Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lakon Gugat Bersimpang Angka

Pasangan Wiranto-Salahuddin mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. KPU belum memesan kartu suara putaran kedua.

2 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENSIUN dari militer tak membuat Jenderal (Purnawirawan) Wiranto mudah "mengalah". Tiga hari setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil akhir perolehan suara pemilihan presiden putaran pertama, kubu Menara Imperium langsung bergerak. Mereka memang melangkah terukur: menunggu pas tenggat pengajuan keberatan atas pengumuman hasil penghitungan suara KPU.

Setelah menggelar konferensi pers yang diliput puluhan wartawan di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis pekan lalu, malamnya Wiranto dan kuasa hukumnya beranjak ke kantor Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Mereka mengajukan gugatan atas hasil pemilihan presiden putaran pertama. "Ini untuk menjaga kredibilitas pelaksanaan pemilu," kata Wiranto.

Ia berharap upayanya mempersoalkan hasil perolehan suara itu tidak semata diartikan persoalan kalah-menang, terlebih lagi dikesankan emosional. "Kalau Mahkamah Konstitusi mengabulkan, ya, alhamdulillah," katanya sembari menebar senyum seusai menyertai tim hukumnya mendaftarkan gugatan di kantor MK.

Sikap yang diambil Wiranto sebetulnya dapat ditengarai jauh hari. Ahad, 25 Juli lalu, koordinator tim sukses Wiranto, Berliana Kartakusumah, yang saat itu menjadi saksi proses penghitungan suara manual di Balai Sidang Jakarta, menolak menandatangani hasil perolehan suara. Berliana, katanya, melihat terlalu banyak kejanggalan dalam proses rekapitulasi itu.

Ia menunjuk adanya penggelembungan suara pada satu calon dan penghilangan suara untuk calon lain. Pihaknya juga sedang menunggu fatwa Mahkamah Agung (MA) atas permohonan uji material (judicial review) surat edaran KPU nomor 1151 tanggal 5 Juli 2004. "Jika fatwa MA menyatakan surat edaran itu tidak sah, otomatis harus ada penghitungan ulang," kata Berliana.

Ia menilai surat yang mengesahkan hasil tusukan yang tembus hingga halaman judul itu bertentangan dengan Pasal 56 Undang-Undang Pemilu. Dengan pengajuan ini, setidaknya ada dua hal yang dipersoalkan Wiranto dan kawan-kawan. Pertama, soal surat edaran KPU yang dibuat pada hari pelaksanaan pemilu presiden 5 Juli lalu, yang sudah lebih dulu mereka ajukan ke MA. Kedua, indikasi penggelembungan dan penghilangan suara pada proses penghitungan, yang mereka ajukan ke MK.

"Kedua persoalan ini jelas merugikan klien kami," kata kuasa hukum Wiranto, Yan Juanda Saputra. Seberapa dirugikan? "Oh, sangat, karena bisa mempengaruhi urutan pemenang," ujar Berliana. Ketua divisi jaringan daerah tim sukses Wiranto, Haribowo Lesmono, menambahkan bahwa lenyapnya perolehan suara tidak hanya terjadi pada pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, tapi juga pada pasangan Amien Rais-Siswono Yudho Husodo.

Haribowo melihat pula adanya pola yang konsisten dalam soal ini. "Selalu angka kami dan angka Pak Amien berkurang, sedangkan data untuk pasangan Mega-Hasyim dan Yudhoyono-Jusuf Kalla bertambah," kata mantan aktivis mahasiswa Universitas Indonesia itu. Sebagai contoh kecil, Haribowo menunjuk kasus yang terjadi di Desa Cilaban Bulan, Pandeglang, Provinsi Banten.

Menurut dia, di desa itu angka perolehan suara Wiranto-Salahuddin berkurang 134 suara, Megawati-Hasyim bertambah 411 suara, Amien-Siswono berkurang 53 suara, dan Yudhoyono-Jusuf Kalla bertambah 60 suara. Itu jika catatan resmi KPU Pusat dibandingkan dengan catatan yang diperolehnya dari para saksi yang mengawasi jalannya pemilihan. "Kejadian seperti itu banyak kami temukan di tempat lain," kata Haribowo.

Dari hasil akumulasi itulah, menurut Berliana, pihaknya mencatat lebih dari 5,4 juta suara pro-Wiranto-Salahuddin di 26 provinsi hilang dalam proses penghitungan KPU. Dalam gugatannya, Wiranto memang mengklaim memperoleh 31.721.448 suara, lebih banyak dibandingkan dengan angka resmi KPU?yang mencatat 26.286.788 suara. Angka yang diklaim Wiranto ini lebih banyak 122.344 suara dari perolehan pasangan Megawati-Hasyim sesuai dengan catatan resmi KPU.

Menilik kenyataan selama proses pemilihan presiden putaran pertama, pengamat politik Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), Indra Jaya Piliang, percaya bahwa mungkin saja ada banyak suara pro-Wiranto-Salahuddin yang lenyap dalam proses penghitungan KPU. Tapi ia tak terlalu yakin jumlahnya sebanyak yang diklaim pihak Wiranto. "Mungkin saja ada, tapi saya pikir tidak akan sampai sebanyak itu," katanya.

Indra memahami langkah yang diambil Wiranto dan timnya. Ia menyatakan langkah itu sebagai manuver yang pantas dilakukan, mengingat adanya kesenjangan yang cukup besar antara data tim mereka dan data resmi KPU. Selain itu, sangatlah mungkin kebijakan yang diambil KPU?sebagaimana gugatan tim Wiranto?memang merugikan mereka.

Pengamat ini juga meyakini, manuver itu sangat berguna bagi pemelajaran demokrasi di masa mendatang. "Terlepas dari kepentingan satu-dua pihak, surat edaran KPU itu memang layak dipertanyakan karena mengisyaratkan lalainya mereka melakukan sosialisasi," ujar Indra.

KPU sendiri tampaknya tidak menganggap gugatan Wiranto sebagai perkara besar. Ketua Divisi Rekapitulasi Pemilu KPU, Rusadi Kantaprawira, menyatakan proses penghitungan selama ini sudah melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan hasil pemilihan, bahkan sejak di tempat pemungutan suara. Rusadi bahkan melihat persoalan itu lebih sebagai masalah internal tim Wiranto.

"Bukankah laporan yang kami terima juga sudah diteken para saksi, juga dari pihak mereka?" kata Rusadi. Dengan demikian, menurut guru besar ilmu politik Universitas Padjadjaran, Bandung, ini, sebenarnya di tingkat pusat bisa dikatakan hanya tinggal memberikan tanda tangan. Namun, sebagaimana Indra, Rusadi memahami langkah yang ditempuh Wiranto. "Itu bagian dari pertanggungjawaban mereka terhadap para pemilih," katanya.

Persoalannya: akankah gugatan tersebut dikabulkan MK? "Kalau melihat data yang ada pada kami, mengapa tidak?" kata Salahuddin Wahid optimistis. Indra Jaya Piliang tak persis berpendapat sama. Ia yakin MK akan bekerja profesional. Karena itu, mungkin ada beberapa data yang akan dihitung ulang dan beberapa yang sudah dianggap sah tak perlu diulang. "Seperti keputusan MK lainnya, tidak semua permohonan dikabulkan," katanya.

Pendapat Indra ditepis Ketua MK Jimly Asshiddiqie. "Kalau memang dari penghitungan terbukti lain dengan urutan saat ini, Mahkamah akan memutuskan sesuai dengan hasilnya," kata Jimly. Adapun KPU, menurut Rusadi, akan mematuhi keputusan MK. Salah satu bentuk penghormatan itu misalnya dengan menahan rencana pembuatan kartu suara untuk pemilihan putaran kedua.

Bahkan, kalau MK memutuskan agar KPU melakukan penghitungan ulang, mereka akan patuh. "Hanya, tentu saja, basisnya tidak bisa kelompok penyelenggara pemungutan suara, apalagi TPS, tapi provinsi," kata Rusadi. Pada titik inilah KPU bersimpang jalan dengan keinginan tim Wiranto. "Kalau diulang, kami minta basisnya data dari kabupaten-kota," kata Berliana, "Datanya kan pasti masih lengkap."

Darmawan Sepriyossa, Hanibal W.Y.W., Maria Ulfah (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus