PERTEMUAN para menteri ekuin dengan para wartawan dalam dan luar negeri menjelang Pidato Pengantar Presiden tentang APBN telah menjadi ritus. Pidato Pengantar Presiden juga menjadi bagian yang mapan dari prosesi kenegaraan di awal Januari setiap tahun. Sementara itu, format anggaran yang diajukan tak pernah berubah sejak 1967-'68. Selalu anggaran disebut sebagai anggaran berimbang. Juga selalu anggaran penerimaan dibagi atas dua bagian besar: penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan (baca: dari luar negeri). Anggaran pengeluaran pun dibagi atas dua bagian besar: pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dengan "format" tetap dan "ritus" rutin yang demikian, pentingkah kita membahas APBN 1991-'92. Adakah setiap pembahasan APBN juga jadi ritus pelengkap dari ritus utama. Dengan kata lain, adakah makna khusus dari APBN setiap tahun? Tak perlu berpikir ulang untuk mengatakan bahwa setiap rancangan anggaran (termasuk RAPBN 1991-'92) mengandung arti yang berbeda. Sebab, aspek-aspek ekonomi di sekitar anggaran itu setiap saat pasti tak sama. RAPBN 1990-'91, ketika diajukan, berlangsung dalam tingkat suku bunga yang relatif rendah. (Deposito untuk satu bulan di bank-bank pemerintah rata-rata mencapai 15,13% setahun). Dan kebijaksanaan uang/kredit juga dirasakan longgar. Saat itu inflasi 1989 cuma bertengger pada tingkat rata-rata 6%. Kini, RAPBN 1991-'92 diajukan dalam suasana tight money policy, dan inflasi setinggi 9,53%. Lalu tingkat suku bunga deposito berjangka setahun jadi 21-22% untuk bank pemerintah. Dengan situasi moneter dan kebijaksanaan moneter yang berbeda-beda, arah, penyebaran, dan volume anggaran jadi penting dipantau perbedaannya. Kombinasi antara kebijaksanaan fiskal yang longgar dan kebijaksanaan moneter yang ketat beda sekali dampak makronya dengan kombinasi kebijaksanaan fiskal yang ketat dan kebijaksanaan moneter yang juga ketat. Dalam hal terakhir investasi akan terpengaruh secara negatif. Pertumbuhan ekonomi juga akan dirasakan penurunannya. Namun, perlu kita berhati-hati dalam menggeneralisasi policy mix yang dimaksud. Bila tight money policy (TMP) kendur pada pertengahan semester I, sulit diartikan bahwa TMP berlangsung sepanjang tahun anggaran. Dalam perkiraan ekonomi tentang anggaran ada baiknya telaah dibahas pada dua bagian besar: telaah internal dari angka-angka anggaran sendiri serta telaah aspek eksternal. Di sini terdapat hal yang secara teknis perlu dijelaskan. Dalam menganalisa RAPBN 1991-'92 secara internal, tetap saja ada faktor eksternal yang harus diperkirakan. Ini terjadi karena besarnya peran harga migas dan bantuan luar negeri pada APBN. Karena itu, faktor eksternal dalam membahas APBN secara internal kita sebut sebagai faktor "eksternal langsung". Pembahasan faktor eksternal lain di luar utang dan harga minyak dikategorikan sebagai analisa faktor eksternal. Pembahasan anggaran secara internal mengacu pada empat masalah pokok yang amat crucial dalam memperkirakan realisasi anggaran dan dampak makronya. Pertama adalah asumsi harga minyak bumi dalam RAPBN 1991-'92 yang US$ 19 per barel, atau US$ 2,50 lebih tinggi dari asumsi pada tahun anggaran berjalan. Asumsi baru yang diajukan delapan hari sebelum deadline krisis Teluk 15 Januari 1991 termasuk berani. Sungguh sedih betapa peran minyak masih tetap begitu sentral dalam penyusunan anggaran Indonesia. Dari segi "hikmah", kalau memang mau dicari, barangkali adalah tingginya fleksibilitas realisasi anggaran 1991-'92. Apakah fleksibilitas ini menyebabkan RAPBN undershoot atau over-shoot dari harga realisasi minyak? Itulah soalnya. Masalah kedua yang agaknya tak lagi bisa di-"diam"-kan adalah besarnya net foreign exchange resource outflow dalam APBN 1991'92. Sejak tahun anggaran 1986-'87 jumlah pembayaran bunga dan cicilan utang melampaui penerimaan utang baru. Dalam tahun anggaran 1990-'91 resource outflow berjumlah setara dengan Rp 1,4497 trilyun. Tapi, kini jumlahnya membengkak jadi setara Rp 3,758 trilyun. Selain itu, bila dalam tahun anggaran sekarang 25,56% dari utang berupa bantuan program yang bersyarat lebih ringan (tanpa perlu menyiapkan dana rupiah), pada RAPBN 1991'92 bantuan program hanya 14,82% dari total bantuan luar negeri. Maka, amat wajar bila Indonesia menerapkan sikap yang sesuai dengan pandangan Komisi Selatan di bawah pimpinan Julius Nyerere. Hasil Komisi Selatan yang dibukukan dengan judul The Challenge to the South menarik karena ia memadukan pandangan negarawan (seperti Nyerere) dengan ekonom yang bisa dikategorikan sebagai main stream (seperti Widjojo Nitisastro) dan ekonom strukturalis (seperti Celso Furtado). Dalam hal utang mereka sepakat bahwa low income countries (jangan lupa Indonesia masih termasuk di sini) perlu dibedakan dalam utang karena mereka dihadapkan pada tantangan berat, seperti kependudukan dan kemiskinan. Sudah masanya kita bersikap berbeda ke negara-negara donor. Bayangkan, net resource outflow dalam RAPBN 1991-'92 sebesar Rp 3,758 trilyun adalah lebih besar dari seluruh proyek Inpres yang Rp 3,277 trilyun. Dan jumlah penduduk kita yang 179 juta pada 1990 akan jadi 182,5 juta tahun 1991. Menjaga stabilitas dengan penduduk segede itu bukan perkara sederhana. Masalah ketiga adalah besarnya peningkatan penerimaan pajak penghasilan (23,1%) dan pajak pertambahan nilai (20,5%). Dalam situasi tight money policy saat ini, rencana penerimaan pajak setinggi itu, betapapun realistisnya menurut Pemerintah, bukan hal yang dapat "ditelan" begitu saja oleh para pengusaha dan masyarakat konsumen. Dalam hal ini menjadi amat crucial untuk meniadakan setiap prasangka bahwa sejumlah pengusaha tertentu diperlakukan lebih adil dari banyak pengusaha lain. Isu keringanan pembayaran pajak bagi kelompok-kelompok pengusaha tertentu, dalam bentuk dan proyek apa pun, akan membuat demoralisasi yang mendasar pada setiap pembayar pajak. Pada akhirnya dan pada pokoknya soal pajak adalah soal rasa keadilan di masyarakat yang amat sulit menguantifikasikannya. Di pihak lain, bila rasa keadilan itu betul-betul terasa " tersinggung" karena sebuah kebijaksanaan, dampaknya bisa melampaui sekadar perhitungan teknis anggaran. Faktor keempat dari pembahasan anggaran secara intern adalah gaji dan pensiun pegawai negeri. Bisa dikatakan bahwa tindakan pemerintah untuk tidak menaikkan gaji adalah keputusan yang berani. Dengan tingkat inflasi mendekati 10%, pendapatan riil mayoritas pegawai negeri jadi menurun. Mereka boleh jadi bertanya-tanya, mengapa mereka tak kecipratan rezeki kenaikan penerimaan minyak sebarel pun. Pertanyaan yang logis, wajar, dan sulit dijawab. Akar sulitnya menjawab adalah pengetahuan umum yang amat meluas di masyarakat dan mayoritas pegawai negeri bahwa cukup banyak pegawai negeri (terutama pada tingkat yang tinggi/pejabat) yang penerimaan pendapatannya sama sekali tak ada kaitannya dengan gaji resmi mereka. Apa yang terjadi dengan RAPBN 1991-'92 adalah kian dramatisnya timbul pertanyaan itu (yang menyangkut kredibilitas otoritas negara) akibat tingginya inflasi dan besarnya perkiraan penerimaan minyak dan gas bumi. Faktor ekstern di luar anggaran yang patut disimak di sini menyangkut aspek kebijaksanaan makro ekonomi lain, serta aspek yang untuk mudahnya disebut aspek makro politik dari anggaran. Dalam hal yang pertama anggaran dilihat sebagai bagian dari kebijaksanaan makro ekonomi yang mencakup kebijaksanaankebijaksanaan moneter, neraca perdagangan dan pembayaran luar negeri, serta kebijaksanaan di sisi produksi (suplai). Anggaran kini harus dilihat dalam konteks kebijaksanaan uang ketat, inflasi yang cukup tinggi, dan defisit pada neraca transaksi berjalan yang cukup "berbahaya" (perkiraan realisasi US$ 2,635 milyar). Pembahasan dari anggaran secara "intern" menunjukkan bahwa ekspansi volume (naik 17,9%) dari 42,873 trilyun rupiah ke 50,555 trilyun rupiah, secara riil telah dinetralisasi akibat inflasi dan net resource outflow. Kita berhadapan dengan anggaran yang membuat lebih sulit mengharapkan Pemerintah menjadi prime-mover" dinamika ekonomi tahun 1990-an. Di atas itu semua, aspek ketidakmenentuan tentang Perang Teluk membuat pembicaraan tentang "disiplin anggaran" sebagai hal yang tak ada kaitannya dengan kerja membandingkan rencana terhadap realisasi. Apa yang tersisa dari kehendak agar ada konsistensi antarinstrumen makro? Yang tampak nyata jadinya adalah semakin besarnya peran yang harus -- suka atau tak suka -- dimainkan oleh swasta, baik itu BUMN, konglomerat, swasta menengah dan kecil, maupun koperasi. Pada gilirannya bisakah peran yang harus dimainkan oleh swasta itu -- karena fungsi anggaran tidak ekspansif, karena uang ketat, karena neraca pembayaran semakin mengandalkan utang swasta dan ekspor nonmigas yang swasta -berlangsung dalam iklim distorsi, price regulation, marketing board regulation, dan tata niaga perdagangan? Jawabannya, jelas tidak. Di sini kita harus melihat komponen anggaran sebagai komponen makro politik. Bagaimanapun, RAPBN 1991-'92 adalah RAPBN yang akan berlangsung pada pra-Pemilu 1992. Menghadapi gaji yang tidak naik di masa setahun sebelum pemilu memang merupakan tindakan yang berani. Begitu juga menetapkan hadirnya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang praktis akan memonopoli pemasaran cengkeh di dalam negeri adalah juga tindakan yang berani. Namun, keberanian dalam hal gaji berbeda 180 dengan keberanian penetapan tata niaga cengkeh melalui BPPC yang monopolistis. Dalam hal yang pertama, yang terjadi adalah kehendak untuk menerapkan disiplin fiskal kendati ada harga politik yang harus dibayar. Hal yang kedua sebaliknya adalah aspek yang selain mempunyai harga politik yang mahal juga mengandung nilai ekonomi yang negatif. Apa pun juklak (petunjuk pelaksanaan) yang akan dibuat untuk tata niaga cengkeh, keluarnya SK akhir tahun Menteri Perdagangan tentang BPPC akan bermuara pada pengalokasian sumber-sumber ekonomi yang tidak efisien. Mengingat begitu besar harga politik yang harus dibayar akibat tuntutan fiskal, perlukah dan bijaksanakah kita menambah harga politik lain yang nilai ekonomisnya justru negatif?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini