Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
UU PPSK memerintahkan OJK sebagai pengawas sejumlah bisnis baru.
OJK akan mengawasi perdagangan aset kripto, fintech, hingga bank emas.
Transisi pengawasan akan berlangsung dari Bappebti ke OJK.
OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) punya hajatan besar. Selepas pengesahan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), pengawas industri keuangan itu memiliki sederet tugas baru sekaligus menambah jumlah pemimpin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Dewan Komisioner OJK bakal bertambah dari sembilan menjadi sebelas orang mulai tahun depan. Ada dua pejabat baru, yaitu Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; serta Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan lembaga yang dia pimpin akan menjalani masa transisi setelah mengawasi beberapa sektor industri baru, yaitu modal ventura, lembaga keuangan mikro, layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech), dan aset kripto. OJK, dia menjelaskan, akan menjalankan transisi dari sisi sumber daya manusia, pemahaman isu, hingga infrastruktur. “Masing-masing akan menjalani masa transisi demi meningkatkan kapasitas, harus segera dilakukan,” ucapnya di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, Rabu, 21 Desember lalu.
Pasal 6 Ayat 1e Undang-Undang PPSK menyebutkan OJK harus mengatur dan mengawasi aktivitas fintech, aset keuangan digital, dan aset kripto. Adapun pasal 213 menyebutkan aset keuangan digital, termasuk aset kripto, sebagai bentuk inovasi teknologi sektor keuangan atau ITSK. ITSK mencakup sistem pembayaran, penyelesaian transaksi surat berharga, penghimpunan modal, pengelolaan investasi, dan kegiatan lain. Menurut Mahendra, hal ini bukan perkara gampang. Apalagi, dia menambahkan, aset kripto memang tidak dilahirkan oleh pemerintah dan banyak negara tak melegalkan bisnis ini. Namun, jika tak diawasi dan diatur, aset kripto bisa menimbulkan masalah besar.
Sebelum berpindah ke tangan OJK, regulasi aset kripto berada di bawah kewenangan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), lembaga di bawah Kementerian Perdagangan. Sebelum Undang-Undang PPSK lahir, Bappebti menjadi pengawas aset kripto yang dianggap sebagai komoditas ketimbang aset keuangan. Kini, lantaran perdagangannya kian marak dan bisa berpengaruh pada sistem keuangan, pengawasannya menjadi tugas OJK.
Rumitnya pengawasan aset kripto diakui oleh pelaksana tugas Kepala Bappebti, Didid Noordiatmoko. Menurut dia, selama ini Bappebti mengatur aset kripto demi melindungi para pemainnya sekaligus memberi kepastian hukum. Namun Bappebti juga tidak menganggap aset kripto sebagai alat pembayaran atau aset keuangan. “Bahkan pemain aset kripto pada dasarnya tidak percaya pada regulasi yang sudah ada. Di Indonesia, kok diregulasi? Memang bertolak belakang, tapi itu kami lakukan demi pelindungan masyarakat,” tuturnya kepada Tempo pada Selasa, 20 Desember lalu.
Didid menjelaskan, pemerintah mengawasi dan mengatur perdagangan aset kripto sejak 2018 atau setelah komoditas berbasis pemrograman komputer itu diatur sebagai komoditas yang diperdagangkan di Bursa Berjangka, lembaga di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan. Didid, yang juga menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan, menyebutkan awalnya regulasi aset kripto tidak masuk Undang-Undang PPSK saat regulasi itu masih dimatangkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi, seiring dengan pembahasan yang kian intensif, aset kripto dikelompokkan dalam ITSK.
Didid mengatakan transisi wewenang pengaturan aset kripto dari Bappebti ke OJK menjadi upaya untuk “mencari tempat yang lebih baik”. Apalagi bagi Bappebti pengawasan aset kripto sifatnya menjadi tugas tambahan. Keputusan peralihan kewenangan, menurut dia, merujuk pada arah kebijakan internasional yang menekankan perlunya pengaturan pengawasan aset kripto setara dengan aset lain yang berdampak pada stabilitas sektor keuangan. Saat volume perdagangan dan nilai aset ini bertumbuh, dampaknya bakal sangat besar pada sistem keuangan.
Investor kripto mematau pergerakan asetnya di layar komputer dan telepon seluler di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Financial Stability Board (FSB) atau Dewan Stabilitas Keuangan, badan internasional yang memantau dan membuat rekomendasi tentang sistem keuangan global, menyebutkan aset kripto dapat memicu ancaman bagi ketahanan pasar keuangan dan stabilitas keuangan dunia. Laporan FSB yang terbit pada Februari 2022 menyatakan, jika tren perdagangan aset kripto berlanjut dan tidak ada regulasi serta pengawasan yang efektif, ada risiko pada stabilitas keuangan. Ini terjadi lantaran aset kripto makin terhubung dengan sistem keuangan yang lebih luas, terutama di negara berkembang.
Menurut FSB, pada 2020-2021 terjadi peningkatan partisipasi investor institusional dalam aset kripto, selain kepemilikan para investor retail. Dengan kata lain, makin banyak lembaga keuangan besar dan investor kakap yang memainkan aset kripto sehingga bisa berdampak serius pada sistem keuangan global apabila tak diawasi. Ini terjadi ketika investor melepas aset lain demi membeli aset kripto. “FSB akan terus memantau perkembangan dan risiko di pasar aset kripto,” demikian petikan laporan tersebut.
Bappebti mencatat hingga Agustus lalu investor aset kripto di Indonesia mencapai 16,1 juta. Pada Januari-Agustus, terjadi rata-rata kenaikan jumlah investor 725 ribu per bulan. Nilai transaksi perdagangan aset kripto mencapai Rp 859,5 triliun pada 2021, sedangkan pada Januari-Agustus mencapai Rp 249,3 triliun. Bappebti mencatat ada 383 jenis aset kripto yang terdaftar dan memiliki izin. Meski pertumbuhannya pesat, Didid mengatakan pengetahuan investor aset kripto masih rendah. “Karena itu. pemerintah membuat aturan yang forward looking, melihat ke depan, untuk mencegah kekacauan. Jangan sampai baru diatur setelah chaos,” ujarnya.
Sebelum Undang-Undang PPSK terbit, Bappebti menerbitkan Peraturan Nomor 8 Tahun 2021 tentang pedoman penyelenggaraan perdagangan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka. Didid mengakui pembahasan regulasi aset kripto dalam Undang-Undang PPSK memakai temuan dan laporan yang sudah muncul. “Belum didesain akan seperti apa dan arahnya ke mana. Tapi di satu titik kami harus mengambil keputusan, tidak cukup hanya membuka wacana.” Dia pun menegaskan bahwa Undang-Undang PPSK tidak mengakui aset kripto sebagai currency atau mata uang resmi. Undang-Undang PPSK sebatas memberikan kewenangan pada OJK agar memiliki akses untuk mengatur dan mengawasi aktivitas perdagangan aset kripto supaya tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengatakan aset kripto telah berevolusi dari instrumen investasi menjadi instrumen keuangan dari sisi karakteristik, transaksi, dan risiko. Kesamaan ini, menurut Suminto, menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengatur aset kripto setara dengan instrumen keuangan lain yang diawasi oleh OJK. “Agar ada kesetaraan berdasarkan prinsip same activities, same risk, same regulation,” tuturnya kepada Tempo, Selasa, 20 Desember lalu.
Kementerian Keuangan, Suminto menambahkan, menyadari perlunya proses transisi pengawasan yang halus dari Bappebti ke OJK sehingga tak mengganggu transaksi aset kripto yang sedang berjalan. Dia mengatakan aturan detail akan muncul dalam peraturan pemerintah turunan Undang-Undang PPSK yang pembahasannya dikoordinasikan oleh Kementerian Keuangan. “Kami akan penuhi timeline dengan baik sehingga tidak ada crack, kekosongan peraturan ataupun operasional.”
Tak cuma aset kripto, Undang-Undang PPSK mengamanatkan OJK menjadi wasit pada sejumlah bisnis baru serta aset-aset modern. Salah satunya kegiatan usaha bullion atau bank emas, institusi yang baru akan dibentuk di Indonesia. Pasal 130 Undang-Undang PPSK menyebutkan bank emas adalah kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan kegiatan lain yang dilakukan oleh lembaga jasa keuangan.
Pembahasan kebijakan serta pembentukan bank emas diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Perekonomian. Pada 20 Agustus lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah sudah menyusun rencana pembentukan bank emas pertama di Indonesia. Caranya adalah menggabungkan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI dengan PT Pegadaian (Persero). “Tambang emas kita potensial. Kalau ini terlaksana, emas tidak perlu ekspor lagi ke Singapura,” katanya.
Menurut Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma Sanjaya, niat awal pembentukan bank emas bertujuan mengoptimalkan nilai tambah aset-aset berbasis emas yang belum dimanfaatkan. Dia mengatakan Indonesia saat ini menempati peringkat ke-12 produsen emas terbesar dunia dengan cadangan 30,2 juta ounces. Indonesia juga mengekspor 79 ton emas dalam bentuk granula dan mengimpor 40 ton dalam bentuk emas batangan.
Ihwal perdagangan emas, Tirta mengatakan Bappebti sudah menerbitkan izin kepada empat pedagang fisik emas digital, yaitu PT Indonesia Logam Utama, PT Laku Emas Indonesia, PT Pluang Emas Sejahtera, PT Sehati Indonesia Sejahtera, dan PT ABI Komoditi Berjangka selaku perantara perdagangan emas digital. Perdagangan emas secara digital tercatat pada dua bursa komoditas, yaitu JFX dan ICDX.
Menurut Tirta, Bappebti ikut terlibat dalam pembahasan bank emas bersama Kementerian Koordinator Perekonomian. Namun, ketika pembahasan bank emas masuk rancangan Undang-Undang PPSK, Bappebti tak pernah lagi diikutsertakan. Padahal sebetulnya, menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Komoditi, transaksi perdagangan emas seharusnya diatur oleh Bappebti.
Bappebti, Tirta mengungkapkan, sedang menunggu aturan turunan UU P2SK yang mengatur urusan bank emas secara detail. Dia mengatakan hal yang terpenting bukan pengalihan kewenangan pengawasan dari Bappebti ke lembaga lain seperti OJK, melainkan penyusunan pengaturan yang lebih tepat mengingat potensi produksi emas yang besar. “Agar tidak terjadi overlap. Pembahasan aturan teknis tentu akan melibatkan semua lembaga yang berwenang agar industri yang sudah berjalan tidak terganggu karena transisi,” tutur Tirta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo