Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gus dur dan massa diparkir timur

Rapat akbar nu berlangsung dalam suasana khidmat dan tak ada kemacetan lalu lintas. dihadiri sekitar 145 ribu orang. ide ini dipersiapkan warga nu memasuki pemilu dengan tetap berpegang pada khitah.

7 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA ukurannya adalah jumlah massa, perhelatan akbar ini tak bisa dibilang sukses. Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, tempat berlangsungnya rapat akbar memperingati ulang tahun NU ke68 itu, Minggu siang yang lalu, cuma terisi sekitar 30 persen. Lapangan parkir ini, menurut aparat keamanan, berkapasitas 450.000 orang. Seorang perwira menengah Kodam Jaya yang bertugas mengamankan acara itu memperhitungkan jumlah massa yang hadir sekitar 145.000. Polisi memberi perkiraan yang hampir sama. "Jumlahnya kami taksir sekitar 150.000 orang," kata Kapolres Jakarta Pusat, Letkol. Wenny Setiawan. Semula, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyebutkan jumlah massa yang akan dia datangkan dari berbagai daerah di Jawa dan Lampung, untuk mengikuti rapat akbar ini akan mencapai dua juta manusia. Jumlah itu amat spektakuler, dan akan merupakan pemecahan rekor dalam pengumpulan manusia di sini, dalam sebuah upacara. Ide mempergelarkan dua juta umat ini, menurut Gus Dur, untuk mempersiapkan warga NU memasuki Pemilu dengan tetap berpegang kepada khitah. Soalnya, ia melihat adanya tendensi munculnya sektarianisme dan eksklusivisme di kalangan umat Islam belakangan ini. Tapi Mendagri Rudini, Mensesneg Moerdiono, dan Menko Polkam Sudomo tampaknya khawatir. Pengumpulan massa besar-besaran seperti itu ditakutkan akan memacetkan lalu lintas dan mengganggu keamanan. "Untuk mengangkut dua juta orang itu dibutuhkan 40.000 bus. Kalau tiap bus panjangnya 10 meter, berarti iring-iringan bus itu mencapai 400 km. Apa tak semua jadi macet. Lagi pula orang sebanyak itu, kalau mau kencing, di mana?" kata Rudini. Rudini menunda memberikan rekomendasi yang diperlukan agar kepolisian bisa mengeluarkan izin. Lalu Gus Dur menurunkan jumlah dua juta itu menjadi 500 ribu. Dalam konsensus yang dicapai Gus Dur dengan Menteri Rudini dan Moerdiono, pekan lalu, jumlah itu diturunkan lagi menjadi 200 ribu. Dengan jumlah itu, Rudini mengeluarkan rekomendasi. "Saya lihat bukan rapat akbarnya, tapi Harlah NU-nya, karena itu rekomendasi saya berikan. Jumlah massa 200.000-an itu kan sudah cukup. Kalau semua teriak, kan sudah ramai," kata Rudini. Maka, polisi mengeluarkan surat izin Jumat pekan lalu. Seyogianya acara ini dilaksanakan di dalam Stadion Utama Senayan, yang diperhitungkan mampu menampung 200.000 manusia. Tapi, menurut Kolonel Soedaryono, seorang pejabat dari Mabes Polri, PBNU minta agar tempatnya dipindahkan ke lapangan parkir. Soalnya, perkiraan PBNU, akan banyak anggota NU yang datang secara spontanitas, sekalipun mereka tak diundang. "Spontanitas itu kan sulit diukur, karena itu pemindahan itu kami izinkan," kata Kolonel Soedaryono. Karena memperhitungkan membludaknya massa itulah, panitia -- atas bantuan pengusaha Setiawan Djody -- sudah menyiapkan sound system yang bagus di sekeliling lapangan. Bukan itu saja, di kedua sisi pinggir lapangan parkir seluas 120.000 m2 itu, dipasang berjejer 26 pesawat televisi. Direncanakan, dengan sistem sirkuit terbatas, acara ini dipancarkan di pesawat televisi, sehingga pengunjung yang jauh dari pentas dapat mengikuti acara dengan nyaman. Dugaan massa akan membludak bertambah kuat karena dalam acara ini akan turut ambil bagian Setiawan Djody, W.S. Rendra, dan mubalig jutaan umat, K.H. Zainuddin M.Z. Ternyata, persiapan ini mubazir karena massa tak sampai memenuhi lapangan itu. Sampai acara berakhir, pesawat televisi itu tak pernah digunakan. Lapangan yang luas itu bertambah kosong karena teriknya matahari. Banyak pengunjung berteduh di bawah pohon di pinggir lapangan, banyak pula yang memilih tetap tinggal di busbus yang diparkir di halaman Gelora Senayan. Yang jelas, acara berlangsung dalam suasana khidmat, tak ada kerusuhan -- dan sama sekali tak ada kemacetan lalu lintas -- yang semula banyak dikhawatirkan para pejabat. Boleh jadi, ini karena bantuan para jin. Menurut Abu Hasan, pengusaha yang menjadi ketua panitia kerepotan ini, untuk keamanan acara, mereka minta bantuan 290.000 jin dari berbagai daerah. Yang pasti, ABRI memang betul-betul siap mengamankan acara itu. Polda Metro Jaya mengerahkan lebih dari 2.000 satuan polisi, sedang Kodam Jaya menerjunkan satuan setingkat kompi dalam jumlah yang hampir sama, belum dihitung satpam Gelora Senayan. Dinas Pemadam Kebakaran mengerahkan mobilnya di kawasan itu untuk berjaga-jaga. Mereka tampak berjaga di mana-mana. Kenapa umat NU tak berjubel ke Parkir Timur? Ada sejumlah alasan. Kiai Haji Noer Mohammad Iskandar S.Q., pengasuh Pondok Pesantren AshShiddiqiyah, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengaku massanya dihalang-halangi polisi. "Ada seratus bus yang mau beriringan menuju Senayan, tapi dicegah polisi. Padahal nyatanya, lihat itu, masih banyak tempat kosong," kata Kiai Noer. Sejumlah panitia rapat akbar di daerah-daerah juga mengalami hal yang sama. Jawa Barat, misalnya, atas imbauan muspida setempat, mengirimkan massa maksimal 30.000 orang. Padahal, semula pimpinan NU setempat sudah mengumumkan akan mengirimkan 500.000 umatnya ke rapat akbar ini. Anehnya, jumlah yang 30.000 itu pun agaknya tak terpenuhi. Paling tidak, yang tercatat oleh Pengurus Wilayah NU Jawa Barat, anggotanya yang berangkat ke Jakarta hanya 248 bis ditambah 25 Colt. Dengan kapasitas bis cuma 50 orang dan mobil Colt 12 orang, maka jumlah itu tak sampai 15.000 orang alias separuh dari jumlah yang dialokasikan muspida. "Banyak anggota yang berangkat dengan kendaraan pribadi, tapi saya tak tahu jumlahnya," kata Cece Iskandar, Wakil Ketua PWNU Jawa Barat. Boleh jadi, terlambatnya surat izin itu berpengaruh pula dalam soal ini, sebab tak ada kepastian acara itu jadi atau tidak. Lampung, misalnya, salah satu basis NU di luar Jawa, cuma mengirimkan 800 anggota karena sulit mencari bis dengan mendadak. Selain itu, tampaknya ada pula soal biaya. Dari Jawa Timur, misalnya, semula direncanakan akan diberangkatkan 2.000 anggota Banser. Biaya untuk itu dijanjikan PBNU sebesar Rp 63 juta. Ternyata, yang direalisasikan cuma Rp 15 juta. "Padahal, untuk nyarter bus saja sudah berapa. Kita harus prihatin," kata Mohamad Farchan, Komandan Satuan Koordinator Wilayah Banser Jawa Timur. Akibatnya, jumlah Banser yang diberangkatkan terpaksa disunat, tinggal separuh. Yang dibiayai oleh PBNU terbatas hanya anggota Banser, sedangkan anggota NU lainnya harus berangkat dengan biaya sendiri. Untuk ongkos bus dan biaya selama di perjalanan, setiap anggota NU di Jawa Tengah dikenai biaya Rp 25.000, bukan jumlah kecil untuk kebanyakan anggota NU yang terdiri dari pegawai rendah, buruh, petani, atau nelayan. Hanya karena kecintaan terhadap NU atau kepatuhan kepada para kiai, toh mereka berdatangan juga ke Jakarta. Kastam, nelayan dari Kecamatan Wedung, Demak, Jawa Tengah, misalnya, harus menjual seekor kambing, untuk ongkos ke Jakarta, bersama istrinya. "Kambing saya ada lima ekor, tak apalah kalau saya jual satu untuk NU. Sekarang saya tak mendapat apa-apa, tapi di akhirat nanti kan mendapat pahala," katanya kepada TEMPO. Soal lain yang tampaknya juga menonjol dalam pelaksanaan kerja besar ini, terjadinya perbedaan pendapat di kalangan elite NU dalam melaksanakan rapat akbar ini. K.H. Yusuf Hasyim, Rais Syuriah PB NU, serta banyak tokoh NU lainnya, seperti K.H. Anwar Musaddad, K.H. Ali Yafie, K.H. Usman Abidin, tak kelihatan hadir di panggung upacara. Yusuf Hasyim terus terang mengaku sengaja tak hadir ke Senayan. "Mubazir saja saya ke sana," katanya. Kemudian empat hari sebelum pelaksanaan rapat akbar itu, Pengurus Wilayah NU Jakarta mengirimkan surat ke berbagai instansi pemerintah dan cabang NU di Jakarta, yang intinya menyatakan mereka tak tahumenahu dan tak bertanggung jawab dengan rapat akbar itu. "Langkah mengadakan show of force dengan rapat akbar seperti itu, menurut kami, nggak perlu," kata Ketua NU Jakarta, Asmawi Manaf. Asmawi bahkan menuduh PBNU bertindak otoriter karena melaksanakan kegiatan di daerah mereka, sementara mereka sebagai pengurus NU setempat tak dimintai pendapat. Entah karena memahami apa yang sedang terjadi, Menteri Dalam Negeri Rudini ketika memberikan kata sambutan dalam acara ini mengingatkan warga NU tentang perlunya konsolidasi organisasi dan kebersamaan, yang ia sebut sebagai kunci utama agar NU mampu berbuat positif. "Kalau ada warga NU yang berbuat semaunya sendiri, otoriter, dan merusak nama NU, hendaknya organisasi berani meluruskannya," katanya. Agaknya, yang bisa menghibur hadirin ialah munculnya K.H. Idham Chalid, sesepuh NU yang selama sering disebut-sebut sebagai kubu yang berseberangan dengan Abdurrahman Wahid. Para undangan juga memenuhi pentas -- mulai Menteri Rudini, Azwar Anas, Ketua Golkar Wahono, Ketua PPP Ismail Hasan Metareum, sampai para dubes asing di Jakarta -- menandakan perhelatan ini memang amat menarik perhatian. Itulah kelebihan Gus Dur selama ini. Ide-idenya selalu menarik perhatian orang dan menjadi berita besar di koran-koran. Terlepas dari jumlah massa, acara ini memang bisa memberi warna baru dalam suasana politik di sini, setelah hampir sepanjang sejarah Orde Baru pemerintah memperkenalkan kebijaksanaan massa mengambang. Kebijaksanaan itu menyebabkan pengenalan orang terhadap ormas hanya pada pengurusnya. Sekarang NU membawa serta anggotanya. Apalagi acara itu ternyata tak membuat kebulatan tekad untuk mendukung tokoh A atau tokoh B untuk menjadi calon presiden dalam SU MPR 1993. Artinya isu yang sempat berkembang sebelumnya -- bahwa NU akan bikin kebulatan tekad -- telah terbantah. Di siang hari yang terik itu, Kiai Haji Buchori Masruri, Ketua DPW NU Jawa Tengah, memang tampil ke podium untuk membacakan ikrar, sebagai puncak acara. Tapi ikrar lima pasal itu tak lain dari peneguhan NU terhadap keputusan munas ulama NU di Situbondo, tahun 1984, yang menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 sebagai sesuatu yang sudah final. "Kami teguhkan kesetiaan dan tekad untuk menghayati, mengamalkan, dan mengamankannya . . .," teriak Haji Buchori dengan suaranya yang berat. Kemudian ikrar itu memuat semacam pernyataan kesiapan NU untuk memasuki pembangunan nasional tahap kedua, dan perasaan syukur atas pembangunan yang dilakukan selama ini. Ikrar itu juga menyatakan kesiapan NU untuk mengikuti Pemilu 1992. "Kami akan menyukseskan kerja besar tersebut dan mengamankan Sidang Umum MPR 1993," kata ikrar itu. Kerepotan ini memang menelan biaya yang tak sedikit. Sewa Lapangan Parkir Timur itu saja Rp 3 juta. Belum lagi pentas dan sound system -- untungnya gratis dari Setiawan Djody -- serta berbagai tetek-bengek lainnya. Untuk membeli 500 ribu baju kaus yang dibagi-bagikan kepada anggota, menurut Gus Dur, dibutuhkan dana Rp 750 juta. Lalu ada dana Rp 750 juta untuk membeli 30 ribu baju seragam Banser yang bertugas menjaga keamanan rapat akbar ini. Tak aneh kalau semula Gus Dur menargetkan kerepotan ini akan menelan biaya Rp 5 milyar. Jumlah itu memang untuk mempersiapkan acara dengan dua juta massa itu. Ketika kemudian rencana "dua juta" itu diurungkan, tentu saja jumlah tadi sudah jauh pula berkurang. Repotnya, menurut Gus Dur, berbagai keperluan tadi ada yang sudah telanjur dipesan. Untuk mendapatkan dana PBNU memang mengirim surat permohonan bantuan ke beberapa pejabat dan pengusaha. Tapi, kata Gus Dur, banyak permohonannya yang belum dijawab. Yang sudah jelas, Pangdam Jaya Mayjen. K. Harseno menyumbang Rp 5 juta, kemudian ada juga beberapa pengusaha lainnya yang telah memberikan bantuannya. Sebab itu, Ketua Panitia Abu Hasan terpaksa merogoh koceknya Rp 3 milyar untuk menalangi berbagai kebutuhan panitia. Karena soal dana yang besar itu pula, sejak semula beberapa pengurus NU menolak diadakannya rapat akbar ini. Begitu pula dengan sejumlah menteri, seperti Rudini dan Sudomo. Tapi Gus Dur tetap jalan terus. "La wong, lurahe wis oleh kok (lurahnya sudah membolehkan), kok dibatalkan," kata Gus Dur kepada TEMPO. Yang ia maksud, rencananya itu telah disetujui oleh Presiden Soeharto. Oktober tahun lalu, Gus Dur memang bertemu dengan Presiden. Rais Syuriah Yusuf Hasyim dan Ketua Tanfidziyah Chalid Mawardi, misalnya, sempat mempersoalkan perlu tidaknya rapat akbar dengan berjuta umat. Namun, yang terutama membuat Yusuf Hasyim agak tersinggung, kata Rais Syuriah Hasyim Latif, Gus Dur baru memberi tahu rencana rapat akbar kepada pengurus PBNU Februari lalu. Pemberitahuan itu dilakukan setelah Gus Dur terlebih dahulu menghadap Presiden Soeharto. Yang jelas -- dan inilah kelebihan Gus Dur -- akhirnya rekomendasi dari Menteri Rudini, yang semula tersendat-sendat, toh keluar juga. Padahal selama ini urusan izin untuk berbagai kegiatan bukan sesuatu yang mudah, bila ada pejabat yang kurang srek. Apalagi pertimbangan Menteri Rudini, misalnya, dalam soal ini: tentang kemacetan lalu lintas dan sulitnya pengamanan untuk dua juta massa itu cukup masuk akal. Memang ada yang menduga bahwa selain berbagai tujuan yang menarik tadi, pengumpulan massa besar-besaran ini juga dimaksudkan Gus Dur sebagai show of force terhadap orang dalam dan luar NU, bahwa ia sebenarnya tetap orang nomor satu di NU yang didukung oleh para kiai dan massa NU. Ini diperlukan Gus Dur setelah ia diserang Kiai Ali Yafie -- wakil rais am NU yang kini sudah mengundurkan diri -- dalam soal penerimaan dana SDSB Rp 50 juta. Rapat PBNU sempat menyalahkan Gus Dur, sekalipun kesalahannya ringan karena tak mengetahui bahwa uang itu berasal dari SDSB. Dalam wawancara dengan TEMPO pekan lalu, Gus Dur berkata, "La, sekarang bagaimana massa NU. Saya tawari, ikut saya mau apa nggak. Ayo berapat akbar, mari berikrar. Kalau banyak yang datang, jangan menyalahkan saya. Itu menunjukkan tuduhan selama ini bahwa saya nggak laku di NU, nggak dipahami ulama, itu omong kosong. Buktinya ulamanya datang, rakyatnya juga datang." Kalau itu yang ingin dibuktikan Gus Dur dengan rapat akbar hari Minggu yang lalu, agaknya jumlah massa itu masih belum memenuhi harapan, terlepas dari adanya soal surat izin yang tersendat-sendat dan berbagai soal lainnya tadi. Tampaknya ia masih perlu membuat acara serupa dengan lebih rapi. Gus Dur sendiri hari itu meninggalkan arena sebelum acara berakhir. "Soalnya ia capek, semalaman tak tidur, dia sibuk sekali. Gus Dur sendiri senang dengan acara itu karena berlangsung tertib dan aman. Tak benar ia kecewa," kata Sekjen PBNU Ichwan Sam. Catatan dari petugas keamanan menunjukkan suasana memang aman. Hanya ada tujuh kasus kehilangan dompet. Sedangkan petugas kesehatan mengobati 136 pasien -- diantaranya 16 orang jatuh pingsan -- umumnya mereka sakit karena terlalu lama berjemur di terik matahari. Agus Basri, Wahyu Muryadi, Bambang Soejatmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus