Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU masih ada gunanya mengingatkan, Asian Agri hendaknya segera menunjukkan iktikad baik dalam menaati hukum. Sejak kasus pajak perusahaan milik orang terkaya Indonesia pada 2006 versi majalah Forbes tersebut terungkap, kehendak berlaku lurus itulah yang tak terlihat dalam penyelesaian utang pajak periode 2002-2005, sebesar Rp 1,25 triliun.
Perusahaan yang bergerak dalam industri kertas dan kelapa sawit itu berkali-kali membantah melakukan kejahatan pajak. Tapi Direktorat Jenderal Pajak yakin ada unsur pidana, bukan sekadar perbedaan hitung-hitungan jumlah pajak seperti versi Asian Agri. Terjadinya tindak pidana pajak semakin gamblang setelah Vincentius Amin Sutanto, bekas Financial Controller Asian Agri, membongkar skandal pajak terbesar Indonesia ini pada 2006.
Bekas pegawai Asian Agri yang menilap uang perusahaan itu menunjukkan sejumlah dokumen yang menguatkan kesaksiannya. Berkat "kicauan" Vincent, penyidik Direktorat Jenderal Pajak berhasil memberkas sepuluh tersangka dan melimpahkannya kepada Kejaksaan Agung. Dari titik ini proses selanjutnya berjalan sangat alot.
Sidang pertama skandal ini, dengan terdakwa Suwir Laut, Tax Manager Asian Agri Group, baru digelar pada 2011. Suwir didakwa memanipulasi surat pemberitahuan pajak 14 perusahaan Asian Agri Group. Dengan bukti-bukti pelanggaran begitu gamblang, putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding yang membebaskan Suwir Laut jelas sangat kontroversial. Kejaksaan Agung pun mengajukan permohonan kasasi.
Pada Desember 2012, Mahkamah Agung menghukum Suwir dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun. Mahkamah juga menghukum Asian Agri membayar denda, yang besarnya dua kali pajak yang diduga ditilap. Denda Rp 2,5 triliun itu harus dibayar paling lambat Desember 2013, setahun setelah putusan kasasi jatuh. Sampai sekarang belum ada pernyataan resmi bahwa Asian Agri akan membayar denda itu.
Bagaimana dengan utang pajak 2002-2005 sebesar Rp 1,25 triliun itu? Dirjen Pajak, atas dasar putusan Mahkamah Agung tadi, mengeluarkan surat ketetapan pajak (SKP). Jika menolak membayar, Asian Agri akan dikenai penalti dua persen sebulan dari jumlah utangnya. Seharusnya Dirjen Pajak tidak perlu mengeluarkan SKP baru. Aparat pajak semestinya langsung melakukan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung tentang utang pajak Rp 1,25 triliun itu. Ketika Dirjen Pajak mengeluarkan SKP baru, seakan-akan terbuka kembali "celah" bagi Asian Agri untuk mempersoalkan hitung-hitungan utang pajaknya pada periode 2002-2005.
Itulah yang tampaknya terjadi pekan lalu. Kendati mengumumkan mulai membayar utang pajaknya, pada saat yang sama 14 perusahaan Asian Agri menyatakan akan mengajukan keberatan atas SKP yang dikeluarkan Dirjen Pajak, dengan berbagai alasan. Bila mengikuti prosedur biasa, keberatan Asian Agri biasanya disalurkan melalui pengadilan pajak. Tanpa bermaksud menuduh, dengan kelemahan integritas aparat pajak sekarang, bukan mustahil perusahaan milik Sukanto Tanoto itu meraih kemenangan. Yang lebih mencemaskan, misalkan benar Asian Agri meraih kemenangan di pengadilan pajak "jilid kedua" nanti, putusan itu bisa digunakan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas "kekalahan"-nya di Mahkamah Agung. Tak seorang pun berharap negara akan gigit jari andai kelak peninjauan kembali dimenangi Asian Agri.
Tak ada jalan lain, semua pihak perlu mengawal proses peradilan pajak yang mungkin digelar kembali. Negara perlu mengerahkan semua kemampuan untuk memastikan Asian Agri membayar kewajiban pajaknya, sesuai dengan putusan mahkamah hukum tertinggi di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo