Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARMIN Nasution, Anwar Suprijadi, dan sejumlah pejabat tinggi Departemen Keuangan, yang mundur dari jabatan komisaris badan usaha milik negara, pantas jadi contoh. Di saat para pejabat ”berebut” kursi komisaris dengan penghasilan besar, mereka justru pamit mundur.
Mereka memilih menyelamatkan reformasi birokrasi yang sedang bergulir ketimbang menodainya dengan konflik kepentingan yang bisa sangat mengganggu. Darmin sebagai Direktur Jenderal Pajak, umpamanya, bisa dituduh terlibat benturan kepentingan manakala Bursa Efek Indonesia menentukan besar pajak yang harus dibayar, meskipun sebagai komisaris ia tak ikut menghitung pajak.
Sikap terpuji itu perlu ditiru pejabat lain, bukan hanya di Departemen Keuangan. Apalagi aturan sudah tegas menyatakan pegawai negeri sipil yang memangku jabatan struktural tidak boleh merangkap jabatan, termasuk jabatan fungsional. Sanksi pun di atas kertas bermacam, mulai hukuman pelanggaran etika pegawai, sumpah jabatan, bahkan hingga ancaman pemecatan.
Ada satu acuan hukum yang dijadikan alasan pembenar rangkap jabatan, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Pendirian dan Kepengurusan Badan Usaha Milik Negara. Pada bagian pengawasan disebutkan susunan anggota komisaris dan dewan pengawas terdiri atas pejabat di bawah menteri, pemimpin departemen, dan lembaga nondepartemen. ”Senjata” inilah yang digunakan pejabat untuk mengincar kursi ekstra di luar posnya.
Semestinya, menghadapi dua peraturan yang saling bertentangan, para pejabat berpegang pada kaidah hukum yang lazim. Mereka patut taat pada peraturan yang paling memberi rasa keadilan. Selain itu, sang pejabat sesungguhnya perlu mempertimbangkan sisi moral, disiplin, serta integritas menghadapi dua aturan yang ”bertabrakan”.
Secara etika, ataupun dari prinsip pemerintahan yang bebas dari korupsi dan kolusi serta nepotisme, mengejar tambahan jelas tak terpuji. Sebab, kedudukan baru, selain berpotensi memecah konsentrasi pada pekerjaan utama, selalu punya potensi mengundang tabrakan kepentingan.
Benturan kepentingan, akar penyebab terjadinya penyelewengan, mesti dihindari betapapun menggiurkan tambahan penghasilan dari jabatan ”kedua” itu. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Pencegahan M. Jasin sempat menghitung gaji sebulan seorang pejabat eselon I Rp 40 juta. Dari jabatan komisaris salah satu badan usaha milik negara ada tambahan Rp 25 juta. Ia masih merangkap komisaris sebuah perusahaan swasta. Total jenderal penghasilan yang diraihnya Rp 100 juta per bulan. Ia sudah melampaui gaji menteri dan presiden. Sementara itu, belum jelas prestasi yang ditorehkan pejabat tersebut.
Memang tak gampang mewujudkan birokrasi pemerintah yang bersih dan efisien. Tapi bukan tak ada cara mencapainya. Dalam urusan komisaris badan usaha milik negara, misalnya, sistem rekrutmen harus dibenahi. Publik perlu diberi kesempatan mengisi jabatan itu melalui seleksi ketat oleh tim independen. Maka, yang akan lolos adalah orang yang kompeten dan punya reputasi baik, meskipun bukan berasal dari birokrasi. Dia punya kemampuan tinggi, bukan sekadar pajangan untuk menakut-nakuti direksi dan jajaran badan usaha.
Kepada pejabat yang masih doyan mengoleksi jabatan diimbau agar memilih salah satu saja. Honor memang akan berkurang, tapi ia sudah menyumbang besar: menyokong reformasi birokrasi. Tanpa perubahan perilaku birokrasi, percayalah, Indonesia hanya akan berjalan di tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo