Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Bagaimana kue harus dibagi

Demokrasi ekonomi memberi prioritas utama menghapus kemiskinan absolut. ada 30 juta warga indonesia yang tergolong miskin. cara mengatasi mereka bukan dengan mekanisme pasar tapi diberi prioritas.

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBYO PRABOWO* * Staf pengajar FE UGM DEMOKRASI Ekonomi akhir-akhir ini ramai dibicarakan. Hal ini mengingatkan kita pada awal 1980-an, ketika media cetak dan pertemuan ilmiah di tanah air disibukkan dengan polemik tentang apa yang disebut Ekonomi Pancasila. "Percikan api kecil" yang bermula dari Yogyakarta itu makin membara, meskipun akhirnya padam setelah dua tahun. Ekonomi Pancasila pada hakikatnya adalah Demokrasi Ekonomi. Istilah Ekonomi Pancasila itu sendiri sudah menjadi polemik, ada yang pro dan ada yang kontra. Bahkan menyebut kata Ekonomi Pancasila saja ada yang "malu". Belum lagi menyinggung substansinya. Sebaliknya sekarang orang tidak canggung menyebut Demokrasi Ekonomi. Meski masih ada perbedaan pengertian tentang Demokrasi Ekonomi, saya kira masyarakat sudah dapat menerima bahwa Demokrasi Ekonomi menyangkut pengertian "ekonomi usaha bersama berdasar asas kekeluargaan dan bersifat kerakyatan". Seperti ditegaskan dalam UUD 1945, masyarakat pun tidak menolak pengertian bahwa "Demokrasi Ekonomi identik dengan cita-cita keadilan dalam kehidupan ekonomi bangsa Indonesia". Secara lebih gamblang dikatakan bahwa memang yang penting bukan hanya "bagaimana membuat kue sebesar-besarnya, tetapi pada saat yang sama harus pula dipikirkan bagaimana caranya membagi kue itu". Maka, betapa teduhnya hati ini mendengar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia menyatakan "Demokrasi Ekonomi memberikan prioritas utama pada upaya penghapusan kemiskinan absolut". Suatu pernyataan yang bukan saja heroik tetapi sekaligus telah menyentuh permasalahan mendasar yang dihadapi pembangunan. Di beberapa daerah pedesaan di Jawa masih banyak dijumpai warga desa yang hidup serba kekurangan, yang hidup sekeluarganya tergantung kemurahan alam dan kemurahan tetangga. Di daerah pedesaan di Jawa masih banyak kita jumpai rumah tangga yang berpenghasilan rendah, yang hanya dapat untuk hidup di bawah tingkat subsistens. Diperkirakan masih jutaan warga seperti itu. Mereka sekadar hidup. Keadaan tersebut mengingatkan kita pada keadaan pada dekade 1960, sebelum Orde Baru. Hidup mereka sejak dulu sampai sekarang ya begitu-begitu saja, tidak ada kemajuan. Berbagai program yang langsung diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka seperti fasilitas kredit, koperasi, bahkan PKK, jarang menjenguk mereka. Program seperti itu biasanya hanya akrab dengan mereka yang punya aset, padahal mereka tidak memiliki apa-apa kecuali tenaga yang kurang terampil dan kurang gizi. Kemiskinan absolut seperti digambarkan di atas memang bukan monopoli Indonesia. Tulisan N.D. Kamble tentang Poverty within Poverty mengenai hasil penelitiannya di pedesaan di India menyimpulkan, "One of the most striking experiences of the planning efforts in India has been that the economically backward regions and economically backward people have gained little .... the socio-economic institutional structure being intact, benefits of planning did not percolate to the bottom. As a result the poorest among the poor remained static.... therefore, from the social and economic justice point of view the poorest need to be given priority". Untuk menangani persoalan yang dihadapi masyarakat miskin seperti itu nampaknya sulit menggunakan mekanisme pasar. Karena mereka tidak punya apa-apa, mereka tidak punya bargaining power. Mereka lebih sebagai obyek daripada subyek. Dan seperti kata Kamble, "Yang miskin harus diberi perhatian khusus, diberi prioritas." Inilah sisi penting dari Demokrasi Ekonomi. Dan ini berarti menyangkut 30 juta warga Indonesia yang tergolong miskin. Mereka harus memperoleh perhatian khusus, yang tidak dapat disamaratakan dengan golongan yang lain. Maka, pekerjaan rumah kita selanjutnya adalah mencari upaya khusus untuk mengangkat harkat warga masyarakat yang miskin tadi, yang tidak harus melalui mekanisme pasar. Karena kalau tidak, dikhawatirkan mereka akan tetap menduduki lapisan yang terbawah. Ini berarti kita harus menyempurnakan program-program yang telah ada. Dan campur tangan pemerintah harus tetap ada, campur tangan yang positif, seperti imbauan (yang berbau komando), alokasi kredit bank sebesar 20% kepada usaha kecil, dan penyerahan saham (dalam arti kerja sama, bukan hadiah) perusahaan besar kepada koperasi. Semoga upaya khusus tadi dapat segera tercipta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus