Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA anggota keluarga Pasaribu terbuhul proyek pembangkit listrik tenaga air di kampung halaman mereka, di sekitar hutan lindung Batang Toru, Sumatera Utara. Syahrul Martua Pasaribu, Bupati Tapanuli Selatan, adalah orang yang mengeluarkan izin lokasi kepada PT North Sumatera Hydro Energy pada 5 Juli 2011. “Proyek itu sudah lama, jauh sebelum saya menjabat,” ujar Syahrul, Senin tiga pekan lalu.
Menurut Syahrul, izin prinsip proyek itu dimulai pada 2008, di era bupati sebelumnya. Sementara itu, politikus Partai Golkar ini baru mulai bersentuhan dengan PLTA Batang Toru ketika menjabat pada 2010. Ia mengklaim perizinan proyek sesuai dengan aturan. “Clear and clean,” kata Syahrul, 62 tahun. “Saya tidak mau main di sana.”
Syahrul mengaku tak mengurus terlalu jauh izin pembangkit Batang Toru kendati kakaknya, Panusunan Pasaribu, menjadi komisaris di PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) bersama Anton Sugiono. Anton menjabat komisaris utama di perusahaan tersebut hingga sekarang.
Dalam akta perusahaan, Panusunan menjadi komisaris pada 2012. Ia mengatakan diminta Anton Sugiono duduk di sana karena berpengalaman membangun PLTA di Sipansihaporas sebesar 50 megawatt, juga di ekosistem hutan Batang Toru, ketika menjabat Bupati Tapanuli Tengah pada 1995-2001. “Memang kapasitas di sana tidak sebesar di Batang Toru,” ujar laki-laki 72 tahun ini.
Anton mengakui merekrut Panusunan karena membutuhkan pengalamannya sebagai bupati yang pernah menangani proyek serupa di hutan yang sama. “Kami butuh panutan masyarakat,” katanya. “Beliau juga orang swasta pada saat itu.”
Setahun setelah Panusunan masuk NSHE, Syahrul merevisi izin lokasi dengan memberikan permit baru. Sebab, pada 2013, Anton menggabungkan PT NSHE dan PT Anugerah Alam Lestari, yang lebih dulu memiliki izin lokasi membuat pembangkit di Batang Toru. “Yang satu di atas, satunya lagi di bawah. Kami gabungkan,” ujar Anton.
Penggabungan dua perusahaan ini membuat area operasi NSHE bertambah luas. Berdasarkan izin lokasi dari Syahrul Pasaribu, wilayah operasi NSHE menjadi 6.598,35 hektare--satu setengah kali luas Jakarta Pusat. Lokasinya di area penggunaan lain dalam ekosistem hutan lindung Batang Toru yang bersisian dan berada di perkebunan rakyat Tapanuli Selatan.
Panusunan menjadi komisaris selama empat tahun. Pada 2016, ia mundur dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai Ketua Majelis Wali Amanah Universitas Sumatera Utara (USU), almamaternya. Padahal, berdasarkan berita di situs usu.ac.id, Panusunan terpilih sebagai Ketua Majelis Wali Amanah USU hingga 2020 pada 5 Februari 2018--dua tahun setelah ia mundur dari NSHE. “Saya dipercaya USU,” katanya.
Meski terjun di dunia akademis, Panusunan tak lepas dari urusan pembangkit Batang Toru. Awal September 2018, USU membuat nota kesepahaman dengan NSHE dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan mempercepat pembangunan pembangkit. Panusunan, Syahrul, dan Anton hadir dalam acara itu. “USU membantu NSHE di bidang riset, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk kelestarian alam dan masyarakat setempat,” ujar Panusunan.
Turut hadir dalam acara itu adik mereka, Gus Irawan Pasaribu. Irawan tak lain Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi energi, riset, teknologi, dan lingkungan hidup. Kolega kerjanya di pemerintahan adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, termasuk Perusahaan Listrik Negara, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tiga institusi yang terkait dengan pembangkit Batang Toru.
Pembangkit Batang Toru salah satu proyek yang masuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 35.000 megawatt pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saat itu, yang menandatangani persetujuan proyek-proyek listrik pada 2014, termasuk Batang Toru, adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Irawan mengatakan PLTA Batang Toru dimulai sebelum ia menjadi Ketua Komisi Energi pada 2016. Maka dia mengaku tak tahu proyek itu karena pada 2014 ia masih menjadi anggota Komisi Keuangan DPR. “Proyek itu sudah berproses sejak sebelum saya ke DPR,” ucapnya.
Irawan mengatakan tak mau terlibat dalam pembangunan PLTA Batang Toru meski lokasinya berada di daerah pemilihannya. “Batang Toru itu salah satu potensi kampung saya,” ujar politikus Partai Gerindra tersebut. “Tugas anggota DPR memanfaatkan potensi itu.”
Saat ini pembangkit Batang Toru dalam fase konstruksi. Menurut Anton Sugiono, biaya termahal membangun pembangkit adalah pekerjaan sipil, yang menyedot 80 persen investasi. Konstruksi pembangkit Batang Toru dikerjakan Sino Hydro, perusahaan Cina yang sebelumnya menjadi mitra Anton membangun pembangkit tenaga air Asahan. Di Cina, Sino adalah perusahaan yang membangun pembangkit 22.400 megawatt di Sungai Yangtze.
Proposal pembangunan PLTA Batang Toru adalah pembangkit 240 megawatt untuk melayani beban harian (run off) Sumatera Utara. Kapasitas itu berubah saat diajukan kepada PT Perusahaan Listrik Negara. Menurut Anton, PLN serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang meminta mereka memaksimalkan debit air sehingga bisa melayani beban puncak menjadi 510 megawatt.
Seorang mantan petinggi PLN menyebut NSHE mendapatkan proyek itu melalui penunjukan langsung. Ia dan pejabat lain menunjuk NSHE karena perusahaan ini punya pengalaman membangun pembangkit listrik tenaga air sejak 1995. Anton Sugiono mengakui proyek ini tak melalui lelang karena tak ada pebisnis lain yang mumpuni. “Kalau bicara energi air, kami market leader.”
Menteri Energi yang membuat keputusan itu, Sudirman Said, mengaku tak tahu soal pembangkit Batang Toru. Namun ia mengaku kenal Anton Sugiono dan para pengurus NSHE karena mereka teman nongkrong dia di Bimasena Hotel, Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Di kalangan pebisnis listrik, Anton dan kawan-kawannya dikenal sebagai “Kelompok Dharmawangsa”. “Di sana tempat kumpul arsitek bidang energi,” katanya.
Seorang mantan petinggi PLN menyebut NSHE mendapatkan proyek itu melalui penunjukan langsung. Ia dan pejabat lain menunjuk NSHE karena perusahaan ini punya pengalaman membangun pembangkit listrik tenaga air sejak 1995. Anton Sugiono mengakui proyek ini tak melalui lelang karena tak ada pebisnis lain yang mumpuni. “Kalau bicara energi air, kami market leader,” ujar Anton.
Pembangkit Batang Toru direncanakan beroperasi pada 2022. Anton menghitung nilai jual listrik kepada PLN saat mulai beroperasi sebesar US$ 18 sen per kilowatt-jam (kWh). “Tapi, soal harga, tanya ke PLN saja. Mereka biasanya menegosiasikan sampai harga terendah,” katanya.
Meski menjadi pembeli setrum, PLN memiliki 25 persen saham di NSHE melalui cucu usahanya, PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi. Pemilik saham lain adalah Fearest Green Energi Pte Ltd sebanyak 22,18 persen. Saham mayoritas, sebesar 52,82 persen, dipegang PT Dharma Hydro Nusantara. Menurut Anton, sebagian besar pembiayaan disuplai perusahaan Cina. “Tapi kami yang pegang kendali,” ujarnya.
Dengan 510 megawatt, kata Anton, pembangkit Batang Toru akan menyuplai 15 persen kebutuhan listrik Sumatera Utara. Dia mengklaim Batang Toru bisa menghemat US$ 400 juta dibanding memproduksi listrik memakai energi fosil. Maka pembangkit ini bisa mengurangi emisi karbon 4 persen pada 2030.
Anton tak memungkiri peran Syahrul dan Panusunan Pasaribu dalam memuluskan izin-izin proyek pembangkit ini. Sementara itu, dengan Irawan, ia mengaku baru kenal sebulan lalu. “Tapi kalau ada yang mengaitkan proyek ini dengan mereka,” katanya, “maaf, itu jahat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo