AKHIRNYA cita-cita Indonesia menjadi tuan rumah konperensi puncak Nonblok kesampaian juga. Perhelatan besar yang makan biaya Rp 85 milyar ini sekaligus mengangkat Presiden Soeharto menjadi ketua Nonblok sampai KTT berikutnya. Kesibukan menyambut tamu negara tampak meningkat hingga Senin malam lalu. Sampai perlu ada pembagian tugas untuk menyambut para tamu negara itu. Pak Harto menunggu kedatangan tamu yang turun di Halim Perdanakusuma dan Wakil Presiden Sudharmono kebagian di Bandara SoekarnoHatta. Namun kesibukan menjelang KTT Nonblok yang dibuka Selasa pagi ini bukan cuma soal upacara kenegaraan menyambut tamu dengan dentuman meriam dan pemeriksaan barisan. Sejak pekan lalu tempat sidang, Jakarta International Convention Centre (JICC) Senayan, telah menjadi pusat perhatian dunia. Para pejabat tinggi dan menteri luar negeri 106 negara anggota sudah berdebat sengit menyiapkan materi yang akan disodorkan ke konperensi para kepala negara. Padahal sebelumnya orang bertanyatanya: apa yang bisa dilakukan Gerakan Nonblok bila tak ada lagi pertarungan dua gajah superkuat dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Apalagi gajah yang satunya, Uni Soviet, sudah terkubur sejak setahun lalu. Tantangan itulah tampaknya yang menjadi tugas Indonesia untuk menghidupkan kembali Gerakan Nonblok dan mengisinya dengan makna baru. Nyawa baru untuk menghidupkan Nonblok setelah Perang Dingin usai ialah memprioritaskan kerja sama ekonomi. Indonesia yang berpengalaman di dalam Kelompok 77, G15, atau ASEAN menganggap perlu memasukkan jiwa baru tadi bagi Nonblok. Suatu perjuangan bersama negara berkembang yang ratarata masih tergolong miskin itu dengan sasaran mengatasi kesenjangan dengan negara maju, baik di bidang ekonomi maupun teknologi. Itulah yang ingin disajikan dalam Laporan Utama pekan ini. Nonblok bukan lagi sekadar negara yang bebas dan tak bersekutu dengan dua negara superkuat tadi. Nonblok sudah menjadi kumpulan negara berkembang, yang rewel dengan bermacam tuntutan dan seruan. Menentang proteksi perdagangan di negara maju, menuntut negara kaya agar tak mengonsumsi energi dan sumber daya alam asal negara berkembang secara berlebihan, atau meminta bantuan untuk mengatasi kemiskiinan, keterbelakangan, dan kelaparan. Bahwa kemudian KTT Nonblok kali ini masih menghabiskan waktunya untuk memperdebatkan masalah politik -- yakni soal keanggotaan Yugoslavia yang mencuat lantaran kasus etnis Bosnia -- seperti yang terjadi pekan lalu, tampaknya itu tak lepas dari ciri Nonblok yang belum tanggal yakni perjuangan politik. Wawancara khusus dengan Menteri Luar Negeri Ali Alatas memberi gambaran citacita Indonesia bagi masa depan Nonblok itu. Namun, untuk melihat peran Indonesia masa kini dalam Gerakan Nonblok, kiranya perlu menengok pula masa lalu. Konperensi Asia Afrika 1955 sering disebut sebagai tonggak terbentuknya Nonblok. Tapi usaha mengulang sukses penyelenggaraan konperensi itu pula yang kemudian ternyata membuat Indonesia dipojokkan dari Nonblok. Indonesia dianggap ingin membangun kekuatan baru pesaing gerakan itu. Bagian lain yang biasanya juga menjadi pusat perhatian adalah tampilnya tokoh-tokoh tingkat dunia yang menjadi "bintang" KTT. Sebagian mereka sudah tiada atau tak hadir. Tapi di Jakarta, bila benar bahwa prioritas utama bidang yang lebih pragmatis adalah masalah ekonomi, mungkin yang diperlukan adalah "bintang" yang bisa memenuhi tuntutan nyata yakni mengatasi kemiskinan, keterbelakangan. Bukan sekadar "bintang" yang pintar menarik perhatian di panggung KTT dengan pidato atau aksesori lainnya. Tapi sisi lain yang perlu juga disajikan adalah hal yang sering terjadi dalam KTT sebelumnya, seperti soal ketua, konflik sesama anggota, dan keanggotaan baru. Sedangkan bisnis sekitar penyelenggaraan KTT dan hirukpikuk Ibu Kota bersolek menjadi panggung sendiri sekitar KTT yang perlu ditonton. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini