Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praperadilan Miryam Ditolak
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan tersangka pemberi keterangan palsu, Miryam S. Haryani. Hakim tunggal Asiadi Sembiring mengatakan penetapan Miryam telah memenuhi syarat hukum acara pidana. ¡±Menyatakan penetapan tersangka atas nama Miryam Haryani adalah sah,¡± kata Asiadi, Selasa pekan lalu.
Menurut hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengusut pemberian keterangan bohong karena diatur dalam UndangUndang Tindak Pidana Korupsi. Bukti permulaan yang dimiliki KPK juga dinilai memenuhi syarat. Tim hukum KPK mengajukan surat dan rekaman video pemeriksaan sebagai alat bukti dalam sidang ini.
Miryam adalah salah satu saksi dalam persidangan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (eKTP) dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri. Di pengadilan, Miryam mencabut keterangan dia ketika diperiksa penyidik KPK. Alasannya, keterangan itu ia berikan di bawah tekanan penyidik KPK.
KPK membantah telah menekan Miryam. Sebaliknya, menurut penyidik KPK, Novel Baswedan, Miryam justru ditekan koleganya di Dewan Perwakilan Rakyat. Miryam sempat menghilang sebelum ditangkap polisi pada 1 Mei lalu di Kemang, Jakarta Selatan. Miryam kini menghuni Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Timur.
Pengacara Miryam, Mita Mulia, mengatakan masih akan mempelajari putusan hakim sebelum mengambil langkah hukum berikutnya bersama sang klien. "Kami ikuti dulu proses hukum sebagaimana mestinya," kata Mita.
Drama Srikandi Partai Hanura
» 23 Maret 2017
Miryam mencabut semua keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
» 30 Maret 2017
Miryam dikonfrontasi dengan tiga penyidik KPK. Miryam tetap membantah isi BAP.
» 5 April 2017
Miryam ditetapkan sebagai tersangka keterangan palsu oleh KPK.
» 27 April 2017
Miryam dimasukkan ke daftar pencarian orang karena tak kunjung muncul saat dipanggil KPK.
» 1 Mei 2017
Miryam ditangkap oleh tim kepolisian di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan.
» 2 Mei 2017
Miryam mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
» 23 Mei 2017
Gugatan praperadilan Miryam ditolak.
Anggota TNI Tersangka Korupsi Heli
POLISI Militer Tentara Nasional Indonesia menetapkan tiga tentara aktif sebagai tersangka kasus korupsi pembelian helikopter Augusta Westland 101 (AW101). Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengumumkan perkembangan itu pada Jumat pekan lalu.
"Tiga orang tersangka dari TNI Angkatan Udara," kata Gatot di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga tersangka adalah Marsekal Pertama FA, pejabat pembuat komitmen; Letnan Kolonel WW, pejabat pemegang kas; dan Pembantu Letnan Dua SS, penyalur dana ke pihakpihak tertentu.
Menurut Gatot, penetapan tiga tersangka itu baru permulaan. "Setelah dikembangkan, ada kemungkinan muncul tersangka baru," ujarnya. Gatot menambahkan, dalam pengadaan helikopter AW101 diduga terjadi penggelembungan harga dengan potensi kerugian negara sekitar Rp 220 miliar.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan penetapan tersangka dari pihak swasta masih menunggu pendalaman kasus pembelian AW101. "Sekarang kami backup kawankawan TNI dulu," kata Agus.
Pungutan Liar Asosiasi Umrah
Alumnus Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengadukan empat asosiasi perusahaan perjalanan umrah karena diduga melakukan pungutan liar untuk keperluan visa. Keempat asosiasi ini disebut mengutip uang US$ 12 per anggota jemaah tanpa dasar hukum.
Setelah kasus ini mencuat, Dewan Perwakilan Rakyat berencana memanggil sejumlah asosiasi biro perjalanan. "Kami akan meminta penjelasan lengkap terkait kasus ini," kata Wakil Ketua Komisi Agama DPR Sodik Mudjahid pada Senin pekan lalu.
Puspa Kemala, alumnus Lemhannas yang mempersoalkan pungutan ini, menghitung bahwa asosiasi bisa menghimpun uang US$ 9,1 juta atau sekitar Rp 12 miliar dari pungutan ini. Sebab, pada 2016 ada 634 ribu anggota jemaah umrah dari Indonesia.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Kementerian Agama Mastuki menyatakan urusan visa umrah adalah kewenangan pemerintah Arab Saudi melalui kedutaan besarnya di Indonesia. "Kami hanya berwenang monitoring pelaksanaannya," ujarnya. Dia mendukung kasus ini dilaporkan ke aparat penegak hukum.
Korem di Jayapura Diserbu Massa
Sekelompok orang memblokade Jalan AbepuraSentani, Jayapura, Kamis pekan lalu. Massa juga melempari Markas Komando Resor Militer 172 Praja Wira Yakthi. Kericuhan dipicu rumor bahwa ada tentara yang membakar Alkitab saat pelaksanaan korvei mes yang ditinggalkan oleh pasukan sebelumnya.
"Hasil penyelidikan, yang terbakar bukan Alkitab," kata Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, Kamis pekan lalu. Menurut Boy, yang terbakar adalah buku berjudul Asal Usul Agamaagama karya Thomas Hwang.
Kepala Kepolisian Resor Jayapura Ajun Komisaris Besar Tober Sirait, yang hendak menenangkan massa, justru menjadi korban pelemparan batu. Hingga Kamis malam, Tober dan ajudannya menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Bhayangkara Jayapura.
Kepala Polda dan Kepala Staf Komando Daerah Militer Cenderawasih, Brigadir Jenderal Herman Asaribab, berupaya bernegosiasi dengan massa. Akhirnya massa bersedia membubarkan diri. Menurut Boy, tak ada korban jiwa dalam kerusuhan ini.
Penyuap Pejabat Bakamla Divonis Ringan
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Direktur PT Merial Esa Indonesia Fahmi Darmawansyah dengan hukuman 2 tahun 8 bulan dengan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. "Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata ketua majelis hakim, Yohanes Priyana, Rabu pekan lalu.
Fahmi menyuap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) agar memenangi tender proyek satelit. Pejabat Bakamla yang dia suap antara lain Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi sebesar Sin$ 100 ribu, US$ 88.500, dan 10 ribu euro.
Hukuman ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang meminta Fahmi dihukum 4 tahun penjara. Menurut hakim, ada sejumlah hal meringankan, misalnya Fahmi belum pernah dihukum dan bersedia menghibahkan tanah seluas 700 meter di Semarang untuk Bakamla.
Fahmi menerima vonis dan tak menyatakan banding. Adapun jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan masih pikirpikir atas putusan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo