Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bali Dijajah Mbak

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia

Ada yang hampir luput dari perhatian media massa ketika bulan lalu berlangsung kongres bahasa daerah di dua tempat. Dalam rangka Bulan Bahasa, di Semarang berlangsung Kongres Bahasa Jawa. Selang beberapa hari, di Denpasar diadakan Kongres Bahasa Bali. Keduanya mendapat perhatian para ahli bahasa, bukan saja pakar bahasa daerah masing-masing melainkan juga para ahli dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, yang bertugas "mengawal dan mengembangkan" bahasa Indonesia.

Kedua kongres ini punya kesamaan, yakni bagaimana melestarikan bahasa daerah yang sangat penting bagi kehidupan budaya setempat. Di kedua kongres bertiup kekhawatiran akan lenyapnya bahasa etnis itu dalam hitungan puluhan tahun ke depan. Asumsi ini dilihat dari jarangnya penggunaan bahasa daerah oleh anak-anak muda, dan kurang diminatinya penerbitan berbahasa daerah.

Pusat Bahasa yang ikut aktif dalam kongres itu sangat berkepentingan akan hidup dan berkembangnya bahasa daerah. Meski kita punya Sumpah Pemuda yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, bahasa daerah dianggap memperkaya bahasa Indonesia. Saling mendukung, tidak saling mematikan.

Sejauh mana itu benar? Di Kongres Bahasa Bali, saya menggugat pernyataan Pusat Bahasa yang mendukung pelestarian bahasa Bali. Dalam makalah saya yang menyoroti perkembangan bahasa dan sastra Bali dari pengaruh budaya luar, saya menyebut bahwa bahasa Bali mendapat serangan gencar dari bahasa Jawa. Dalam "perang" ini Pusat Bahasa memihak bahasa Jawa. Pemihakan itu tercermin dalam produk kamus yang dikeluarkannya, contoh terakhir Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (Balai Pustaka, 2002). Dalam KBBI banyak sekali kata Jawa yang berdiri sendiri-tidak dalam kaitan untuk menjelaskan kata lain-padahal ini kamus bahasa Indonesia, bukan kamus bahasa Jawa. Yang menyudutkan, kata yang dicomot dari bahasa Jawa itu artinya berbeda dengan bahasa Bali, namun tanpa penjelasan bahwa kata itu juga ada dalam bahasa Bali.

Misalnya, kata mbak yang berarti sebutan untuk kakak wanita. Kata ini sudah mulai populer di kalangan orang Bali perkotaan, terutama di lingkungan anak-anak muda. Padahal dalam bahasa Bali sebutan kakak wanita adalah mbok. Nah, kata mbok ini di Jawa berarti ibu, sementara di Bali untuk ibu dise-but meme dan biang untuk bahasa halus.

KBBI "memihak Jawa" dengan mencantumkan kata mbak dan mbok. Dalam kamus jelas kedua kata itu disebutkan dari bahasa Jawa. Kenapa kata itu tak disebutkan juga ada dalam bahasa Bali yang justru artinya berbeda? Ini yang membuat anak-anak Bali perkotaan mengira kata mbak dan mbok versi Jawa itu yang sah sebagai bahasa Indonesia, karena ada dalam "kamus resmi". Adapun "kamus-kamus swasta", sebut satu contoh Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan Hoetomo, tak mencantumkan kata-kata dari bahasa daerah itu.

"Penjajahan" bahasa Jawa terhadap bahasa Bali tidak cuma itu. Di perkotaan, tempat pendatang lebih menguasai sektor informal, orang Bali sudah akrab menyebut pepaya dengan kates. Sedangkan pepaya dalam bahasa Bali adalah gedang. Dengan alasan bahwa kata gedang bisa membingungkan, karena di Jawa gedang itu adalah pisang, maka kates yang dipakai. "Kebetulan" kates ada dalam KBBI.

Bahwa KBBI sangat tidak bersahabat dengan bahasa Bali juga terlihat pada bab "kata dan ungkapan dalam bahasa daerah". Di halaman 1288-1289 KBBI edisi ketiga, ada 75 kata dan ungkapan dalam bahasa daerah, hanya tiga yang diambil dari bahasa Bali, itu pun bukan ungkapan yang sarat makna. Sebagian besar diambil dari bahasa Jawa, satu-dua dari bahasa Sunda dan Minangkabau.

Tentu tidak ada maksud untuk menjadikan KBBI sebagai "Kamus Besar Bahasa-bahasa se-Indonesia". Betapa tebalnya kamus kalau itu maunya. Lagi pula, bukankah kamus bahasa daerah sudah banyak yang terbit? Yang digugat dalam Kongres Bahasa Bali itu agar dikurangi kata-kata dalam bahasa Jawa yang cuma dijelaskan padanannya. Ini tidak adil bagi bahasa daerah lainnya. Apalagi kalau kata itu ternyata di daerah lain punya arti yang berbeda, sementara kamus tidak menjelaskan apa-apa. Tugas mulia KBBI cukup dibatasi hanya dengan mencantumkan kata Indonesia saja. Bahwa kata itu asalnya dari bahasa etnis, memang perlu dijelaskan, tetapi jelaskan pula bahwa di etnis lain, kata itu berarti berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus