Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Takhayul

Menghibur yang kehilangan orang-orang tercinta amatlah perlu. Tapi bahasa bisa punya daya jauh lebih dari itu.

29 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penanganan berbagai petaka tampaknya tak terlalu menganggap penting dan relevan bahasa.

  • Acap bahasa diandalkan untuk menghibur mereka yang tergasak petaka belaka.

  • Bahasa bisa punya daya jauh lebih dari itu.

PENANGANAN berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor, badai, tsunami, kekeringan panjang, dan kelangkaan air bersih berbulan-bulan tampaknya tak terlalu menganggap penting dan relevan bahasa. Bahasa acap diandalkan untuk menghibur mereka yang tergasak petaka belaka.

Menghibur yang kehilangan orang-orang tercinta, menghibur yang kehilangan rumah dan kampung halamannya, misalnya, tentu saja amatlah perlu. Namun bahasa bisa punya daya jauh lebih dari itu. Bahasa juga punya daya membentuk cara kita melihat, bersikap, dan bertindak.

Maka tak mustahil bahasa sampai dapat mengangkat mereka yang tergasak mahapetaka menjadi kaum juru selamat. Tak mustahil kaum ini tidak hanya menggunting reranting mahapetaka, tapi bahkan mencabut akarnya.

Namun bahasa pun bisa membikin kita sesat pikir. Ingat saja, misalnya, istilah “bencana alam”. Begitu mendengarnya, kebanyakan dari kita amat mungkin langsung terbayang bukan saja banjir, tanah longsor, badai, tsunami, kelangkaan air bersih berbulan-bulan, dan sebagainya, tapi sampai lantang menyalah-nyalahkan alam, bahkan sampai pula garang menghujat penciptanya, yang juga pencipta kita semua serta makhluk-makhluk lain.

Penglihatan, sikap, dan tindakan demikian, hemat saya, amat mungkin bukan mengeluarkan kita dari landaan mahapetaka, tapi malah membikin kita makin jauh terapung di samudra mahapetaka. Jika memang ada dari kita yang sudah kaprah bertindak seperti itu, tak perlu agaknya sampai merasa diri jatuh ke dalam dosa tak berampun. Hal ini karena mungkin saja kekhilafan itu justru buah dari kepatuhan mengikuti salah satu pemandu resmi untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar: Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Coba sejenak kita selisik “bencana” dan “bencana alam” dalam kitab yang biaya pembuatannya ditanggung kita itu. Di situ, acuan pertama dari bencana adalah “sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan, bahaya”. Dan acuan dari bencana alam adalah “bencana yang disebabkan oleh alam (spt gempa bumi, angin besar, dan banjir)”.

Teranglah salah satu pemandu resmi itu memunggungi kewajibannya. Bisa jadi ia sumber sesat pikir kolektif itu.

Betul, memang rutin terjadi hujan, banjir, badai, sungai menyurut, dan sebagainya. Namun ada kejadian begitu yang merupakan fenomena alam, ada juga yang dimungkinkan oleh manusia, atau segelintir manusia terutama demi keuntungan mereka belaka. Sebelum yang pertama terjadi, bahkan sebelum terjadi yang kedua, alam selalu lebih dulu mengabarkannya. Mengabarkan tempatnya, waktunya, besarannya, kenapanya, akibat-akibatnya, dan sebagainya. Bahkan, sepanjang keberadaannya, alam tak pernah berhenti menyampaikan hal-ihwal mengenai eksistensinya. Dan ini jauh dari mental narsisistik, egois, pongah, tapi mungkin justru manifestasi tabiat yang memungkinkan keberadaannya yang telah mencapai miliaran tahun, yakni saling tergantung, saling terbuka, dan saling berbagi apa pun.

Jika begitu, tak berlebihlah menyebut alam sebagai mahaguru yang sebegitu lama sabar, tekun, dan tulus berbagi ilmu hidup sehat, sejahtera, saling mencinta, dan berkelanjutan.

Jika banyak dari kita yang tak mendengar suaranya, itu bukan bukti bahwa paham yang menganggap alam sebagai makhluk hidup adalah takhayul. Takhayul yang sudah terbukti berabad-abad itu paham seperti yang tegas dinyatakan Descartes, “Aku berpikir, maka aku ada.” Dan takhayul inilah bisa jadi pemungkin utama banyak dari kita—termasuk saya—yang melahirkan pemandu-pemandu yang menyesatkan, yang pula pemungkin signifikan semua makhluk jatuh ke dalam azab dan sengsara berkelanjutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus