Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kenaikan suku bunga bank sentral akan berlanjut dan mengancam laju pertumbuhan ekonomi.
Di tengah risiko perlambatan ekonomi, Indonesia malah melarang ekspor bauksit.
Negara pembeli dengan mudah mencari pemasok bauksit selain Indonesia.
TAHUN boleh berganti, tapi kenaikan suku bunga tampaknya masih akan berlanjut. Belum ada pertanda bahwa bank-bank sentral utama dunia akan membalik arah kebijakannya. Meski di bulan Desember ini laju kenaikan bunga di seluruh dunia mulai melambat, bukan berarti nilainya akan segera turun. Kecepatan kenaikannya saja yang berkurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Federal Reserve, Bank Sentral Eropa, dan juga Bank of England menaikkan bunga 0,5 persen, di bawah kenaikan sebelumnya yang mencapai 0,75 persen. Bank sentral negara-negara berkembang juga mengikuti tren ini. Demikian pula Bank Indonesia. Setelah menaikkan bunga sebesar 0,5 persen tiga kali berturut-turut, pada 22 Desember lalu BI menaikkan bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate sebesar 0,25 persen menjadi 5,5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, investor sama sekali belum bisa berharap biaya modal segera turun dan likuiditas akan kembali melimpah ruah. Selalu ada isyarat bahwa perang melawan inflasi belum selesai dan bunga masih akan naik. Bahkan, para analis yakin, bank sentral akan kembali menaikkan suku bunga lebih tinggi ketimbang sebelumnya. The Fed, misalnya, diperkirakan menaikkan bunga setidaknya hingga 5,1 persen. Sementara itu, bunga The Fed saat ini masih di rentang 4,25-4,5 persen.
Setelah mencapai puncak tertinggi, bukan berarti suku bunga akan segera turun lagi. Ada kemungkinan bunga The Fed baru akan mulai turun menjelang akhir 2023 atau bahkan pada 2024. Arah kebijakan The Fed, seperti biasa, akan menjadi patokan bagi bank sentral lain di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Konsekuensi berlanjutnya bunga tinggi dan ketatnya likuiditas ini sudah jelas: kelesuan ekonomi bakal meluas di mana-mana selama 2023.
Ekonomi Indonesia, yang sangat tertolong oleh naiknya harga berbagai komoditas ekspor hasil alam selama 2022, akan menghadapi tantangan berat tahun depan. Jika ekonomi global terbelit resesi, ada risiko penerimaan ekspor Indonesia akan menurun karena lesunya permintaan. Gelagatnya sudah muncul pada data perdagangan per akhir November 2022.
Pertumbuhan ekspor Indonesia per November 2022 hanya 5,58 persen, lamban jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 12,3 persen. Angka pertumbuhan ekspor per November itu adalah yang terendah dalam 20 bulan terakhir. Melambatnya pertumbuhan itu terjadi karena nilai ekspor komoditas utama, seperti batu bara dan minyak sawit, mulai menurun.
Anehnya, dengan latar belakang ekonomi global yang begitu muram, pemerintah Indonesia malah berniat menutup keran ekspor bijih bauksit per Juni 2023. Alasannya memang terasa masuk akal, larangan ekspor bijih akan mendorong penghiliran dan mendorong investasi pembangunan peleburan bijih bauksit menjadi alumina.
Namun, jika kita menengok sedikit lebih dalam, tujuan itu tak akan mudah tercapai karena Indonesia bukanlah pemain dominan di pasar bauksit dunia karena hanya menguasai 3,6 persen cadangan global. Perusahaan-perusahaan Cina yang selama ini menjadi pembeli utama bijih bauksit dari Indonesia dengan mudah dapat mencari pemasok alternatif. Larangan itu tidak cukup kuat untuk memaksa pembangunan smelter di sini. Negara eksportir bauksit lain akan mendapat manfaat dari kebijakan ini.
Sedangkan bagi Indonesia, larangan ekspor bauksit malah akan menimbulkan pukulan ganda. Selain menurunkan penerimaan ekspor, perusahaan penambang bauksit di dalam negeri akan menghadapi masalah besar. Dalam dua tahun terakhir, produksi bijih bauksit mencapai 19 juta ton per tahun. Sementara itu, kapasitas tiga smelter yang sudah beroperasi saat ini hanya 8,5 juta ton per tahun. Sebelum ada peleburan baru yang beroperasi, entah kepada siapa penambang bijih bauksit akan menjual produknya.
Nilai ekspor bauksit memang tidak besar, hanya US$ 628 juta pada 2021. Namun, ketika ekonomi global akan memasuki resesi, akan lebih rasional jika pemerintah menghindari kebijakan yang berpotensi mengurangi ekspor dan pertumbuhan ekonomi, seberapa pun kecilnya. Kebijakan semacam itu hanya memukul diri sendiri justru ketika keadaan makin sulit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo