Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Agar Teror Berkesudahan

29 Mei 2017 | 00.00 WIB

Agar Teror Berkesudahan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

BOM Kampung Melayu menunjukkan kerja lemah intelijen kita. Terorisme tak seperti gempa, yang sulit diprediksi kemungkinan terjadinya, bahkan oleh ilmu pengetahuan modern. Terorisme, termasuk di Kampung Melayu, yang telah menewaskan tiga polisi dan melukai sebelas lainnya, dilakukan jaringan kelompok orang sinting yang bisa dilacak gelagat dan hubungannya satu sama lain.

Pada pertengahan Desember 2016, Detasemen Khusus Antiteror 88 menangkap Dian Yulia Novi, yang mengaku hendak meledakkan bom panci di Istana Negara. Dian direkrut Solihin, yang ­menjadi suaminya setelah berkenalan lewat Internet. Solihin tak lain kader Aman Abdurrahman, terpidana terorisme yang mendekam di Nusakambangan dan berbaiat kepada pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Abu Bakar alBaghdadi. Sementara bom Dian Novi bisa dideteksi, mengapa bom Kampung Melayu bisa lolos? Dian Novi adalah rekrutan baru, tapi intelijen bisa melacak gerakgeriknya, lalu menangkapnya.

Bom Kampung Melayu semestinya bisa dicegah. Dari banyak kejadian bom sejak 2001, para teroris di Indonesia memakai pola sederhana dalam berkomunikasi. Meskipun mereka berada dalam sel terputus, perekrutan calon pengebom dan komunikasi dengan pengarahnya dilakukan melalui jaringan telekomunikasi: Internet atau telepon seluler. Intersepsi dan pemetaan ini semestinya bisa dipakai polisi dan intelijen untuk memotong jalurjalur ­perekrutan pengebom baru.

Dalam dua tahun terakhir, para teroris agaknya tak lagi mengincar simbolsimbol lama sebagai sasaran. Dulu obyek pengeboman mereka adalah tempat publik yang punya hubungan dan simbol Amerika Serikat, sedangkan kini sasarannya adalah polisi. Efeknya lebih sporadis: ketakutan menjalar karena ada ketidakpastian tempat sasaran para teroris. Pola ini juga memberi pesan bahwa para teroris tak lagi menimbang korban, misalnya warga asing, diplomat, atau ekspatriat negara Barat. Para teroris hanya ingin meneror dan menciptakan ketakutan seraya menegaskan bahwa mereka masih eksis. Mereka menggunakan teror untuk mendelegitimasi kekuasaan negara, yang selama ini dipercaya masyarakat sebagai benteng perlindungan.

Jika hal itu dibiarkan, lambatlaun kepercayaan kepada aparat dan negara semakin terkikis. Saat itulah mereka akan melancarkan serangan lebih gawat, seperti yang terjadi di Marawi, sebuah kota kecil di Filipina selatan. Tibatiba saja mereka menyerbu penjara khusus teroris, membakar, dan membebaskan para tahanan, lalu merebut dan menduduki kota berpenduduk 200 ribu orang itu. Tentara setempat mundur karena kalah jumlah. Kunci kemenangan para pemberontak yang terafiliasi dengan ISIS itu adalah pemanfaatan selsel tidurorangorang yang hidup berbaur dengan masyarakat lalu aktif menyerang ketika komando diberikan.

ISIS telah menyatakan teror bom Kampung Melayu dilakukan kader mereka. Karena itu, apa yang terjadi di Marawi bukan tak mungkin sedang terulang di Indonesia. ISIS sedang membangun selsel tidur mereka untuk nanti diaktifkan saat kita lengah dan permisif pada ledakan bom akibat tak yakin terhadap kinerja intelijen.

Apalagi bahasa kekerasan dalam demonstrasi organisasi berkedok agama seolaholah dibiarkan pemerintah. Saat ini di media sosial dan dunia nyata teriakan "bunuh kafir" telah menjadi sesuatu yang biasa. Pawai obor menyambut Ramadan di Jakarta oleh anakanak pada malam bom Kampung Melayu meledak diisi oleh seruan kekerasan semacam itu. Banyak anjuran kekerasan yang jelasjelas melanggar hukum tak ditindak aparat.

Seruan "Kami Tidak Takut" setiap kali usai ledakan bom memang bagus untuk memberi pesan kepada para teroris bahwa teror tak membuat kita bergidik. Tapi seruan itu seharusnya kini berubah menjadi "Kami Siap Melawan", sebuah tekad bersama publik dalam melawan terorisme. Caranya adalah dengan mengaktifkan kewaspadaan masyarakat di lingkungan terkecil. Atau lebih ke hulu, yakni menumbuhkan kesadaran bahwa kampanye ideologi berbasis agama dapat menimbulkan perpecahan. Kampanye seperti itu-dengan menunggangi kebebasan berpendapat dan berserikat-telah membuat masyarakat permisif terhadap kegiatan yang mengarah pada terorisme.

Kewaspadaan pada terorisme hendaknya tidak menjadi kegiatan yang "hangathangat tahi ayam". Di tingkat praktis seharihari, pemeriksaan dengan menggunakan detektor logam di gedung atau tempat keramaian, misalnya, hanya dilakukan pada pekanpekan pertama setelah ledakan bom terjadi. Pekan dan bulan setelahnya: masyarakat kembali abai pada bahaya teror. Pemerintah harus lebih tegas dan keras dalam memaksa masyarakat tak meremehkan terorisme. Intelijen harus lebih lincah mengendus para pelaku. Publik seyogianya bersatupadu menekan berkembangbiaknya ideologi kekerasan yang berbasis kepercayaan dan agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus