Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Agar Dapur Tetap Ngebul

Guru honorer masih berpenghasilan di bawah upah minimum. Potret mengenaskan di Hari Guru Nasional.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ritme hidup Haryanto bak angkutan umum yang selalu ngebut mengejar setoran. Mengajar sejak pagi, ia pulang ke rumah di saat matahari sudah di atas ubun-ubun, sekadar untuk makan dan membasuh muka. Tak tersisa waktu untuk menghabiskan segelas teh yang disediakan istrinya di beranda. Bersalin dengan baju koko dan kopiah hitam, sepeda motornya pun melaju kembali menuju Madrasah Diniyah Awaliyah Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Sehabis memberi pelajaran, tidak ada waktu untuk berleha-leha. Dua aktivitas masih menanti hingga larut malam: memberi kursus privat membaca Al-Quran kepada tiga siswa dan berceramah di masjid. Istirahat semalaman, esok pagi rutinitas akan berulang, sampai-sampai Haryanto memberi perumpamaan yang cocok dengan gaya hidupnya yang seperti angkot itu, ”Rumah saya ini ibarat stasiun, sekadar untuk singgah dan pergi lagi.”

Tentu saja, lelaki 48 tahun yang tinggal di Dusun Mertan, Desa Wirun, Bekonang, itu tidak ingin memacu fisiknya sekeras itu. Apa daya, sebagai guru honorer, ia hanya bisa membawa pulang Rp 500 ribu dari SD Diponegoro, tempatnya mengajar. Lintang-pukang ia menutup kebutuhan untuk biaya sekolah dua anaknya di perguruan tinggi dan SMP.

Ada sedikit bantuan dari istrinya. Betul-betul sedikit. Dengan status serupa, sebagai guru honorer, Siti Zulaekah yang mengajar di Madrasah Tsanawiyah Bekonang hanya mendapat Rp 100 ribu tiap bulan. Tak pernah ada perubahan besaran, padahal ia sudah mengajar sejak 20 tahun lalu.

Kisah tentang guru honorer adalah kisah sendu yang terjadi pada beberapa profesi di negeri ini. Cerita ini perlu diingatkan kembali saat ramainya perayaan Hari Guru Nasional, Sabtu pekan lalu, di tengah berita gembira rencana kenaikan anggaran pendidikan 20 persen pada anggaran negara di tengah keceriaan guru-guru SD Negeri di Jakarta yang mendapat tunjangan Rp 2 juta sejak tahun lalu. Di antara itu, masih ada sejuta guru honorer yang harus berjuang untuk bisa menjalani hidup hari ke hari.

Tak ada patokan pemberian honor untuk mereka. Siti Zulaekah Rp 100 ribu, suaminya Rp 500 ribu—tetap lebih rendah ketimbang ketentuan upah minimum di daerahnya yang Rp 510 ribu. Ada Agus Susanto, jebolan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Sukoharjo yang bahkan cuma mendapat Rp 70 ribu tiap bulan dari SMA Muhammadiyah Andong, Boyolali. Jumlah itu tak berubah sejak dua tahun silam.

Di Kota Serang, Banten, hiduplah Didi Kurniawan, 46 tahun, yang memperoleh Rp 110 ribu dari hasil mengajar 18 jam per minggu. Padahal, dia telah mengabdi sebagai guru tak tetap di SMU PGRI Kota Serang selama 15 tahun. Tengoklah juga Samsuddin M. Hassan, guru honorer di SD Layang I Makassar yang cuma bisa membawa pulang Rp 400 ribu setiap bulan. Jumlah ini di bawah ketentuan upah minimum di Sulawesi Selatan yang Rp 680 ribu.

Uang sekian jelas tidak cukup untuk hidup. Mereka pun berakrobat menyiasatinya. Agus Susanto terpaksa hidup seperti lajang. Istrinya tinggal bersama orang tuanya di Solo, sementara dia sendiri masih jadi tanggungan orang tuanya di Boyolali. Pekerjaan yang paling mungkin dilakukan, ya mengajar. Malah menjadi tukang kayu atau tukang batu pun tak haram bagi Samsuddin untuk menghidupi empat anaknya. Atau, berkeliling dengan sepeda butut ke tempat-tempat hiburan, menawarkan jasa hiburan organ tunggal peninggalan orang tuanya. ”Apa saja saya lakukan agar dapur ngebul,” ujar Didi Kurniawan.

Himpitan beban membuat beberapa guru honorer bersuara. Iskandar Lamian, guru tidak tetap di SMU I Pandeglang, Banten, mengajar 30 jam dalam seminggu. Dari sana ia cuma mengantongi Rp 220 ribu per bulan. Itu pun masih dipotong dana sosial dan asuransi, sehingga hanya Rp 90 ribu yang bisa ia bawa pulang.

Bersama teman-temannya, Iskandar pernah menuntut kenaikan honor kepada pihak sekolah. Jawaban yang diterima? Penolakan. Tak mau menyerah, Iskandar dan teman-temannya kemudian membawa persoalan honor itu ke DPRD Banten. Sayang, pengaduan mereka tak ditanggapi. ”Kami malah dicibir: siapa suruh jadi guru honorer?” ujarnya menirukan tanggapan para wakil rakyat itu.

Untuk memperjuangkan nasib pula, Selasa pekan lalu, sekitar 60 guru honorer dari Pati, Jawa Tengah, mendatangi kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. ”Kami ingin pemerintah memberikan peluang yang sama dengan guru lain untuk menjadi pegawai negeri,” Suwardi, koordinator para guru honorer itu, menyampaikan tuntutannya. Ia mengklaim timnya merupakan perwakilan dari semua guru honorer di Pati yang berjumlah 2.465 orang. Dari jumlah itu, sekitar 250 orang merupakan guru honorer lokal.

Tuntutan itu tampaknya akan membentur tembok. Direktur Jenderal Mutu Peningkatan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal menjelaskan, guru honorer lokal dan daerah akan sulit menjadi pegawai negeri sipil. Yang lebih beruntung adalah guru bantu. Pemerintah berencana mengangkat mereka menjadi pegawai negeri sipil sampai 2009. Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Tasdik Kinanto mengatakan, ”Bila syarat-syarat sudah terpenuhi, maka database pemerintah akan mencatat nama guru bantu tersebut untuk masuk daftar yang akan diangkat.”

Adapun guru honorer lokal dan daerah cuma bisa menjadi pegawai negeri dengan syarat yang lumayan berat. Usia mereka harus di bawah 35 tahun, lulus program sertifikasi, lulus ujian, dan memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, biasanya berupa gelar strata satu. Bagaimana dengan mereka yang sudah lewat umur? ”Ini yang sedang dipikirkan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Pendidikan Nasional,” ujar Fasli.

Untuk soal kenaikan honor, pemerintah cuma bisa membantu lewat Bantuan Operasional Sekolah (BOS). ”BOS diberikan dalam jumlah yang sama antara sekolah negeri dan swasta, sebagian besarnya boleh dipakai membayar guru-gurunya,” kata Fasli. Bila itu dirasa belum cukup, ia menyerahkan pilihan kepada mereka: tetap bertahan atau mencari sekolah lain yang memberikan honor lebih baik.

Sebetulnya sebagian pemerintah daerah sudah bergerak membantu para guru honorer lokal. Mereka diberi kesempatan untuk mengikuti program sertifikasi yang menjadi salah satu syarat menjadi pegawai negeri. ”Kalau mereka berkualitas, kami bisa merekomendasikan untuk diangkat menjadi guru bantu atau bahkan PNS,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Banten, Yunadi Sahroni.

Namun, banyak guru honorer sudah patah arang. Apalagi masih ada persyaratan memiliki gelar strata satu. Artinya mereka yang belum sarjana harus kuliah lagi. ”Orang setua saya dengan penghasilan pas-pasan tentu mementingkan kuliah untuk anaknya daripada untuk diri sendiri,” kata Haryanto.

Purwani D. Prabandari, Sunariah, Imron Rosyid (Solo), Faidil Akbar (Serang), Irmawati (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus