Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DRAMA penyanderaan sepuluh warga negara Indonesia oleh kelompok bersenjata Abu Sayyaf belum usai. Hingga Jumat pekan lalu, mereka masih disembunyikan di wilayah yang dikuasai pemberontak Filipina itu. Negosiasi terus berlangsung. Kelompok Abu Sayyaf meminta uang tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp 15 miliar. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan pemerintah memilih menempuh upaya negosiasi untuk membebaskan mereka. "Penyelesaiannya dengan soft diplomacy," ujar Pramono.
Sepuluh sandera itu merupakan awak kapal Brahma 12 dan tongkang Anand 12 yang diculik Abu Sayyaf di perairan Tambulian, lepas pantai Pulau Tapul, Kepulauan Sulu, sejak Sabtu empat pekan lalu. Wilayah itu berbatasan dengan perairan Indonesia di kawasan dekat Ambalat, juga dengan perairan Malaysia dari titik Kota Tawau.
Brahma 12 dan Anand 12 membawa 7.500 metrik ton batu bara milik PT Antang Gunung Meratus dari pelabuhan khusus di Sungai Puting, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Pada 11 Maret lalu, kedua kapal melintasi Sungai Barito dan melego jangkar di Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, menunggu surat izin. Setelah izin terbit pada 15 Maret, pukul 23.00, kapal berlayar menuju Pelabuhan Batangas, Luzon, Filipina. Biasanya pelayaran ini perlu waktu sebulan.
Seiring dengan negosiasi itu, Indonesia menyiapkan pasukan elite dari berbagai kesatuan Tentara Nasional Indonesia di Tarakan, Kalimantan Utara. Namun, diam-diam, TNI juga menempatkan tim elite Komando Pasukan Khusus di luar Tarakan. Demi menjaga rahasia operasi, Panglima TNI Gatot Nurmantyo tak menyebut lokasi itu. "Tim ini stand by di tempat lain," kata Gatot.
Seorang pejabat yang mengetahui penyiapan pasukan itu mengatakan tim 'elite tersebut masuk ke wilayah Filipina sejak Senin dua pekan lalu, dalam koordinasi tentara nasional Filipina. Ini merupakan buah lobi-lobi pemerintah Indonesia dengan Filipina. Mereka terdiri atas beberapa regu dari kesatuan elite tentara yang terlatih menghadapi teror. Kini mereka menempati sejumlah bungalo di wilayah Filipina. Mereka tidak boleh meninggalkan lokasi tanpa izin tentara Filipina. "Segala kebutuhan logistik, seperti makan dan minum, dipasok oleh tentara Filipina," ujarnya.
Sebelumnya, sebagai bagian dari negosiasi penyelamatan sandera, pemerintah Indonesia juga mendekati narapidana kasus terorisme, Umar Patek, yang kini mendekam di penjara Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Inisiatif melibatkan Umar Patek ini datang dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Kepala BNPT Tito Karnavian mengakui secara terbuka niat melibatkan Umar Patek ini. "Kami menawarkan, bisa jadi salah satu opsi," kata Tito.
Tempo berusaha menemui Umar, tapi ia tidak boleh dikunjungi. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Surabaya di Porong, Prasetyo, enggan berbicara ihwal Umar. "Maaf, Mas, saya tidak bisa berkomentar," ujarnya.
Sejarah kedekatan Umar dengan pemimpin Abu Sayyaf yang mendorong Tito memasukkannya sebagai salah satu opsi. Namun Umar batal dilibatkan karena minta kompensasi pengurangan hukuman 10 tahun. Ia dijatuhi hukuman penjara 20 tahun akibat keterlibatannya dalam terorisme pada 2012. Sejak bom Bali 2002, Umar menjadi buron, dan ditangkap di Pakistan pada 2011. Seorang bekas petinggi Jamaah Islamiyah menyatakan Umar ahli merakit bom. Bom yang mengguncang Bali pada 2002 itu adalah hasil rakitannya.
Selama menjadi buron, Umar antara lain sering tinggal bersama kelompok Abu Sayyaf. Dia sempat diketahui melatih pasu'kan Abu Sayyaf membuat bom dan amunisi. "Umar tinggal di wilayah yang dikuasai Abu Sayyaf dan dekat dengan pemimpin," kata bekas narapidana kasus terorisme itu.
Sunudyantoro, Indra Wijaya (Jakarta), Nur Hadi (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo