Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung Mawardi*
Sejarah diri dan Indonesia turut terbentuk dari kalimat-kalimat di koran, majalah, dan kartu pos. Momentum Idul Fitri adalah perayaan bahasa. Jejak historis di Hindia Belanda mengabarkan gairah bahasa bagi publik, memberi kalimat-kalimat mengandung makna selamat dan permohonan maaf. Idul Fitri menjadi mozaik bahasa, mengajak kita melakukan produksi makna.
Ucapan Idul Fitri tampil dalam penerbitan edisi akhir koran Asia-Raya, 7 September 1945. Kalimat "minal aidin wal faidzin" tertera jelas di halaman muka, tersaji dengan ukuran besar. Pihak redaksi juga mengumumkan pelaksanaan salat Idul Fitri di Lapangan Ikada, 8 September 1945.
Kalimat selebrasi Idul Fitri juga ada di Soeara Aisjijah Nomor 10, Oktober 1941—Sjawal 1360, Th. XVI. Kita bisa menyimak halaman pengantar berjudul "Memperboeah Poeasa". Petikan ini bisa menjadi nostalgia puasa dan Idul Fitri pada 1940-an: "Sesoedah selesai poeasa Ramdlan jang kita soedahi dengan lebaÂran—moedah-moedahan poeasa kita makboel dan mendapat karoenia dari Toehan Allah—maka hendaklah kita perboeahkan dengan memperbanjak 'amal shalih dan mendjaoehi larangan-larangan Toehan Allah."
Kebermaknaan majalah terasa mengena saat kalimat-kalimat menjadi representasi relasi antara pembaca dan redaksi. Redaksi Soeara Aisjijah menyediakan 18 halaman, memuat kalimat-kalimat dari puluhan orang dan perusahaan (toko) asal Solo, Blitar, Purworejo, Sukabumi, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Gresik, Bogor, Madiun, Jombang, Demak, Lampung, Karanganyar, Tegal, dan Singapura. Mereka menuliskan pesan Idul Fitri dalam bahasa Indonesia, Jawa, dan Arab. Daerah asal pengirim kalimat selamat Idul Fitri ini mengindikasikan bahwa edaran majalah Soeara Aisjijah cukup merata di Jawa. Majalah dikelola di Yogyakarta, bisa menjelma menjadi medium dakwah Islam di pelbagai kota.
Kita sajikan petikan salam Idul Fitri dari Nji Nitihardja, beralamat di Genteng Dalem I, Surabaya: "Selamat hari raja Idulfitri. Oemoer pandjang, banjak redjeki, tambah amal. BaÂnjak soedari harap dimaafkan kesalahan kami." Kalimat itu mengandung permintaan maaf dan doa. Sekian pembaca dapat membatinkan pemberian kata maaf, mengandaikan antara si pengirim dan pembaca. Model ini mengesankan pesan efektif, meski tanpa ada pertemuan fisik, berkemungkinan berbagi rasa melalui bahasa tertulis.
Kesan kultural Jawa tampak dalam kalimat-kalimat kiriman Nj Hardjodipoera asal Blitar: "Ngatoeraken 'alal Bahalal 'iedil Fitri dateng para sederek ingkang sampoen tepang lan dereng tepang, moegi paring pangaksama." Kalimat-kalimat ini justru membuka komunikasi secara terbuka, saling memaafkan, meski si penulis belum mengenali pembaca. Penggunaan bahasa Jawa mengandaikan tingkat keberterimaan bagi publik pembaca berlatar kultural Jawa. Nuansa perasaan tampak merebak, bermula dari kalimat-kalimat.
Zaman bergerak, tapi makna kalimat-kalimat tentang Idul Fitri masih tersaji di media cetak. Konon, pilihan ini efektif dan efisien. Koran atau majalah bisa menjangkau pelbagai kota dan kalangan pembaca. Majalah Basis edisi XV-4, Januari 1966, mencantumkan sekian kalimat tentang ucapan Idul Fitri. Majalah produksi kalangan Katolik yang beralamat redaksi di Yogyakarta itu membuktikan memiliki spirit penghormatan bagi umat Islam saat Idul Fitri.
Kita simak kalimat-kalimat dari pengasuh majalah Basis: "Kami utjapkan kepada sekalian pembatja Basis, terutama mereka jang telah mempersiapkan hari raja ini dengan keprihatinan dan keichlasan puasa." Untaian kalimat ini membuktikan bahwa majalah Basis juga memiliki kalangan pembaca dari umat Islam. Bentuk komunikasi ini menandai ada kerukunan-toleransi agama, seusai malapetaka politik dan kemanusiaan 1965. Idul Fitri menjadi momentum kolektif berkaitan dengan iman, maaf, politik, dan toleransi.
Jejak historis dan torehan kalimat-kalimat tentang Idul Fitri di pelbagai majalah dan koran menjadi nostalgia makna bahasa dan peristiwa, dari zaman ke zaman. Selebrasi Idul Fitri memang memerlukan kalimat, disajikan sebagai medium komunikasi dengan pelbagai konsekuensi, dari religiositas sampai etika sosial. l
*) Esais
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo