NIAT yang dikandung adalah "menginternasionalkan" anak Indonesia. Hasilnya, bahasa Inggris malah menjadi beban bagi para murid SD. Rizka Fadjriah, 9 tahun, siswa kelas 3-A Sekolah Dasar Negeri Menteng 3, Jakarta Selatan, tak kuasa menahan kekesalannya. "Susah menghafalnya. Harus diulang-ulang terus," ujarnya menggerutu.
Keluhan yang sama terlontar dari kakak kelasnya, Regata Andri Kusumo Utomo. Murid kelas 5-A itu mengaku agak susah menyerap pelajaran bahasa asing, yang oleh guru kebanyakan diajarkan dalam bentuk hafalan. Agar nilai pelajaran bahasa Inggris di rapor tak merah?suatu hal yang dirasa "aib" bagi murid SD?Regata merasa perlu mengikuti les tambahan selepas sekolah.
Padahal tak ada niat dari para pembuat kurikulum untuk menambah beban murid SD yang sudah cukup berat itu. Lima tahun silam, bahasa Inggris memang dicantumkan dalam kurikulum, tapi dikategorikan sebagai muatan lokal yang tidak wajib diberikan kepada siswa. Jadi, di kelas berapa pelajaran ini mulai diberikan, itu bergantung pada sekolahnya masing-masing. Di SDN Menteng 3, misalnya, bahasa Inggris mulai diajarkan dalam bentuk ekstrakurikuler kepada murid kelas 2 dan 3. Barulah di kelas 4 ke atas, bahasa Inggris dimasukkan dalam mata pelajaran. Namun, di SD Marsudirini Yogyakarta, sejak di kelas 1 pun bahasa Inggris sudah diajarkan.
Karena banyaknya keluhan dari murid SD serta dari para pengamat pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Soedarsono lalu menginstruksikan agar pelajaran itu dievaluasi. Menurut Menteri, bahasa Inggris sebaiknya diberikan mulai tingkat SLTP.
Kesimpulan Menteri Juwono tak seluruhnya benar. Ada juga murid SD yang fasih berbahasa Inggris dan menyenangi pelajaran itu. Contohnya Dian Arya, murid kelas 5 SD Marsudirini Yogya. Dian berpendapat, dibandingkan dengan pelajaran IPS yang membosankan, bahasa Inggris menyenangkan dan tidak bikin ngantuk. Manfaatnya pun, kata Dian, banyak. "Saya jadi tahu kalau orang tua ngomong rahasia pakai bahasa Inggris," ujarnya sambil tersenyum.
Masalahnya terpulang kepada para guru, yang rata-rata mengalami kesulitan mengajarkan bahasa Inggris. Hal ini diakui oleh Wahyu Ekowati Hartono, guru di SDN Menteng 3. Katanya, dengan hanya diberikan dua jam dalam seminggu, tak cukup bagi murid ataupun guru untuk memahami bahasa yang tak dipergunakan sehari-hari itu. Akibatnya, guru memacu dengan hafalan, yang membuat pelajaran itu jadi tidak menarik. Alasannya, "Anak-anak sering lupa. Jadi harus diulang-ulang," katanya.
Problem seperti itu banyak ditemukan di SD negeri. Tapi, menurut Bambang Soegeng, pengamat pendidikan dari IKIP Yogyakarta, kesulitan belajar bahasa Inggris tidak dialami murid-murid sekolah swasta. Dari survei yang dilakukan di sekolah favorit di Kota Gudeg seperti SD Ungaran, SD Muhammadiyah Sapen, dan SD Kanisius, bahasa Inggris mendapat apresiasi yang tinggi dari siswa. Itu berbeda dengan di sekolah dasar negeri, yang muridnya memang kewalahan karena gurunya tidak terampil mengajar. Mereka terlalu banyak memberikan pekerjaan rumah atau tugas lain, yang menjadi beban bagi siswa.
Padahal, katanya, pengajaran bahasa Inggris di SD tak bisa dilakukan dengan menjejalkan materi sebanyak-banyaknya, lantas murid disuruh menghafal. Sebaiknya hal itu disesuaikan dengan alam anak-anak, yang masih diwarnai dengan nuansa bermain?seperti bermain di luar ruang, sementara guru menerangkan benda-benda di sekitar dalam bahasa Inggris.
Kurang terampilnya guru dalam menerapkan metode pengajaran tak ditampik Direktur Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indra Djati Sidhi. Katanya, mengajar bahasa Inggris di SD tak sama dengan mengajar bahasa Inggris di SLTP atau SMU. Anak-anak SD, yang pola pikirnya masih sederhana, tak akan mampu bila harus menyerap pelajaran dalam waktu singkat. Apalagi bila guru memberikannya secara serius. "Harus dengan permainan," tuturnya. Dengan adanya target, siswa malah menjadi terbebani. Karena itu, ia menganjurkan agar guru kreatif.
Kini menjadi pertanyaan, apakah pelajaran bahasa Inggris di SD negeri dianggap gagal. Untuk itu, harus ditunggu hasil kerja Tim Evaluasi Kurikulum '94 bentukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan?yang sudah berjalan hampir setahun dan ditargetkan selesai sebelum tahun ajaran baru nanti. Yang pasti, bila kurikulumnya dianggap berat dan tak dapat diperbaiki, bahasa Inggris itu akan dihapus dari pelajaran SD.
Ma'ruf Samudra, Arif A. Kuswardono, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini