Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSPEKTUR Satu Umbaran Wibowo jauh dari gambaran sosok “intel Melayu”. Selama 14 tahun Umbaran mengelabui banyak orang dengan menyamar sebagai wartawan. Topeng penyamarannya baru tersingkap setelah dia dilantik menjadi Kepala Kepolisian Sektor Kradenan, Blora, Jawa Tengah, pada 12 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Intel Melayu adalah satire lawas untuk menyindir aparat intelijen yang suka memamerkan jati dirinya. Sementara “intel Barat” begitu ketat menyembunyikan identitas, intel Melayu bahkan mudah dikenali dari penampilan luarnya: berjaket kulit, berambut gondrong, menonjolkan gagang pistol di pinggang, atau menyetel keras-keras handy talky di warung kopi. Bila penampilan itu masih kurang telanjang, intel Melayu tak sungkan mengaku sebagai seorang spion.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah lulus sekolah bintara polisi dengan pangkat brigadir dua pada 2008, Umbaran menjalani kehidupan ganda sebagai polisi dan wartawan. Demi menyempurnakan penyamaran, Umbaran pun mendaftar sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta mengikuti ujian untuk memperoleh sertifikat kompetensi wartawan.
Hebatnya lagi, di tengah penyamaran itu, Umbaran tak melupakan jenjang karier di kepolisian. Ia lulus menjalani Pendidikan Pengembangan Spesialisasi Perwira Pertama Dasar Intelijen, lalu naik pangkat menjadi inspektur dua pada 2018. Sempat enam bulan menjabat Wakil Kepala Polsek Blora, jati diri Umbaran tetap tak diketahui banyak orang.
Orang boleh saja berdecak kagum atas kepiawaian Umbaran dalam menyamar. Tapi pilihan Umbaran menyaru sebagai wartawan punya implikasi serius: bisa merusak kepercayaan publik terhadap profesi juru warta. Padahal, agar bisa memenuhi hak publik atas informasi, setiap wartawan harus bekerja atas dasar kepercayaan dari narasumber dan khalayak secara bersamaan. Bagi wartawan profesional, kebenaran informasi dan kepercayaan publik ibarat dua sisi dari satu mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Dari sudut pandang jurnalisme, penyamaran Umbaran jelas tidak etis. Kode etik jurnalis profesional mewajibkan setiap jurnalis bekerja untuk mencari kebenaran dan mengabarkannya kepada khalayak, bekerja secara independen demi menjaga kepentingan publik, meminimalkan bahaya akibat kekeliruan informasi, serta bertanggung jawab dan bersikap transparan ketika berbuat kesalahan.
Ketika menyamar jadi wartawan, tugas utama Umbaran bisa dipastikan bukan memberi informasi dan mendidik publik, apalagi menjadi watchdog bagi pemegang kekuasaan. Besar kemungkinan tugas Umbaran adalah mengolah pelbagai informasi yang diperoleh dari masyarakat untuk kepentingan kepolisian. Selama ini, siapa pula yang bisa menjamin Umbaran tidak menyalahgunakan informasi untuk kepentingan pribadinya—sesuatu yang diharamkan dalam profesi jurnalistik.
Dampak buruk penyamaran lancung Umbaran Wibowo tak akan pupus begitu saja dengan pemecatan dia sebagai wartawan TVRI dan anggota PWI. Agar tak terus kecolongan oleh intel yang menyamar, media massa dan organisasi profesi harus lebih selektif merekrut calon wartawan dan mengawasi anggotanya. Kebiasaan aparat menghalalkan segala cara dalam memata-matai masyarakat pun harus dihentikan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo