DI tahun 60-an seorang dosen yang bertindak sebagai pembela dalam suatu perkara pidana di Pengadilan Negeri Surabaya, diminta mengosongkan meja dan kursi pembela agar mengambil tempat di bangku publik. Sebab, ia tak sanggup memperlihatkan izin praktek dari pejabat berwenang. Hakim tidak mengusir dia keluar dari ruang sidang meskipun dosen itu jelas telah melanggar UU Pokok Kepegawaian yang berlaku pada waktu itu. Sebagai pemimpin sidang dan yang bertanggung jawab atas ketertiban selama persidangan selain ad rem, hakim pun harus bijaksana terutama dalam ucapan-ucapannya. Bila kita menelaah hal-hal yang pernah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (TEMPO, 18 Oktober, Hukum), maka yang perlu diselesaikan ialah masalah, apakah penasihat hukum berhak menolak perintah hakim membacakan pleidoi tanpa hadirnya terdakwa. Dan, berhakkah hakim mengusir penasihat hukum yang menolak perintah itu. Hakim Jakarta Timur, agaknya, masih berpegang pada suatu yurisprudensi mengenai acara pidana yang tidak mengikat lagi karena berlakunya KUHAP. Selain itu, putusan op tegenspraak atau op contradictoir itu sendiri, sebenarnya, hanya dikenal dalam acara perdata. Sehingga, menghadapi perselisihan pendapat mengenai kasus-kasus semacam itu, diharap semua pihak menahan diri dan lebih menggunakan rasio daripada rasa. Hakim tidak perlu gegabah mengeluarkan penasihat hukum dari ruang sidang, bila ia memang ditolak sebagai pembela. Sebab, dalam hal penerapan hukum tidak selamanya penasihat hukum itu keliru. Yang perlu disinggung juga ialah pendapat bahwa yurisprudensi itu sama dengan undang-undang. Padahal baik materinya maupun bentuknya, kedua produk itu menunjukkan perbedaan mencolok. Akhirnya, dapatkah hakim dikena contempt of court, karena, menurut UU Pokok Kehakiman, yang menjalankan peradilan adalah pengadilan, dengan manusia-manusia pelaksananya para hakim. Kedengarannya, memang, canggung bahwa hakim ditindak karena meremehkan dirinya sendiri. S. RIWOE Jalan Ngagel Jaya Utara 91 Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini