Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROGRAM perhutanan sosial digadang-gadang bisa menjadi solusi membereskan ketimpangan pengelolaan sumber daya alam. Di masa Orde Baru, hutan negara 64 juta hektare diserahkan kepada pengusaha melalui hak pengusahaan hutan (HPH) atau hutan tanaman industri (HTI). Masyarakat sekitar hanya menjadi penonton dan separuh lebih area hutan rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 2007, masyarakat punya hak legal mengelola hutan negara melalui hutan sosial yang terbatas pada hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Pemerintah Presiden Joko Widodo menaikkan derajatnya dengan dijadikan program prioritas nasional mengentaskan orang miskin pada 2016. Pemerintah menyediakan 12,7 juta hektare hutan sosial yang aturannya dinaikkan lagi dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi dua pasal khusus dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Area hutan sosial adalah kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang rusak bekas lahan konsesi HPH, HTI, bahkan hutan konservasi di taman nasional. Dengan pola agroforestri, petani bisa mengelola hutan selama 35 tahun maksimal 2 hektare per keluarga. Meski lahannya tak bisa jadi agunan karena bukan hak milik, pemerintah menyediakan dana desa dan koperasi usaha rakyat sebagai modal usaha perhutanan sosial.
Agroforestri adalah teknik memanfaatkan ruang di lantai hutan dengan komoditas pertanian. Dengan begitu, tutupan hutan yang rusak akan kembali dan masyarakat mendapatkan benefit ekonomi. Konflik sosial—antarmasyarakat dalam perebutan lahan ataupun masyarakat dengan negara karena merambah hutan—pun dengan sendirinya mereda.
Menghadang perambahan hutan dengan penegakan hukum memakan ongkos tak sedikit. Maka perhutanan sosial menjadi solusi menyelesaikan pelbagai problem itu: konflik mereda, masyarakat desa hutan berpeluang sejahtera, hutan kembali menjadi belantara. Badan Pusat Statistik mencatat, dari 74.754 desa, sebanyak 31.961 berada di sekitar hutan. Dari jumlah itu, 25.863 desa tergolong miskin.
Sayangnya, niat bagus itu dinodai ulah sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat. Alih-alih menjadi pendamping petani hutan, mereka memanfaatkan relasi kuasa yang timpang dengan menarik pungutan liar. Berdalih untuk biaya operasional mengurus izin perhutanan sosial, para pendamping ini memungut Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta kepada tiap petani. Padahal izin perhutanan sosial terbit secara gratis. Penelusuran majalah ini memperkirakan setidaknya pungli mencapai Rp 300 miliar di Jawa.
Di Sumatera, modusnya lain lagi. Perusahaan-perusahaan HTI memakai kedok perhutanan sosial untuk meluaskan area konsesi dan mendapatkan tambahan pasokan bahan baku kayu. Kerja sama pembelian kayu kepada petani hutan sosial pun timpang karena harganya murah. Skema offtaker dalam perhutanan sosial terjadi secara tak setara antara korporasi dan petani.
Kehadiran pendamping LSM dan kerja sama dengan perusahaan adalah strategi mencapai tiga tujuan perhutanan sosial tadi. Namun, karena jumlah penyuluh kehutanan sangat sedikit, pemerintah membuka peluang LSM menjadi pendamping mandiri yang tak mendapatkan anggaran negara. Untuk menopangnya, pemerintah bisa merekomendasikan pendamping perhutanan sosial mengakses dana lembaga donor. Namun LSM lancung tak memanfaatkan peluang ini.
Artikel Laporan Utama:
- Pungutan Liar Perhutanan Sosial
- Dalih Perusahaan HTI Meluaskan Konsesi
- Hutan Sosial Tanpa Pendamping
- Wawancara Direktur Jenderal Perhutanan Sosial
Akibat pungli dan tipu-tipu meluaskan area konsesi, realisasi perhutanan sosial tersendat. Sampai September 2022, baru terealisasi 5 juta hektare. Dari 9.924 kelompok usaha perhutanan sosial yang mendapatkan izin, hanya 0,5 persen yang masuk kategori kelompok tani mandiri yang komoditasnya punya pasar yang stabil.
Pemerintah hanya melarang pungli melalui surat edaran. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak membangun tata kelola mencegahnya dengan, misalnya, membentuk satuan tugas yang berisi pelbagai lembaga di tingkat kabupaten sebagai tempat petani mengadukan pungutan-pungutan itu. Pungutan liar adalah perbuatan pidana yang bisa ditindak secara hukum.
Tanpa strategi jitu mencegah dan menindak para penunggang gelap, gagasan perhutanan sosial melindungi hutan dan menurunkan angka kemiskinan penduduk desa hutan akan menggantang asap. Jika pemerintah ingin perhutanan sosial menjadi cara baru mengelola hutan secara berkelanjutan dengan berpihak kepada masyarakat kebanyakan, memberantas free rider harus menjadi prioritas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo