Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Perhubungan memprediksi akan terjadi lonjakan minimal 17 persen dalam arus mudik Lebaran 2019. Sebanyak 60 persen pemudik bergerak menuju Pulau Jawa dan 40 persen menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, diperkirakan 14 juta orang akan mudik, baik ke Jawa Tengah, Jawa Barat, maupun Jawa Timur. Bukan perkara gampang untuk memfasilitasi puluhan juta orang yang bergerak dalam waktu bersamaan dengan rentang waktu pendek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada beberapa catatan dan sorotan terkait dengan hal ini. Secara umum, di atas kertas, manajemen mudik Lebaran kali ini akan berjalan lebih baik dari 2018. Hal ini ditandai dengan kesiapan infrastruktur utama di bidang transportasi, baik sektor laut, penyeberangan, darat, maupun udara. Yang paling fenomenal adalah telah tersambungnya jalan tol Trans Jawa, dari Merak (Banten) hingga Probolinggo (Jawa Timur). Ini tentu akan memberikan kemudahan bagi pemudik, yang 40 persennya akan mudik menggunakan jalur tol. Juga telah berfungsinya jalan tol Trans Sumatera, walau sebagian masih berupa jalan tol fungsional.
Ada beberapa hal yang harus diwaspadai terkait dengan mudik Lebaran ini. Pertama, masih tingginya penggunaan sepeda motor. Kementerian Perhubungan memperkirakan sekitar 924 ribu pemudik akan menggunakan sepeda motor dari arah Jakarta dan sekitarnya.
Bagaimanapun, sepeda motor bukan moda transportasi yang aman, apalagi untuk perjalanan jarak jauh. Sebanyak 70 persen lebih kecelakaan lalu lintas saat mudik melibatkan pengguna sepeda motor. Pada 2018, korban meninggal mencapai 628 orang dan mayoritas adalah pemudik bermotor. Kondisi ini makin diperparah perilaku pemudik yang membawa muatan melebihi kapasitas, baik jumlah penumpang maupun barang bagasi.
Upaya untuk menekan penggunaan sepeda motor sudah dilakukan pemerintah, misalnya dengan fasilitas mudik gratis. Namun jumlah yang terangkut oleh fasilitas ini belum signifikan untuk menguranginya. Pemudik bermotor sulit dihindari karena mereka juga membutuhkan kendaraannya sebagai moda transportasi selama di daerah. Ini mengingat minimnya fasilitas angkutan umum yang memadai di daerah.
Kedua, keandalan jalan tol, khususnya jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera. Jalan tol Trans Jawa akan menerima luapan arus pemudik. Diperkirakan 40 persen lebih pemudik dari Jakarta dan sekitarnya akan menggerojoki jalan tersebut. Ini disebabkan euforia untuk menjajal Trans Jawa, yang konon bisa menghemat waktu tempuh secara signifikan. Jarak tempuh Jakarta-Solo, yang biasanya lebih dari 12 jam, bisa dihemat menjadi delapan jam dengan jalan tol Trans Jawa. Fenomena tiket pesawat terbang yang mahal juga menjadi pemicu migrasi dari pengguna pesawat ke moda transportasi darat, khususnya kendaraan pribadi.
Untuk mengantisipasinya, pemerintah berencana menerapkan jurus one way traffic selama tiga hari berturut-turut dan 24 jam. Jika pola ini dijalankan, 80 persen arus lalu lintas dari arah Jakarta akan lancar. Namun akan terjadi "neraka lalu lintas" di jalan arteri di sekitar Bekasi dan potensi "mengunci" dari arah Jawa menuju Jakarta. Dampak yang paling nyata adalah calon penumpang bus bisa keleleran di terminal dan halte karena bus dari arah Jawa tidak bisa masuk ke Jakarta. Sebaiknya one way traffic diterapkan secara bertahap, selektif, dan situasional. Jangan maraton tanpa jeda.
Di sisi lain, potensi kemacetan akan terjadi di pintu keluar jalan tol, khususnya pintu tol utama dan favorit, seperti pintu tol Pejagan sebagai akses untuk memasuki jalur selatan, misalnya Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Yogyakarta. Karena itu, harus diwaspadai terjadinya kemacetan yang panjang dan mengunci di jalur selatan karena, selain tidak ada jalan tol, di jalur ini masih terdapat banyak kendala, seperti pasar tumpah di sepanjang Brebes, Bumiayu, Kemranjen, Sumpiuh, sampai Kutoarjo.
Ketiga, pemerintah jangan melupakan arus mudik di luar Jawa, khususnya pemudik dengan angkutan pelayaran rakyat. Angkutan ini masih menjadi satu-satunya moda transportasi untuk menghubungkan pulau-pulau di sana.
Sayangnya, mayoritas kapal ini tidak mengantongi izin yang jelas, tidak tersertifikasi kelaikan berlayar, dan selama mudik Lebaran umumnya mengangkut penumpang melebihi kapasitas. Akibatnya, kecelakaaan fatal dan menelan korban massal tak terhindarkan. Pada Lebaran 2018, kapal Sinar Bangun di perairan Danau Toba tenggelam karena jumlah penumpang melebihi kapasitas.
Sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasi dan mewujudkan mudik Lebaran yang manusiawi dan bermartabat. Sebab, mudik Lebaran adalah rutinitas tahunan yang seharusnya sudah dipersiapkan dengan matang. Upaya untuk mewujudkannya dilakukan melalui ketersediaan dan keandalan sarana dan prasarana transportasi publik.
Hal yang juga harus digarisbawahi adalah aspek keselamatan selama mudik. Pemerintah harus menjamin proses mudik berjalan secara manusiawi, aman, dan selamat dengan nir-kecelakaan.