Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam RPJPN, konsep bioekonomi masuk dalam Agenda 2: mewujudkan transformasi ekonomi.
Konsep bioekonomi kelewat gampang disematkan pada hampir apa saja yang terkait dengan praktik pemanfaatan lahan.
Adopsi bioekonomi sangat bergantung pada preferensi, agenda politik, dan ideologi yang berlaku atau dianut.
PADA awal Desember 2024, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengundang masyarakat untuk memberikan masukan rancangan awal mengenai definisi, arah kebijakan, dan peluang bioekonomi di Indonesia. Rancangan yang baru diluncurkan ini merupakan kelanjutan masuknya bioekonomi dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rencana pembangunan itu, konsep bioekonomi masuk dalam Agenda 2: mewujudkan transformasi ekonomi. Dalam pengantar undangannya, Bappenas menyatakan konsep bioekonomi diharapkan dapat menjadi kunci untuk menghubungkan inovasi, keberlanjutan, dan kesejahteraan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undangan tersebut merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk turut mendiskusikan bioekonomi secara terbuka. Diskusi ini tidak hanya berfokus pada konsep yang ditawarkan lembaga pemerintah tersebut melalui dokumen “Inisiatif Bioekonomi: Mewujudkan Transformasi Menuju Ekonomi Berkelanjutan”, tapi juga terhadap konsep bioekonomi secara umum yang dilontarkan pada 2006 oleh negara-negara maju yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Di Eropa, bioekonomi tampak menjadi gagasan yang tak terhindarkan. Apalagi pada 2012, sebanyak 50 negara anggota Uni Eropa sudah menerapkan konsep tersebut. Wacana bioekonomi juga mendarat di Amerika Latin dan Asia, khususnya Brasil dan Indonesia. Dua negeri yang memiliki kekayaan dan keragaman hayati tinggi, tapi sama-sama masih mengandalkan ekonomi ekstraktif.
Ossi I. Ollinaho dan kawan-kawan (Forest Policy and Economics, April 2023) melihat, pada tataran global, upaya mendiskusikan wacana bioekonomi merupakan satu di antara tren kebijakan serta arus bawah yang relevan karena berkaitan dengan pilihan-pilihan pertanian dan perhutanan. Dasar argumentasi itu adalah fakta bahwa konsep bioekonomi kelewat gampang disematkan pada hampir apa saja yang terkait dengan praktik pemanfaatan lahan.
Hal ini membuat kegiatan ekonomi perkebunan berskala raksasa, dengan kegiatan yang tergolong sociobiodiverse economy seperti agroekologi dan agroforestri, yang sebenarnya bertolak belakang dianggap sebagai bagian dari bioekonomi. Secara khusus, di Brasil, penyematan istilah bioekonomi terhadap praktik ekonomi turun-temurun masyarakat adat yang tinggal hutan Amazon dan memanfaatkannya, seolah-olah memaksakan mereka masuk ke sistem politik dan ekonomi yang asing serta bertentangan dengan karakter kehidupan mereka.
Fenomena tersebut seakan-akan menegaskan bahwa upaya mengkomunikasikan bioekonomi sudah bisa berfungsi sebagai satu bentuk aksi sosial dan menimbulkan efek perubahan. Bahkan, lebih sederhana lagi, bioekonomi yang hanya merupakan upaya menempelkan label “bio-” pada segala bentuk produksi berbasis hayati adalah sebuah transformasi.
Dalam waktu 10 tahun—sejak OECD mempromosikan bioekonomi dengan pengertian berbeda dari maksud pencetus awalnya, Nicholas Georgescu-Roegen—konsep ini digambarkan sebagai panasea bagi kegawatan yang dihadapi dunia. Problem ini memunculkan urgensi mentransformasikan ekonomi di mana pun.
Georgescu-Roegen, yang juga menjadi peletak dasar-dasar disiplin ekonomi lingkungan, sebetulnya menggunakan istilah bioekonomi pada era 1970-1980-an untuk melabeli hal-hal yang ia kembangkan dalam perspektif ekologis radikal tentang ekonomi. Dia bertumpu pada pengakuan bahwa sumber daya ada batasnya dan bisa habis kalau diekstraksi terus-menerus; serta teknologi, meski bisa berguna, dapat melepaskan energi yang tak terkendali.
Menurut Georgescu-Roegen, sebagai ekonomi baru, bioekonomi bertujuan melestarikan sumber daya serta mendapat kontrol rasional atas pengembangan dan penggunaan teknologi agar ia melayani keinginan sejati manusia—bukan meningkatkan laba, perang, atau prestise nasional. Bagi dia, ekonomi untuk bertahan atau yang memberi harapan justru diperlukan; yaitu kegiatan ekonomi yang bertumpu pada keadilan dan yang memungkinkan kekayaan bumi digunakan bersama secara setara di antara penduduknya sekarang dan di masa mendatang.
Kini, meski masih disanjung-sanjung sebagai paradigma baru bagi ekonomi berkelanjutan oleh pemerintahan dan korporasi di seluruh dunia, bioekonomi tak lagi sesuai dengan pengertian Georgescu-Roegen. OECD, umpamanya, dalam The Bioeconomy to 2030: Designing a Policy Agenda, menggambarkan konsep ini sebagai “seperangkat kegiatan ekonomi yang bertalian dengan penemuan, pengembangan, produksi, dan penggunaan produk serta proses biologi”. F.D. Vivien dan kawan-kawan memandang hal ini sebagai “pembajakan” (Ecological Economics, Mei 2019).
Masuknya bioekonomi versi belakangan itu tak bisa dilepaskan dari peran aktor-aktor global. Terutama setelah Uni Eropa mengadopsinya pada 2012. Para aktor ini terdiri atas European Commission, negara-negara Uni Eropa dan beberapa negara lain, serta pemerintahan dan lembaga riset yang aktif dalam sains-kebijakan. Mereka mendudukkan bioekonomi sebagai “keniscayaan, apolitis, dan strategi yang menguntungkan alam, manusia, serta ekonomi”.
Ada tiga elemen dalam definisi bioekonomi OECD: pengetahuan bioteknologi, biomassa atau sumber daya hayati terbarukan, dan integrasi lintas penerapan. Dua hal pertama berkaitan dengan proses dan material untuk menghasilkan bermacam-macam produk. Sedangkan elemen ketiga merupakan integrasi pengetahuan dengan penerapannya berdasarkan pengetahuan umum dan rantai nilai tambah yang terdapat di berbagai penerapan.
Pada praktiknya, bertentangan dengan klaimnya, adopsi bioekonomi sangat bergantung pada preferensi, agenda politik, dan ideologi yang berlaku atau dianut. Di Eropa, visi, narasi, dan diskursusnya semula mencakup dua kemungkinan: sebagai proyek neoliberalisasi alam melalui bioteknologi serta sebagai pendukung agroekologi, lingkungan, dan biodiversitas.
Belakangan, menurut observasi Sabaheta Ramcilovic-Suominen dan kawan-kawan (Forest Policy and Economics, November 2022), yang berjaya justru visi dan diskursus pro-industri, pro-pertumbuhan, dan pro-biomassa, yang memandang sumber daya biologis sebagai “mesin ekonomi”.
Ramcilovic-Suominen dan kawan-kawan mengemukakan dua visi berbeda dari bioekonomi yang mendominasi Uni Eropa: pro-pertumbuhan ekonomi dan pro-limitasi planet. Kajian mereka, melalui dua identifikasi itu, menegaskan bahwa dalam wujudnya saat ini, yang berfokus pada ekstraksi biomassa, bioekonomi secara mendasar juga merupakan praktik ekstraksi.
Terlepas dari derajat dan karakteristiknya, mengekstraksi sesuatu demi eksistensi manusia dan ekonomi—dengan imbuhan “bio-” sekalipun—sesungguhnya merupakan proses yang merusak; ia bagaimanapun mengubah makhluk hidup dan habitatnya menjadi material yang dapat diekstraksi.
Mereka menyimpulkan visi dan wacana tentang bioekonomi di Uni Eropa masih berkutat pada tujuan pertumbuhan ekonomi. Perspektif biofisik atau batas-batas planetnya pun belum cukup tegas untuk mengatasi ketidakadilan sistemik serta ketidakseimbangan kekuatan yang berakar pada perampasan dan dominasi pada masa lalu ataupun yang bersifat kontemporer. Selain itu, hal yang sama sekali absen adalah perspektif feminis.
Karena itu, mereka menilai kedua visi bioekonomi tersebut tak berkemampuan memecahkan problem konsumsi yang berlebihan, ekstraktivisme, dan ketimpangan sosioekologi.
Proposal Bioekonomi Bappenas
Dalam proposal bioekonomi Bappenas terdapat penegasan tentang pentingnya menyusun dan mengembangkan bioekonomi di Indonesia secara jelas serta “lebih dari sekadar labelling”. Definisi dan cakupan kriteria atau nilai yang diusulkan untuk diangkat pun—yakni menciptakan nilai tambah, menerapkan teknologi, mendorong peningkatan kesejahteraan—tampak indah.
Selain itu, penjabaran 10 prinsip yang direkomendasikan G20 Initiative on Bioeconomy (2024) dengan aspek-aspek dalam RPJPN 2025-2045 berupaya memperlihatkan relevansi bioekonomi yang dibayangkan dengan tujuan-tujuan pembangunan Indonesia dalam dua dasawarsa ke depan.
Meski demikian, menimbang asal-usul, siapa saja yang terlibat, serta bagaimana proses yang dilalui untuk mempromosikan konsep bioekonomi pada awalnya, eksaminasi secara saksama dan menyeluruh adalah keharusan sebelum benar-benar hendak mengadopsinya. Terlebih dalam mengidentifikasi bentuk-bentuk penerapan praktisnya—sebab, seperti kata orang, “The devil is in the details.”
Aspek transformasi, peralihan dari model ekonomi yang berlaku saat ini ke model alternatif yang menimbang limitasi planet dan masih perlunya mengangkat taraf kesejahteraan semua orang, harus sepenuhnya diutamakan. Jangan sampai konsep bioekonomi versi Bappenas merupakan ekonomi biasa berpupur nilai-nilai transformatif, tapi tetap berwatak ekstraktif.
Dalam eksaminasi itu, hal-hal kritis yang diuraikan di atas dan studi yang ada sepatutnya dijadikan bahan pertimbangan. Penerapan proposal Bappenas bakal berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat. Terutama mereka yang hidup berdekatan dengan sumber daya yang akan dimanfaatkan dan sangat berpotensi melanggengkan ekonomi ekstraktif. Karena itu, asesmen terhadap proposal itu harus benar-benar cermat melihat apakah sudah mengandung partisipasi pemangku kepentingan yang luas dan nyata. ●