Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Beberapa catatan

Komentar kolom nurcholish madjid, "islam dan birokrasi" tentang diorama monumen nasional, hubungan kaum muslimin dengan susunan mapan kenegaraan dan jawanisasi (bahasa).

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menarik sekali tulisan Cak Nur, "Islam dan Birokrasi" (TEMPO, 28 Desember 1991, Kolom). Suatu pengamatan jitu dan ekspresi orisinil yang Islami. Ia tidak saja menggambarkan realita yang sahih, tapi lebih dari itu, ia merupakan aktualisasi demokrasi ilmiah dan keterbukaan yang murni. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan ditanggapi, yaitu: 1. Tentang diorama "Monumen Nasional". Betulkah ada halhal yang kurang sinkron, yang bisa ditafsirkan sebagai usaha mengingkari peranan umat Islam dalam perjuangan bangsa? Saya kira tidak demikian. Pada hemat saya, Cak Nur terlalu setuju dengan pendapat ahli keindonesiaan dari Amerika yang mengatakan itu. Sebaiknya, kita tak usah terjebak oleh formalisme fisik belaka. Yang penting, bagaimana kita memahaminya dengan hati nurani sosial dan budaya yang Islami. Saya katakan demikian karena saya teringat kata-kata Cak Nur pada seminar "Perkembangan Mutakhir dan Kontekstualisasi Kajian Islam", Februari 1991 di IAIN Raden Fatah Palembang. 2. Tentang hubungan kaum muslimin dengan susunan mapan kenegaraan (sebut saja "oknum"). Saya rasa, Cak Nur membuat generalisasi yang kurang pas. Itu terlihat dalam kalimat, "Semua orang tahu bahwa . . .". Saya kira tidak sematamata demikian. Ada satu hal yang kurang dipedulikan Cak Nur, yaitu "harga diri" muslim waktu itu. Bila kita jujur, problem itu tidak sematamata karena perbedaan pandangan sebagian politikus muslim tentang dasar negara, tapi lebih disebabkan keserakahan dan ivested interestr sejumlah oknum politikus muslim, sehingga citranya menjadi kurang menarik. Boleh jadi, karena itulah orang lain menjadi tidak simpatik melihatnya. Itu kenyataan yang kita terima dengan arif dan lapang dada. 3. Tentang Jawanisai (bahasa). Sebaiknya, kita tidak melupakan sinyalemen klasik "Ramalan Joyoboyo" tentang era Kolobendu. Mungkin juga, soal ketidakkonsistenan bahasa kita adalah salah satu bukti era itu. Kalau demikian -- dalam soal bahasa ini -- kita (baca: umat Islam) mempunyai kewajiban untuk mengantisipasinya. Caranya, bagaimana menampilkan bahasa Arab, di samping bahasa Inggris, mampu menjadi solusi alternatifnya. Ojo lali, Allah SWT telah memperingatkan dalam firmanNya: "Inna al Quran Arabiyyan . . .". SRI KUNCORO Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat 10430

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus