PEREMPUAN itu bernama Nirmala. Di Dusun Tuapakas, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, tempat bahasa Indonesia disebut ?Melayu Tinggi?, entah apa yang terlintas dalam pikiran pasangan Daniel Bonat dan Martha Toni ketika mereka memilih ?Nirmala? sebagai nama putri tunggal mereka. Dalam kamus besar kita kata itu berarti ?tidak bernoda?, ?bersih?, ?suci?, ?tanpa cacat-cela?. Sebagai frase, Nirmala juga berarti kalis dari bahaya.
Tapi apalah nama. Kemiskinan dan tiang rumah tangga yang runtuh memaksa gadis yang belum genap 20 tahun itu merantau ke tanah seberang, menyabung nasib demi menyelamatkan periuk keluarga. Di sana, selama sekitar delapan bulan, ia menambah panjang riwayat penderitaan para tenaga kerja kita yang terlunta-lunta nyaris tak punya tempat berpegang. Ketika potretnya menggugah kesadaran kita, sejak sekitar dua pekan lalu, apa sesungguhnya yang kita rasakan?
Nirmala adalah potret kita sendiri. Di tengah hiruk-pikuk pemilihan calon anggota legislatif dan calon presiden-wakil presiden, dengan dana ratusan miliar yang menyembur-nyembur entah dari gunung berapi yang mana, lebih dari 2,5 juta warga bangsa ini tersaruk-saruk di seantero sudut dunia, mengais dolar, dinar, dan rial, hanya untuk berserobok dengan azab sengsara.
Di Malaysia saja, hingga akhir Maret lalu, kedutaan besar Indonesia menampung sekitar 210 pekerja wanita kita yang mengalami berbagai masalah. Empat di antara mereka korban pemerkosaan majikan. Belum lagi di berbagai negeri lain dengan rupa-rupa model penderitaan. Kisah dukacita ini sudah bermula sejak tiga puluh tahun silam, sehingga akhirnya perasaan kita pun majal, menganggap mereka bagian dari nasib yang tak terelakkan.
Kita takjub pada kenyataan, betapa sebuah pemerintahan dari negara yang digambarkan berdaulat tak punya kuasa apa pun melindungi warganya dari kemungkinan dinistakan hanya karena mencari sesuap nasi. Ketika Indonesia dinyatakan termasuk satu dari empat negara yang dinilai berhasil melaksanakan program pemberantasan kemiskinan, kita juga bingung membaca berita terungkapnya ?penjualan? lebih dari 20 tenaga kerja asal Nusa Tenggara Timur untuk menjadi pekerja seks di negeri seberang.
Setelah ?reformasi?, kita tahu negeri ini punya menteri negara yang khusus mengurus ?pengembangan kawasan Indonesia bagian timur?. Yang tidak kita ketahui adalah ?pengembangan? macam apa yang terjadi di sana kecuali kabar buruk tentang Nirmala Bonat dan para rekannya sekampung halaman yang terus berpencaran ke berbagai penjuru menyelamatkan diri dari kemiskinan.
Akan halnya kasus Nirmala, respons pemerintah Malaysia patut ditanggapi positif. Jaksa Agung Abdul Gani mengancamkan hukuman penjara 80 tahun untuk bekas majikan Nirmala. Untuk pertama kalinya pula dalam sejarah hukum di negeri itu tersangka tak dapat dibebaskan dengan uang jaminan. Menteri Dalam Negeri Noh Omar, Deputi Perdana Menteri Najib Razak, bahkan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi secara terbuka mengecam perlakuan kejam terhadap Nirmala.
Dari sikap simpatik ini kita sesungguhnya bisa belajar tentang perlakuan hukum terhadap para penyiksa pembantu rumah tangga di negeri sendiri. Sepanjang yang kita tahu, kasus penyiksaan pembantu rumah tangga di dalam negeri juga lumayan meriah. Tapi buntutnya tak pernah jelas di wilayah hukum. Hendaknya kasus Nirmala mengingatkan kita: mereka?Nirmala dan para rekannya senasib?masih bagian dari martabat dan keberadaan kita. Azab mereka adalah aib kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini