DALAM tulisan"Kejarlah Pajak Sampai Warisan" (TEMPO, 22 Agustus 1992, Laporan Utama) disebutkan bahwa angka presentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia itu masih terhitung kecil, cuma 15,2 persen dibanding negara lain, misalnya Muangthai 17.6 persen, Malaysia 23 persen. Perhitungan itu didasarkan pada penerimaan pajak oleh Ditjen Pajak tahun 1992/1993 yang diperkirakan mencapai Rp 28, 85 trilyun terhadap produk domestik bruto Indonesia yang sekitar Rp 190 trilyun itu. Patut diketahui, bahwa selain pajak (pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya) yang dipungut oleh Ditjen Pajak, masyarakat Indonesia masih dibebani pajak lain yang dipungut oleh pemerintah, seperti bea masuk, pajak pertambahan nilai, impor, cukai, ekspor, dan berbagai pungutan pajak di daerah. Berapa jumlahnya saya tidak tahu pasti. Selain itu, selama ini, masih terdapat kebocoran dalam perhitungan penerimaan pajak dalam APBN: segala fasilitas pembebasan pajak yang diberikan pemerintah dengan menggunakan rumusan bahwa "hutang pajak ditanggung oleh negara" tidak pernah dimasukan ke dalam APBN. Misalnya, fasilitas pembebasan pajak yang diberikan kepada para kontraktor dan pemasok barang-barang dari negara donor (dulu IGGI) yang telah memberikan pinjaman uang kepada Indonesia, mereka ini dibebaskan dari segala macam pajak di Indonesia. Padahal, menurut peraturan perundangan-perundangan pajak yang berlaku, seharusnya mereka menjadi subyek dan obyek pajak di Indonesia. Jadi, bila dihitung, besar tax ratio segala jenis pajak terhadap PDB di Indonesia akan jauh lebih tinggi daripada angka 15, 2 persen, seperti yang dikemukakan oleh Drs. Mar'ie Muhammad. Barangkali bisa mencapai sekitar 30 persen. Jadi, beban pajak yang dipikul oleh masyarakat Indonesia itu sudah cukup tinggi, dan cukup wajar jika dibandingkan dengan sesama negara berkembang di Asia ini. Soalnya, angka tax ratio sebesar 15,2 persen itu baru merupakan tax ratio pajak-pajak yang dipungut oleh Ditjen Pajak terhadap PDB Indonesia. Janganlah peranan seluruh rakyat Indonesia dalam memikul beban pajak diperkecil dan diremehkan. Maksudnya, itu dijadikan alasan untuk memungut pajak yang lebih besar lagi. Yang penting adalah: harus dapat menyelenggarakan pemungutan pajak yang lebih adil dan merata bagi masyarakat dengan mengutamakan pungutan pajak langsung atas pendapatan yang progresif sifatnya. Sebaliknya, jangan diperbesar peranan pajak tidak langsung, karena jenis pajak ini tidak adil, tidak membedakan besar kecilnya perolehan penghasilan. Karena fungsi pajak di samping budgeter untuk pembiayaan negara, juga untuk kepentingan pemerataan pendapatan masyarakat. Hal inilah yang belum terpenuhi dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia. SUHARSONO HADIKUSUMO Jalan Pejuangan 2 Kebun Jeruk Jakarta 11530
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini