HINGGA awal pekan ini, Saddam Hussein dan George Bush masih saling melontarkan ancaman. Namun, bila terjadi, Perang Teluk menjanjikan gambaran yang sungguh mengerikan. Irak telah menyiapkan berbagai perkakas bela diri: pasukan berani mati, tank, rudal jarak sedang dan jarak jauh, pembawa bom kimia dan bom kuman, yang bisa menyengat kekuatan militer Amerika beserta sekutunya di seputar Teluk. Tapi Irak masih punya senjata pamungkas: menjadikan sumur minyak dan tanki-tanki sebagai alat penghalau musuh. Ancaman Perang Teluk ini, pekan lalu, dibahas di London oleh para ahli militer, perminyakan, dan lingkungan, yang datang dari pelbagai negeri. Mereka risau, jika perang meletus, bukan saja ribuan prajurit bakal tewas menjadi korban. Lebih dari itu, cuaca regional dan global bakal kacau-balau akibat asap mesiu dan kabut hitam dari minyak yang terbakar. Dalam skenario para ahli itu, selain menggunakan senjata kimia dan bom kuman Saddam akan menggunakan barikade api untuk melindungi prajuritnya. Diduga, mula-mula dia akan membakar sekitar 400 sumur dan tanki-tanki reservoar minyak yang berada di daratan dan lepas pantai Kuwait. Untuk mengurangi tekanan angkatan laut lawan, Saddam mungkin juga akan membanjiri perairan Teluk dengan minyak mentah, lalu membakarnya. Bila tentara darat musuh terus merangsek maju, Saddam akan melangkah ke jurus kedua: membakar pipa minyak yang melingkari Kuwait. Lantas, bersamaan itu, dia akan memerintahkan pasukan- nya agar menggempur sumur-sumur minyak Arab Saudi. Tak syak lagi, kawasan perairan Teluk akan berubah menjadi lautan api. Kalau Baghdad terancam, Saddam tak mustahil membakar ladang minyaknya sendiri yang ada di daerah Subai, Luhays, dan Rumaylah, di sebelah utara perbatasan Kuwait. Pembakaran besar ini, dalam taksiran para ahli, akan memusnahkan paling kurang tiga juta barel minyak mentah per hari -- tak termasuk yang hangus di wilayah Arab Saudi. Sesudah aksi bakar-bakar itu, mungkin saja tentara Saddam Hussein luluh lantak. Namun, api yang ditinggalkannya tak begitu saja bisa dikendalikan. Sumur-sumur minyak itu, menurut Basil Butler, Direktur Pelaksana British Pretoleum, yang kaya pengalaman di kawasan Teluk, bisa menyala 6 sampai 9 bulan. "Akibat ini harus dipikirkan oleh dunia internasional," ujarnya di depan pertemuan London itu. Api yang mengamuk di kawasan Teluk itu akan terlihat menjulang tinggi menyala-nyala. Maklum, minyak dari daerah ini mengandung 23% nafta, fraksi minyak yang mudah berubah menjadi gas serta gampang terbakar. Sepanjang api mengamuk, menurut sebuah taksiran, 0,5 juta ton asap akan membumbung ke angkasa memenuhi langit. Langit Teluk Persia akan tertutup oleh kabut tebal. Akibatnya, sinar matahari terhalang. Suhu di daerah itu bisa anjlok sampai 20 C dari tingkat yang semestinya. Namun, di titik-titik kebakaran, suhu bisa mencapai 300-500C. Pusat tekanan tinggi dan tekanan rendah pun muncul berselang-seling. Cuaca akan berubah-ubah tanpa pola. Yang paling dikhawatirkan, bila kabut hitam itu tumbuh menjadi awan hujan dan turun ke bumi. Hujan yang turun membawa butir-butir kabut itu bukan air yang membawa berkah. Para ahli memastikan, air hujan itu akan bersifat asam yang justru akan merusakkan daerah pertanian dan penggembalaan ternak. Satu spekulasi mengatakan, hujan asam itu akan menghancurkan daerah pertanian di daerah Teluk dan Asia Tengah, bahkan bisa sampai India. Cadangan pangan untuk satu milyar jiwa terancam musnah. Namun, pengaruh buruk itu tak sebatas pada wilayah regional. Dr. Bagong Tjasyono, pakar meteorologi ITB, mengkhawatirkan terjadinya arus konveksi, yang bisa membawa awan hitam dari pembakaran minyak itu menerobos lapisan troposfir, 10 km di atas permukaan bumi, masuk lapisan jet stream, lantas berputar mengelilingi bumi. Pengaruh langsung terhadap cuaca memang tak ada. Namun, kabut itu bakal mengurangi penerimaan sinar surya di banyak tempat, dan bisa menimbulkan wilayah-wilayah bertekanan udara tinggi. "Ini akan menyebabkan perubahan sirkulasi angin di bumi," ujarnya. Arus konveksi yang kuat mudah terjadi di lokasi peperangan, karena banyak tersedia panas dari ledakan mesiu dan pembakaran minyak. Bila bom-bom kimia dan kuman masuk dalam arus konveksi udara tersebut, material pembunuh itu akan beredar pula ke seputar bumi, lalu jatuh ke permukaan karena gravitasi. Tapi Bagong memperkirakan, bahan pembunuh itu tak akan jatuh ke wilayah tropis seperti Indonesia. Bahan-bahan berbahaya itu akan mendarat di sekitar garis lintang 30 derajat belahan bumi utara. Namun, kecemasan yang paling mendalam bersumber pada kemungkinan adanya ledakan nuklir. Bencana ini bisa saja meletus jika Israel terseret dalam Perang Teluk. Kemungkinan buruk ini bisa saja terjadi jika Saddam nekat menyerang Israel dengan bom kimia atau bom kuman. Menghadapi ancaman ini, Israel telah mengambil ancang-ancang, akan membalasnya dengan rudal yang berkepala nuklir. Pengamat barat berani memastikan, Irak belum memiliki senjata nuklir. Tapi Israel disebut-sebut memelihara 150 pucuk senjata nuklir, yang masing-masing berkekuatan setara dengan 30 ribu ton TNT (dua kali lipat bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki 45 tahun lalu). Jika bom nuklir itu meledak, akibat yang ditimbulkan makin dahsyat. Debu nuklir itu bisa masuk ke aliran jet stream, dan menebarkan bencana ke mana-mana, termasuk ke negara-negara yang sama sekali tak terlibat dalam persengketaan itu. Putut Trihusodo, Dwiyanto Rudy S. (Bandung), dan Asbari N. Krisna (Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini