Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM beberapa dekade ke depan, penggunaan uang tunai akan dianggap primitif. Posisinya mungkin sama dengan sistem barter saat ini. Uang tunai akan digantikan oleh uang elektronik, yang lebih praktis dan aman. Pemerintah dan Bank Indonesia harus segera menggegas pembuatan dan penerapan peraturan yang selama ini menjadi kendala pemakaian uang elektronik di Indonesia.
Pembicaraan tentang uang elektronik ini kembali timbul setelah pemerintah berencana menyalurkan subsidi untuk gas kemasan tabung 3 kilogram. Saat ini subsidi disalurkan lewat pemotongan harga. Namun sistem itu tak mencegah orang-orang-mampu membeli gas yang disubsidi. Dengan pemakaian uang elektronik khusus, pembelian dengan harga subsidi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kartu berisi uang elektronik ini.
Model ini dipakai setelah Bank Indonesia berhasil menyalurkan dana bantuan Program Keluarga Harapan sejak tahun lalu. Dana bantuan tunai ini diserahkan ke keluarga sangat miskin. Penyaluran dengan memakai uang elektronik terbukti lebih tepat sasaran dan tidak ada pencatutan di tengah jalan. Uang langsung diterima oleh mereka yang berhak tanpa harus melalui jaringan birokrasi, sehingga tidak mungkin ada pungutan liar.
Meski berhasil dan patut dipuji, langkah ini tidak cukup, mengingat jumlah dana bantuan itu tidak terlalu banyak dibandingkan dengan transaksi lain. Saat ini pemakaian uang elektronik hanya 1,6 persen dari produk domestik bruto (PDB), yang totalnya Rp 10.542 triliun tahun lalu. Artinya, penggunaan uang elektronik hanya Rp 169 triliun. Sisanya masih memakai uang tunai.
Bank Indonesia menargetkan pemakaian uang elektronik tahun ini akan naik menjadi di atas 2 persen dari PDB. Sebetulnya target ini terlalu pesimistis. Pertumbuhan pemakaian uang elektronik (plus lewat kartu debit) memang tidak terlalu besar, hanya sekitar 40 persen. Tapi BI tidak dapat mematok target hanya berdasarkan pertumbuhan riil, karena banyak kendala pertumbuhan itu. Berbagai kendala tersebut dapat dihalau jika BI mau lebih keras menerapkan aturan yang sudah dibuat dan pemerintah juga mengeluarkan aturan yang mempermudahnya.
Salah satu kendala besar adalah soal eksklusivitas. Sejumlah layanan, misalnya, hanya bisa dibayar dengan uang elektronik dari bank tertentu. Misalnya pembayaran jalan tol yang hanya bisa dilakukan dengan uang elektronik dari Bank Mandiri. Hal ini tentu menyulitkan pengguna tol yang memiliki uang elektronik yang diterbitkan bank lain. Soal ini sebetulnya sudah diatur oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 16 Tahun 2014. Pasal 11 aturan itu menyebutkan, dalam penyediaan layanan umum, pemakaian uang elektronik dilarang secara eksklusif.
BI seharusnya bisa mengatasi kendala ini dengan mengeluarkan uang elektronik sendiri. Meski uang elektronik BI itu diterbitkan oleh bank yang berbeda, pemakaiannya bisa di mana saja, karena memiliki kesamaan platform. Mirip dengan Visa atau MasterCard di kartu kredit. Hal inilah yang telah dilakukan sejumlah negara, misalnya Singapura.
Tanpa terobosan revolusioner, pemakaian uang elektronik tidak akan berkembang signifikan. Padahal pemakaian uang elektronik jauh lebih aman, praktis, dan mengurangi banyak biaya, termasuk pencetakan uang. BI tak perlu terlalu sering mengganti uang yang beredar karena tidak terlalu sering dipakai di pasaran. Hal itu tidak hanya bisa diatasi dengan Gerakan Nasional Nontunai, yang diluncurkan BI tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo