Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUDUHAN korupsi terhadap mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana jelas mengada-ada. Ditetapkan sebagai tersangka pekan lalu, kesalahan Denny dalam pengadaan sistem payment gateway untuk pembuatan paspor elektronik sejatinya cuma kelalaian administrasi.
Dalam sistem yang dilaksanakan Juli-September 2014 itu, Denny sebenarnya tengah membabat calo. Dengan pembayaran manual, pembuat paspor ada kemungkinan diperas, selain mesti antre lama di depan loket. Membayar tunai via bank sama tak efisiennya: pemohon paspor tetap harus antre.
Maka lahirlah ide pembayaran lewat payment gateway-via kartu kredit atau kartu debit pelbagai bank-yang dalam pelaksanaannya melibatkan perusahaan swasta. Pemohon dibebani Rp 5.000 per paspor-uang yang bersama biaya pokok disimpan di rekening penampung.
Oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sistem payment gateway dianggap tak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena uang tak langsung disetor ke bendahara negara. Keberadaan rekening penampung tidak disetujui Menteri Keuangan, yang menyarankan Kementerian Hukum memakai Sistem Informasi PNBP Online (Simponi). Persoalannya, pemasangan perangkat Simponi membutuhkan waktu setahun-jangka waktu yang dinilai terlalu lama. Penolakan Kementerian Keuangan itu membuat proyek ini disetop.
Denny jelas tak memperkaya diri sendiri atau orang lain. Kedua vendor mendapat Rp 605,8 juta-jauh lebih kecil daripada investasi yang sudah mereka tanam. Denny mengaku tak kecipratan uang sepeser pun. Sistem payment gateway juga tak diwajibkan karena konsumen tetap diberi opsi membayar manual.
Lalai secara administrasi, Denny semestinya diminta membayar denda sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan. Membawa kasus ini ke ranah pidana menunjukkan upaya kriminalisasi.
Sulit untuk tak curiga tudingan paksa pelanggaran pidana itu menjadi bagian dari upaya membekuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan para pendukungnya. Setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka suap, polisi melakukan "serangan balik". Dua pemimpin Komisi, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, telah ditetapkan sebagai tersangka untuk dua kasus yang berbeda. Denny merupakan tersangka ketiga.
Aneh belaka pendapat yang menyamakan perkara payment gateway dengan kasus Sistem Administrasi Badan Hukum, yang pernah membelit sejumlah pejabat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kasus yang terakhir, uang sudah diterima pihak ketiga-bahkan telah dimanfaatkan pejabat Kementerian sebagai biaya operasional. Di pengadilan, mereka yang diduga terlibat dinyatakan bebas.
Kepolisian harus menghentikan kasus Denny Indrayana. Para politikus penyokong polisi selayaknya berhenti menyebut perkara ini "penegakan hukum". Terminologi yang terakhir merujuk pada pengusutan kasus yang jelas unsur pidananya. Kasus Denny jelas dibuat-buat.
Presiden Joko Widodo telah berulang kali meminta kepolisian menyetop kriminalisasi. Mengabaikan perintah Presiden adalah pembangkangan yang nyata-sesuatu yang harus ditindak. Mencegah polisi melakukan kriminalisasi bukanlah wujud intervensi Kepala Negara terhadap proses hukum. Tindakan itu justru bukti komitmen Presiden pada terbentuknya kepolisian yang profesional dan tidak serampangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo