MEREKA yang belakangan ramai-ramai menolak calon presiden bekas militer punya alasan sendiri. Kehadiran calon eks militer dianggap berpotensi mengembalikan masa Orde Baru yang militeristis dan otoriter serta menghambat laju reformasi, terutama bidang hukum, karena peran mereka di masa lalu. Kelompok ini berpendapat, jika eks militer yang menang, yang akan terjadi dalam masa pemerintahan baru nanti lebih-kurang sama saja dengan masa Soeharto. Nepotisme merajalela, kongkalikong konglomerat dengan pengusaha subur, dan peran militer dalam kehidupan politik dikuatkan.
Di sisi lain, kelompok yang pro-calon presiden militer berpendapat bahwa figur bekas militer merupakan jaminan mutu pemimpin dengan leadership yang tangguh untuk mengemudikan pemerintahan. Kelompok pro berpendapat hanya presiden eks militer yang mampu mengendalikan sepak terjang kalangan militer. Lagi pula, bukankah tidak ada sepotong aturan pun di negeri ini yang membatasi peluang eks militer untuk maju ke pencalonan presiden?
Dua pendapat ini sulit dipertemukan, apalagi dikemukakan dengan motif dan tujuan politik yang berbeda-beda. Bahkan, jika benar isu antimiliter dipakai oleh sebuah partai politik untuk menjatuhkan pesaingnya, itulah potensi konflik yang sungguh berbahaya menjelang pemilu 5 Juli.
Intinya, soal yang ramai dikhawatirkan adalah kembalinya militerisme, pemerintah yang mengatur negara secara militer dengan keras dan disiplin. Disiplin memang perlu, tapi mengatur negara secara militeristis pasti ditolak?baik oleh kelompok pro maupun anti-presiden militer. Dan gaya militeristis tidak selalu dilakukan oleh militer, tapi juga oleh kelompok sipil?melalui aksi kurang terpuji satuan tugas (satgas) partai politik, contohnya. Penolakan terhadap militerisme tidak hanya gencar dikemukakan kalangan sipil. Bahkan tokoh militer pun banyak yang menolak paham itu.
Kalau pangkal soalnya adalah militerisme, sedangkan hal itu bisa menjangkiti militer atau sipil, bukankah percuma saja menolak calon presiden eks militer semata-mata karena ia bekas tentara? Sebaliknya, tidak tepat meyakini bahwa seorang calon presiden dari kalangan sipil bebas dari kemungkinan bertindak militeristis bila ia kelak berkuasa.
Tapi, dalam debat sipil-militer itu, sangat terasa ada yang kurang klop dan agak karikatural. Barisan anti-calon presiden militer berdemo menolak dengan semangat tinggi, tapi kalangan partai politik malah bersemangat mendekati para eks militer?baik untuk jabatan presiden maupun wakil presiden. Kalau soal masa lalu diamati untuk melihat aliansi yang terjadi, gambarannya lebih membingungkan. Seorang tokoh pejuang kemanusiaan, misalnya, berpasangan dengan tokoh lain yang dulu berhadapan posisi dengannya. Apa boleh buat, sipil atau militer agaknya tidak menjadi pertimbangan partai politik; yang penting bagaimana merebut kekuasaan.
Maka lebih relevan menguji track record para calon pemimpin itu. Dari ujian ini kita berkesempatan melihat kekuatan dan kelemahan lima pasangan calon pemimpin yang akan berlaga. Misalnya kecakapan memimpin, komitmen terhadap demokrasi, prestasi kerja selama ini, atau komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Dengan kriteria yang lebih kaya, akan lebih terungkap mutu calon presiden kita, dan kita akan bebas dari pilihan sempit antara sipil dan militer.
Bagi yang tetap ingin berkampanye tentang pilihannya, tentu mereka juga bebas berpendapat. Sepanjang tidak ada hukum yang dilanggar, hak berpendapat mereka juga tetap harus dijaga. Menuding kelompok kritis itu dengan tuduhan ?ingin menggagalkan pemilu? rasanya sudah kuno dan hanya mengingatkan publik pada masa Orde Baru yang celaka. Jika ada bukti kelompok itu melawan hukum, pengadilan adalah tempat terbaik untuk menyelesaikannya. Justru cara-cara militeristis untuk membungkam mereka?yang belakangan ini kembali terdengar?yang perlu dilawan. Ingat, militerisme adalah bahaya laten yang akan selalu mengancam demokrasi kita, karena itu siapa pun yang ingin menjalankannya wajib dihadang, sejak dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini