Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBANGKIT listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menuai kontroversi. Meski pembangkit tenaga air lebih ramah lingkungan dibanding fosil, proyek itu dikhawatirkan mengganggu ekosistem hutan lindung ekosistem Batang Toru, rumah bagi spesies baru orang utan Tapanuli dan 15 jenis hewan langka lain.
Para ahli lingkungan menyoroti masalah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang cacat karena tanda tangan penyusunnya dipalsukan. Dalam dokumen baru dan terakhir itu, soal orang utan menghilang. Untuk mengetahui duduk perkara kisruh kajian lingkungan ini, Tempo mewawancarai Anton Sugiono, Komisaris Utama PT North Sumatera Hydro Energi (NSHE), pembangun pembangkit itu, pada November 2018 di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, dan dalam beberapa pertemuan setelahnya.
Sejak kapan PLTA Batang Toru berjalan?
Sekitar sepuluh tahun lalu, tak lama setelah kami sukses membangun PLTA Asahan. Proyek ini dimulai dengan studi kelayakan yang semua pembiayaannya kami tanggung sendiri lewat NSHE. Ini perusahaan yang berbeda dengan PLTA Asahan, yang digarap PT Bajradaya Sentranusa, meski sebagian pemegang sahamnya sama. Kami memulai bisnis pembangkit ini pada 1995, ketika semua orang lebih tertarik menggarap batu bara.
PLTA Batang Toru didesain melayani beban dasar. Mengapa jadi beban puncak juga?
Itu maunya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bagi kami, secara teknis melayani beban dasar lebih mudah. Tapi pemerintah ingin sumber energi ini juga memasok kebutuhan listrik saat beban puncak. Itu mengapa dalam rancangan umum penyediaan tenaga listrik ada proyek Batang Toru II dan III.
Mengapa kapasitasnya naik dari 240 megawatt menjadi 510 megawatt?
Sebetulnya bukan penambahan. Volume air yang ada kan segitu-gitu saja. Ini cuma model operasinya yang berbeda. Karena didesain run off dan peaker, pola pengoperasiannya bakal optimal saat beban puncak. Pembangkit kami beroperasi 24 jam. Dari empat turbin yang ada, minimal ada satu turbin beroperasi. Itu tergantung debit airnya.
Jadi sungai akan dibendung 18 jam untuk keperluan beban puncak?
Info itu dari laporan perusahaan tambang di Martabe yang khawatir kesulitan membuang limbah ke sungai. Asumsi dan analisis laporan itu salah total. Tidak mungkin kami bendung karena di hilir akan kekeringan. Kalau itu kami lakukan, proyek ini pasti ditolak pemerintah.
Ada kekhawatiran banjir di hilir saat beban puncak....
Banjir terjadi jika debit harian sungai di atas 325 meter kubik. Sedangkan debit terendah sungai Batang Toru 50 meter kubik. Dalam kondisi hujan lebat sekali, debit puncak sungai bisa mencapai 700 meter kubik. Di atas 325 meter kubik saja sudah banjir, apalagi jika 700 meter kubik. Banjir sudah ada sebelum pembangkit ini dibangun.
Bagaimana dengan orang utan yang terancam akibat proyek ini?
Kami membangun proyek mengacu pada amdal. Tapi soal orang utan di amdal memang tidak terlihat. Karena itu, sedang dalam proses perbaikan. Kami ikut petunjuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Amdal 2014 menyebutkan soal orang utan, tapi amdal terakhir tak ada. Mengapa?
Saat studi kelayakan, perusahaan konsultan kami merangkul Yayasan Ekosistem Lestari dan Sumatran Orangutan Conservation Programme. Mereka mengatakan ada orang utan, tapi tidak pernah mengatakan proyek ini bakal memusnahkan orang utan. Mengapa saat laporan survei mereka tidak menjelaskan soal itu?
(Direktur Yayasan Ekosistem Lestari Burhanuddin: Kami tidak pernah bekerja sama dengan NSHE secara langsung. Survei yang kami lakukan hanya survei biodiversitas tentang ada apa di sana dan jumlah populasinya).
Area proyek sangat luas sehingga bisa mengganggu ekosistem Batang Toru....
Izin lokasi kami hanya 600 hektare. Yang permanen difungsikan untuk keperluan pembangkit 122 hektare. Artinya cuma 0,07 persen dari total luas ekosistem Batang Toru yang mencapai 163 ribu hektare.
Izin proyek di pemerintah sangat cepat. Apa karena ada peran tiga Pasaribu?
Tanda tangan memang cepat, tak sampai sehari. Proses untuk tanda tangan itu yang lama. Soal Panusunan Pasaribu yang menjadi komisaris, dia kami angkat karena panutan masyarakat. Tidak ada hubungannya dengan Syahrul, karena dia menjadi Bupati Tapanuli Selatan setelahnya. Dengan Gus Irawan saya baru kenal sebulan lalu. Kalau ada yang mengait-ngaitkan dengan itu, maaf ya, itu jahat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kami Akan Perbaiki Amdal Soal Orang Utan"