Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedatangan mantan Perdana Menteri Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Yasser Arafat ke Jakarta yang hanya berselisih kurang dari 48 jam itu, antara lain, untuk mencegah banjir darah dalam rangka memperebutkan kota suci ini. Kegagalan KTT Camp David pada Juli silam, yang salah satu kemandekannya disebabkan oleh persoalan status Yerusalem, adalah sebuah langkah mundur. Sementara itu, jarum jam terus berjalan menuju tanggal 13 September 2000sebuah tanggal yang telah disepakati oleh kedua pihak (dan berbagai pihak lain, termasuk Amerika Serikat, yang diwakili Menteri Luar Negeri Madeleine Albright) dalam perjanjian Sharm El-Sheikhyang akan menjadi hari proklamasi Palestina. Sebelumnya, Palestina sudah berencana memproklamasikan kemerdekaan pada Mei 1999 silam. Tapi, saat itu, Arafat diyakinkan untuk menunda proklamasi itu hingga pemilu Israel usai. Kini, apakah dia bersedia menundanya lagi?
Sembari sarapan pagi di guest house Halim Perdanakusuma, Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid mendengarkan Peres yang menyampaikan permintaan pihak Israel agar Presiden Abdurrahman sudi membujuk Arafat untuk (lagi-lagi) mengundurkan rencana proklamasi itu sembari tetap memberikan kesempatan agar perundingan tetap berjalan. Dua hari kemudian, Rabu pekan silam, kepada Arafat, Abdurrahman menyampaikan dukungan Indonesiaseperti biasakepada Palestina.
Dukungan pemerintah Indonesia kepada Palestina sudah berlangsung lama sejak masa Orde Baru. Yang "baru" dan agak mengejutkan adalah usulan Abdurrahman atas penyelesaian Yerusalem yang cukup rinci. Di sebuah konferensi pers di Istana, Gus Dur menawarkan agar Palestina dan Israel saling membagi kedaulatan administratif dan politik atas kota suci itu. Kedaulatan administratif ditangani oleh Israel, sedangkan kedaulatan politik perlu diselesaikan oleh Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, Palestina, Israel, dan PBB. Usulan ini tidak hanya mengejutkan para wartawan dan masyarakat, tapi juga pihak Palestina sendiri. Dan yang lebih menarik, menurut Menteri Luar Negeri Alwi Shihab kepada TEMPO, usulan itu "bukan merupakan posisi (pemerintah) Indonesia," melainkan seperti semacam brainstorming dalam sebuah seminar.
Pertama, meski Presiden juga memiliki hak pribadi untuk mengungkapkan usulan-usulannya, pernyataan yang diucapkan dalam sebuah konferensi pers bersama sang tamu negara tentu dengan mudah akan diinterpretasikan sebagai posisi politik luar negeri Indonesia. Ucapan Presiden tentang situasi di negara lain yang dianggap sebagai brainstorming dalam sebuah seminar jangan-jangan hanya terjadi di negeri ini.
Kedua, bagaimanapun, jika usulan itu bukan merupakan posisi pemerintah Indonesia secara resmiseperti yang dinyatakan Alwi Shihabkita patut bersyukur karena usulan itu adalah langkah mundur dilihat dari sisi Palestina. Memberikan kedaulatan administratif kepada Israel, apa pun artinya, tetap memberikan sebuah porsi otoritas bagi Israel. Sedangkan apa yang diharapkan Yasser Arafat dan warga Palestina cukup jelas: kedaulatan penuh.
Dalam hal ini, sementara perundingan politik kedua pihakdengan bantuan AS sebagai mediator utamaberlangsung, mungkin ada baiknya PBB mengambil langkah yang lebih proaktif dalam ikut menangani status Yerusalem ini.
Posisi Indonesia? Mungkin sebaiknya dibicarakan dulu secara serius antarpimpinan negeri ini, sehingga ucapan resmi yang keluar bukan sekadar brainstorming dalam sebuah seminar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo