Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Merayakan Mitos di Gdansk

Gdansk, Polandia, bukan hanya kota Lech Walesa. Tiap Juli, saat musim panas, di kota tepi Laut Baltik itu diselenggarakan festival teater jalanan internasional yang besar. Kelompok teater dari berbagai belahan dunia menyajikan pertunjukan yang penuh kejutan di udara terbuka. Termasuk kali ini satu teater dari Serang, Banten. Wartawan Tempo Seno Joko Suyono melaporkannya.

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asap merah tebal berembus dari cabang kecil Sungai Motlawa yang melintasi Jalan Zabi Kruk, Gdansk, Polandia. Penonton hening. Duduk di gundukan rumput pinggir kali, mereka menatap asap yang menjadikan sore berwarna lain.

Seseorang mendadak menunjuk-nunjuk ke wuwungan deretan rumah yang berada di tepi sungai. Ada badut terlihat meniti genting, meloncat dari atap satu rumah ke rumah lain. Bersamaan dengan itu, puluhan perempuan berpupur tebal mengenakan baju tidur putih ala abad pertengahan menyeruak, menghambur ke penonton. Suasana riuh.

Mereka membawa dandang, parut an, dan panci. Di pinggir sungai itu, mereka melantunkan nyanyian aneh sebelum tiba-tiba seolah tersirep. Seorang pe rempuan berparas penyihir muncul. Ia mengacung-acungkan tongkat. Puluh an perempuan itu lalu bangkit mengikuti langkah sang penenung. Ribuan penonton mengekor.

Sebuah ziarah dimulai sebuah perjalanan pencucian diri yang penuh godaan roh-roh jahat. ”Penyihir” itu menggiring penonton dari Jalan Zabi Kruk belok ke Jalan Dolna Brama, lalu ke Jalan Bastion Zubr, terus ke Jalan Reduta Wilk. Melewati rumah-rumah tua berdinding bata, jalanan berbatu, bukit-bukit, danau. Dan di sepanjang arak-arakan itu, ribuan orang ”umat” bertemu dengan stilt walker atau jangkungan dengan kostum malaikat-malaikat, sekte-sekte ganjil, juga barisan rahib, iring-iringan paduan suara, dan tentara-tentara yang menggunakan lori-lori kecil. Di bukit Reduta Wilk, ”penyihir” itu naik sampai puncak, kemudian ia menggelindingkan sebuah globe dunia dari anyaman kayu.

Inilah Gdansk, musim panas. Pada 15-18 Juli lalu, puluhan teater berbasis jalanan dari Belanda, Jerman, Spanyol, Norwegia, Denmark, Israel, dan Rusia meramaikan Festiwal Teatrow (Feta) atau International Street and Open-Air Theaters Gdansk ke-14. Harlequin, pemain sirkus, pemain pantomim, pemain akrobat, teater-teater egrang, seniman boneka, dan big band datang ke kawasan Stare Przedmiescie, termasuk satu kelompok teater dari Serang, Banten, yang mengeksplorasi gerabah-gerabah. Kelompok-kelompok performance art dari Eropa itu rata-rata membawa mobil karavan atau wagon yang bertulisan nama teater mereka dan kemudian mengeset panggung di berbagai lokasi.

Tiap musim panas, Gdansk, kota kecil di tepi Laut Baltik, Polandia Utara, tidak hanya dikenal sebagai kota Lech Walesa yang dengan gerakan Solidarnosc pernah menumbangkan rezim komunis Soviet tapi juga sebagai kota teater. Teater menjadi pesta kota.

Prosesi di atas, misalnya, adalah penampilan Grotest Maru, grup teater dari Jerman yang dikenal memiliki konsep bermain di tempat-tempat spesifik. Kali ini mereka mengajak warga Gdansk mengenang sebuah prosesi di abad pertengahan, yaitu ziarah umat Katolik Eropa menuju Kota Santiago de Compostela di Spanyol.

Santiago sampai kini dianggap sebagai kota keramat. Di Santiago terdapat makam Santo Yakobus. Dulu umat Katolik Eropa dengan berbagai rute berbulan-bulan menempuh perjalanan ke Santiago. Salah satu rute adalah Gdansk-Santiago. Pertunjukan Grotest Maru bermaksud mengenang bagaimana perjalanan rohani itu penuh cobaan. ”Seratus seniman Gdansk terlibat dalam proyek ini,” kata Elwira Twardowska, Direktur Feta.

l l l

Umur Feta Gdansk sudah mendekati 15 tahun. Tiap tahun festival ini menyuguhkan tema yang berlainan. Tema Feta kali ini adalah Antara Mitos, Legenda, dan Kisah Nyata. Itulah sebabnya banyak teater yang mengangkat metafora mitologi Yunani. Kita, misalnya, melihat kelompok Makata dari Polandia mementaskan kisah Siren, makhluk cantik lautan yang memiliki suara yang mampu membuai para pelayar hingga kapal-kapal menabrak karang.

”Untuk pertunjukan Grotest Maru, kami melakukan riset mendata mitologi-mitologi yang ada di kawasan Stare Przedmiescie,” kata Aleksandra Twardowska, Direktur Artistik Feta. Menurut Aleksandra, banyak nama jalan di Stare Przedmiescie yang berhubungan dengan kisah masa lalu.

Jalan Zabi Kruk, titik tolak ziarah grup Grotest Maru, misalnya, dalam ba hasa Polandia berarti jalan katak dan gagak. Kawasan ini pada abad ke-18 merupakan tempat kedai-kedai kopi pertama di Gdansk. ”Di zaman itu, ka wasan ini juga merupakan area prosti tusi. Para lelaki hidung belang yang datang, karena takut diketahui sanak saudara, menggunakan kerudung hitam. Itulah sebabnya masyarakat me nye but mereka gagak,” kata Aleksandra.

Karena itu, prosesi Grotest Maru menampilkan rombongan lelaki berkerudung hitam. Juga boneka-boneka berwajah kucing. ”Sebab, kawasan Kocourki berarti kucing. Konon, tempat ini dulu penuh tikus yang menyebabkan sampar. Sampai datang seorang lelaki yang menjual kucing,” ujar Aleksandra. Ada lagi jalan bernama Bastionie Zubr dan Reduta Wilk. ”Zubr berarti sapi liar. Ini jenis sapi yang tidak ada di Indonesia. Reduta wilk berarti benteng serigala.”

Sesungguhnya, menurut Aleksandra, baru tahun lalu Feta diadakan di daerah Stare Przedmiescie. Pertama kali dilaksanakan pada 1997 untuk memperingati ulang tahun ke-100 Gdansk, Feta mengambil lokasi kawasan Zaspa. ”Zaspa daerah flat-flat modern,” Aleksandra menerangkan. Kemudian hajat an Feta tahun-tahun berikutnya pindah ke Old Town. ”Makin lama kawasan Kota Lama makin padat turisme, tidak ada lagi ruang untuk teater jalanan,” kata Aleksandra.

Kota Lama memang pusat pariwisata Gdansk. Kawasan ini pada 1945 dihancurkan oleh Hitler dan kemudian, sesudah perang, dibangun kembali oleh warga Gdansk. Bila menyusuri area ini, kita seperti melihat masa lalu terbungkus necis: gereja batu bata St. Mary, bangunan-bangunan gothic (City Hall, Artus Court, The Golden Tenement), mu seum-museum, Neptune Fountain (air mancur yang menjadi ikon Kota Gdansk), pasar barang antik, gerbang-gerbang plengkung, restoran, taverna-taverna, toko-toko es krim, dan lorong-lorong penuh kios yang menjual perhias an dari batu amber yang sejak awal Masehi menjadi komoditas Gdansk.

Di daerah ini, kita bisa menjumpai tugu penghormatan Fahrenheit, penemu termometer yang asli Gdansk, atau rumah kelahiran filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer. Kita dapat menyusuri kanal Sungai Motlawa dan kemudian, dengan membayar 40 zloty (sekitar Rp 150 ribu), dapat naik kapal antik menuju Westerplatte, tempat dulu pasukan Polandia menyerah kepada Nazi.

Bayangkan bila di tempat padat ini pertunjukan Teater Close Act dari Belanda digelar. Teater ini menciptakan boneka besar berbentuk hewan seperti dinosaurus yang bisa keluyuran keliling kota. Boneka ini dikendalikan seorang dalang dari dalam tubuh boneka. Lehernya yang panjang, plastis, bisa dijulurkan ke bawah mematuk para fotografer yang memotret. Ekornya bisa dikibas-kibaskan. Bayangkan bila ia berjalan-jalan di Kota Tua, bisa menyabet kios-kios, tenda-tenda, atau meja-meja makan.

Suasana Stare Przedmiescie separuh seperti pedesaan. Pertunjukan Teater Mystorin, grup dari Israel, Tzar Tzura, yang menyajikan perkawinan manusia dan binatang, misalnya, berlangsung di ceruk lembah. Penonton duduk di be ting-beting. Kelompok Salto Mortale menari kabaret di atas beberapa grand piano buatan yang bisa didorong ke mana-mana di sebuah lapangan basket. Sedangkan kelompok Tukkers Connexion dari Belanda memparodikan pasuk an Napoleon di dekat danau. Tiga aktornya berseragam Napoleon membawa meriam kecil, yang letusannya cukup keras.

Kelompok Teater Vahramajevych dari Siberia, Rusia, memilih pentas di rerimbunan pohon di dekat Universitas Gdansk. Mereka menampilkan folklore dari hutan Altai. ”Ini legenda Genghis Khan di hutan Altai di dekat Siberia,” kata Kirill Pozdivyakov, salah satu aktor. Hutan Altai, menurut Kirill, sampai saat ini merupakan hutan angker. Di sana ada sekelompok masyarakat yang masih memiliki tradisi pemujaan Genghis Khan. ”Mereka berbahasa Rusia yang tidak dimengerti orang Rusia sekarang.”

Cirka Teater dari Norwegia mengambil lokasi di tikungan rumah-rumah kosong kuno di Jalan Bastionem Sw Gertrudy. Mula-mula kita melihat mars big band. Mereka berparade mengitari Bastionem Sw Gertrudy. Tiba-tiba dari arah berlawanan datang bus gandeng hendak menabrak mereka. Anggota big band kocar-kacir membawa trompet-trompet mereka. Saat gandengan bus dibuka, ternyata di dalamnya ada seperti musical box raksasa. Pertunjukan berjudul Musika Mobile ini kemudian memperlihatkan interaksi musikal antara big band dan pemain alat-alat aneh dari perut bus itu.

Yang menggetarkan adalah karnaval-karnaval boneka yang kolosal. Pada pertunjukan Teater Artristras, Spanyol, Pandora, wayang kayu singa, le bah, dan serigala dengan ukuran gigantik, mulanya sesosok perempuan bernama Pandora menari tap di panggung. ”Gayanya teater jalanan daerah Catalonia,” kata Aleksandra. Kemudian pu luhan kupu-kupu raksasa yang dimainkan dengan galah-galah menyambutnya. Kita segera bisa melihat unsur mekanikal pembuatan boneka ini demikian kuat. Tungkai, lengan, dan leher binatang-binatang itu bisa dige rak-ge rakkan ke sana-kemari. Kita yang mengaku dari negeri wayang jarang menciptakan yang seperti itu. Terakhir muncul boneka kerongkongan serigala menari-menari dalam irama tango.

l l l

Tapi, apa pun, penonton adalah unsur paling menakjubkan. Ribuan penonton bertahan sampai dinihari. Inilah sebuah festival yang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang teater, tapi juga oleh masyarakat biasa. Bersama-sama kelompok teater, mereka memperluas pemaknaan apa itu yang disebut teater.

Polandia adalah sumber inspirasi bagi kalangan teater dunia. Dari Polandia, lahir dua tokoh besar yang menstimulasi perkembangan teater kontemporer Eropa, yaitu Jerzy Grotowski dari Wroclaw, Polandia Selatan, dan Tadeusz Kantor dari Krakow. ”Grotest Maru sangat dipengaruhi ide-ide Grotowski dan Kantor,” kata Izabela Terekjopkiewicz, anggota Teater Cinema, Gdansk. Seperti Iza, mereka yang berasal dari kalangan teater bisa melihat pementasan-pementasan di Feta memiliki jejak avant-garde, tapi sebaliknya penonton anak-anak pun bisa menikmati dari kacamata dunia bocah.

Masih segar dalam ingatan bagaimana anak-anak kecil menjerit- jerit, dipanggul bapaknya di bahu, melawan dinosaurus dengan ranting-ranting. Masih hangat dalam kenangan bagaimana di sebuah loteng flat tua, seorang nenek yang menyiram bunga di pot jendela terkejut saat dinosaurus-dinosaurusan karya Teater Close Act, Belanda, tiba-tiba mematuk potnya dan ia menghalau kepala dinosaurus itu dengan serbet.

Dari pameran foto Feta di Muzeum Narodowe atau Museum Nasional Gdansk, kita melihat tahun-tahun sebelumnya festival juga berlangsung sangat imajis. Ada layang-layang raksasa berbentuk aneka fauna dan insek di langit. Ada teater api. Di Feta ini seolah setan-setan, genderuwo, dan jelangkung dari penjuru dunia bersilaturahmi.

Menurut Aleksandra, pihaknya akan mempertahankan kejutan-kejutan demikian. Mereka bekerja sama dengan jaringan Circostrada jaringan sirkus kontemporer yang anggotanya kelompok teater jalanan Belgia, Belanda, Inggris, Prancis, dan Italia. ”Kita rutin bertemu dan saya melihat showcase-showcase pertunjukan unik apa yang bisa ditampilkan di sini,” katanya.

Memang inilah festival yang memacu imajinasi kita. Saat melihat penyihir dan jangkungan-jangkungan mendaki bukit Reduta Wilk, saya memba yangkan seandainya yang di puncak itu adalah Hanuman, Gatotkaca, dan Cakil yang dilakonkan teman-teman Wa yang Wong Bharata atau reog Ponorogo. ”Saya ingin yang mendaki itu adalah bebegig hantu sawah Jawa Barat,” kata Nandang Aradea, sutradara Banten yang terlibat dalam festival ini. Fantasi kita bisa bertambah: makhluk yang datang ke bukit itu adalah si gale-gale, ninik thowok, rangda, dan wayang golek yang diperbesar seukuran manusia. ”Imajinasi-imajinasi demikian yang membedakan festival kami dengan festival Shakespeare,” kata Aleksandra.

Selain punya Feta, Gdansk memiliki Gdansk International Shakespeare Festival. Umurnya sama dengan Feta, hampir 15 tahun. Di sini dipentaskan tafsir-tafsir mutakhir karya Shakespeare. Tahun ini acara berlangsung sejak 31 juli sampai 8 Agustus. ”Penonton Festival Shakespeare adalah kalangan teater serius. Mereka membayar tiket, sementara festival kami gratis dan bisa dinikmati keluarga,” kata Aleksandra.

Memang, sementara peri-peri, kurcaci-kurcaci, dan arwah-arwah gentayangan di Festival Shakespeare hanya muncul dalam panggung A Midsummer Night’s Dream, Macbeth, As You Like It, atau The Comedy of Error, di Feta kita bisa melihat mereka akan mendulit kita.

Seno Joko Suyono (Gdansk)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus