Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gagasan penundaan Pemilu 2024 mencuat lagi.
Gagasan ini selalu muncul tiap kali publik lengah karena muncul kasus-kasus besar lain.
Motif penundaan pemilu makin beragam. Apa kali ini?
DALAM hal mengegolkan rencana penundaan pemilu, para pendukung Presiden Joko Widodo ibarat sedang berperang gerilya. Jika publik tengah lengah, mereka melempar isu itu ke masyarakat. Jika reaksinya negatif, gagasan itu diredam. Di bawah tanah, upaya melanggengkan kekuasaan Jokowi setelah 2024 terus dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lontaran terbaru datang dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Dalam rapat bertajuk "Transformasi Lemhannas RI 4.0" di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), ia menyebutkan perbincangan tentang perpanjangan masa jabatan presiden tidak melanggar hukum. Ia memang mengatakan pemerintah tengah menyiapkan Pemilihan Umum 2024 dari sisi prosedural, kelembagaan, dan peraturan. Tapi Mahfud melontarkan kalimat bersayap: “Kita tidak bisa menghalangi ketua partai atau kelompok masyarakat tertentu berwacana soal perpanjangan”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Mahfud melanjutkan apa yang ramai beberapa tahun lalu. Pada Maret 2021, politikus Partai Gerindra, Arief Poyuono, mengaku didorong lingkaran kekuasaan menyuarakan gagasan Jokowi tiga periode. Metode yang akan dipakai adalah membuka peluang Jokowi maju lagi dalam Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan presiden dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat maksimal tiga tahun. Kedua skenario akan ditempuh lewat amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Sejumlah pengamat melihat kemungkinan lain: situasi darurat berupa konflik sosial dan ketidaksiapan Komisi Pemilihan Umum sebagai alasan penundaan pemilu.
Awal 2022, ide penundaan pemilu disampaikan anggota kabinet dan ketua partai politik pendukung pemerintah. Dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, lalu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, hingga Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto. Ada pula Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan dan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Relawan pendukung Jokowi dan kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia menyuarakan hal sama. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dikabarkan mendapat misi membuat kajian penundaan pemilu.
Gerilya mungkin strategi yang “jitu” untuk mencapai tujuan lancung dan tak mudah. Bersembunyi, menyerang, lalu bersembunyi lagi merupakan cara tepat mencapai tujuan dengan meminimalisasi efek yang tak dikehendaki. Syukur-syukur jika berhasil. Jika gagal, pelakunya bisa buang badan dengan mengatakan rencana itu aspirasi masyarakat yang harus dihormati.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri sudah tegas menolak gagasan itu. Mega menginginkan terjadi peralihan kekuasaan dan ia mungkin menyiapkan anaknya, Puan Maharani, sebagai calon presiden. Para kandidat presiden semestinya juga menolak ide itu. Hanya partai kecil atau partai yang tak memiliki kandidat berelektabilitas cukup yang tergoda oleh gagasan penundaan pemilu. Mungkin ada pula pejabat oportunis, pengusaha pemburu rente, aktivis bosan kere, atau intelektual kelas kambing yang masuk barisan.
Dalam politik dagang sapi yang brutal seperti saat ini, penundaan pemilu memang bukan gagasan muskil. Meski ada pula analisis lain: gagasan penundaan pemilu merupakan upaya Jokowi menekan PDIP agar menerima Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Ganjar adalah kader PDIP yang memiliki elektabilitas tinggi tapi belum mendapat restu Megawati.
Apa pun motifnya, usaha menunda pemilu merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi. Jika berhasil, usaha itu akan menarik mundur sistem ketatanegaraan ke masa pra-reformasi 1998, yang otoriter dan korup. Pernyataan Mahfud Md. yang memaklumi “diskusi tentang penundaan pemilu berkembang di masyarakat” tak pantas diucapkan pejabat negara–pembantu presiden hasil pemilihan lima tahunan.
Selain bisa mengadu domba, percakapan semacam itu cenderung manipulatif, terutama jika dasarnya pro-kontra di masyarakat untuk amendemen konstitusi. Jabatan presiden cukup dua periode agar terjadi sirkulasi kekuasaan. Orde Baru mengajarkan pejabat yang lama memerintah akan menyeleweng dan korup. Hanya penguasa yang memiliki sifat-sifat seperti itu yang mendorong penundaan Pemilu 2024.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo