, enam tahun kemudian Soemitro, 64 tahun, terjun ke dunia swasta. Sekarang ia menjabat sebagai Komisaris Utama Rigunas Group -- yang membawahkan belasan perusahaan yang diurus anak, mantu, dan kawan-kawannya. Tapi masih tetap senang mengamati perkembangan politik di Tanah Air. Sejak semua kekuatan sosial politik mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas, menurut Soemitro, tak ada lagi perbedaan prinsip antara Golkar dan parpol. "Yang ada hanya persaingan dalam mengamalkan Pancasila," tambahnya. Maka, kata Soemitro, paling tidak ada dua keuntungan masuknya sejumlah purnawirawan ABRI ke dalam partai politik. "Di samping akan mempercepat pemantapan Pancasila dalam kehidupan partai, juga bakal meningkatkan bobot parpol, sehingga interaksi antara Golkar dan parpol bisa seimbang," tambahnya. Ia juga menilai masuknya sejumlah purnawirawan ABRI ke parpol sebagai hal yang tidak perlu ditakutkan Golkar. "Golkar sudah besar sekali, kok. Sementara purnawirawan yang masuk ke parpol hanya segelintir," katanya. Tapi dampaknya bisa besar kan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus