Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Si Dogol Pun Dilarang

Bentrok antara nelayan tradisional dengan pemakai pukat senso (dogol) di perairan sumatra utara. km. usaha bersama yang dicurigai memakai pukat senso, ramai-ramai dirusak dan dibakar. (nas)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIWAYAT pukat harimau (trawl) memang sudah tamat. Tapi awal Desember lalu, pihak yang berwajib di perairan Sum-Ut kembali menangkapi pukatpukat senso. Pukat yang juga disebut dogol (Danish seine), yang banyak dioperasikan setelah pukat harimau dilarang, dianggap bikin gara-gara lagi. Alkisah, Minggu 21 November, sekitar 100 nelayan tradisional kota itu telah menangkap empat kapal bermotor pemakai pukat senso. Berbeda dengan pukat harimau yang ditarik dengan kapal, si dogol atau senso itu ditarik dengan tangan ketika menangkap udang. Tapi buat para nelayan kecil, rupanya itu sama saja. Begitu cemasnya mereka sehingga kapal yang tak sedang beropera si pun ikut mereka giring ke pantai. Salah satu, kebetulan sedang digunakan oleh Kepala BNI 1946 Sibolga Abdul Aziz, bertamasya bersama keluarganya. Kemudian, Sabtu 4 Desember, para nelayan tradisional memergoki Usaha Bersama--yang dicurigai memakai pukat senso -- berlayar di depan Teluk Tapian Nauli. Secara spontan, 88 nelayan yang menaiki 22 kapal motor beramai-ramai menggiring kapal tersebut ke pantai Sibolga. Belum lagi kapal merapat, sekitar 100 meter dari pantai massa nelayan merusak dan membakar kapal berbobot 30 ton itu. Petang harinya, kapal milik Sarifudin Sitompul yang ia peroleh dari KIK (Kredit Investasi Kecil) Bank Bumi Daya Sibolga sebesar Rp 20 juta itu, tenggelam. Para nelayan yang marah itu, kemudian menyerahkan diri, begitu tentara dan polisi datang. Sekitar 30 nelayan langsung diperiksa di Makodim 0211 hingga malam hari. "Semua akan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku," ujar Kepala Staf Korem 023/KS Letkol Soepardi. Maksudnya, tidak hanya para nelayan yang membakar kapal yang akan dituntut, tapi juga awak kapal pukat dogol. Amarah nelayan tradisional ada sebabnya. Rupanya sejak lama rabo yang mereka pancangkan di tengah laut sebagai pemancing ikan sudah puluhan kali dirusak nelayan pemakai pukat senso. Rabo yang terbuat dari daun pinang itu disukai ikan karena baunya. Selama ini dengan memakai rabo para nelayan bisa menangguk 300-1.000 kg atau sekitar Rp 150.000 sehari semalam. Umumnya nelayan tradisional ini memakai kapal 6-8 PK dan menangguk ikan dengan jaring payang atau salam. "Tapi sejak pukat senso merusak rabo, untuk memperoleh Rp 2.000 pun sulit," ujar seorang nelayan. Namun Sarifudin Sitompul, 40 tahun, pemilik KM Usaha Bersama, membantah kapalnya merusak rabo. Pada hari naas itu kapalnya malahan tidak menangkap ikan, tapi sedang mencari kapal yang rusak di laut. Buktinya, awaknya cuma tujuh orang, sedang bila menangkap ikan harus berawak 17 orang. "Perang" antara nelayan tradisional dan pemakai pukat senso sudah lama berlangsung. Laksusda setempat, yang khawatir konflik itu betkembang luas, melancarkan Operasi Padu. "Sejak 2 Desember sudah sepuluh pukat senso kami tangkap," tambah Soepardi. Sebelumnya banyak yang diajukan ke pengadilan, malah 15 kapal pukat senso sudah divonis. Pemakai pukat senso umumnya nelayan penerima kredit KIK atau Keppres 39. Untuk bisa mengangsur kredit, agaknya para nelayan tersebut tergiur dengan harga udang yang Rp 5.000 per kilo (dibanding ikan kakap yang cuma Rp 500 per kilogram), hingga pukat sensolah yang dipakai. Lagi pula menurut mereka, alat penangkap ikan yang diizinkan Kepres 39 kurang efektif untuk menangkap ikan. Senin pagi pekan lalu, sekitar 50 kapal KIK dengan hampir seratus nelayan beramai-ramai ke tengah laut. Tentara dan polisi segera turun tangan, guna mencegah kemungkinan bentrokan. Ternyata para nelayan pukat senso hanya menaburkan bunga pada lokasi KM Usaha Bersama yang tenggelam. Muspida Kotamadya Sibolga dan Tapanuli Tengah segera sibuk. Petang hari 6 Desember itu, seluruh nelayan penerima KIK diundang. Walikota Khairudin Siregar menghimbau, agar semua nelayan turut membina kamtibmas di laut dan darat. Mendengar itu, para nelayan mengangguk-angguk. Malam itu Walikota Khairudin sekali lagi menegaskan "pukat senso tergolong trawl, dan karenanya terlarang serta melanggar Keppres 39/1980." Surat Edaran Gubernur Sum-Ut 2 Desember 1982 juga memperkuat keputusan ini. Sekretaris Ditjen Perikanan Purwono dan Sekjen HNSI Pusat Suyoto yang mengunjungi Sibolga awal Desember lalu juga berbicara serupa. "Di Cilacap, penggunaan trommelnet sebagai pengganti trawl cukup berhasil," kata Purwono. Tampaknya dia cenderung berpendapat, nelayan Sibolga perlu belajar dari rekan-rekannya di selatan Jawa itu. Maka ia merencanakan mengirim dela pan nelayan Sibolga ke Cilacap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus