Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Otje Sudioto mau jadi anggota

Menurut seorang tunanetra nunung nurmahdi, pencalon an otje sudioto, tunanetra, menjadi anggota dpr dari golkar, sangat tak layak. hubungan otje dengan para tunanetra buruk, terlalu tinggi hati. (kom)

8 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA, penyandang cacat tunanetra, terkejut dan terheran-heran tatkala mendengar berita tentang pancalonan Otje Sudioto untuk anggota DPR (TEMPO, 18 Oktober, Nasional). Saya mendengar berita itu dari teman saya, orang normal, yang membacakan berita itu agar saya memberikan tanggapan. Bagi saya, pencalonan Otje amat keterlaluan tak layaknya. Walaupun ia berpendidikan universitas dan pernah belajar di Amerika, ia tetap penyandang cacat tunanetra. Jangankan orang cacat, orang normal saja banyak yang tak becus menjadi wakil rakyat. Apalagi, ia gembar-gembor mau membela nasib para tunanetra, anggota Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia). Itu celoteh melulu, omong kosong saja. Mengapa? Saya mempunyai banyak pengalaman, bagaimana para pengurus atau mereka yang mengaku-aku wakil para tunanetra kerjanya cuma menipu. Mau contoh? Pernah mendengar nama Ali Partokusumo? Ia pimpinan Pertuni yang suka menipu para tunanetra, sama seperti Otje. Ali sering minta sumbangan ke sana kemari -- katanya, buat para tunanetra, padahal buat kepentingan pribadinya. Pernah, misalnya, Ali mendapat sumbangan sejumlah alat tulis khusus buat para tunanetra dari Lions Club. Alat itu dijual kepada para tunanetra seharga Rp 20.000, padahal harganya paling tinggi Rp 10.000. Itu kalau buatan Jerman, buatan Jepang lebih murah. Pengalaman saya dengan Otje lebih brengsek. Hubungannya dengan para tunanetra buruk. Ia tak suka bergaul dengan orang kecil seperti saya. Beberapa kali ia berjanji menerima saya untuk menyampaikan gagasan-gagasan mengenai kehidupan ketunanetraan, selalu tak pernah berhasil. Terakhir, misalnya, ia berjanji mau membantu lomba pembacaan puisi tunanetra. Ia menyuruh saya datang ke Serpong, ke rumahnya. Ia menghindari saya dengan pergi begitu saja tanpa memberikan alasan ke mana ia pergi. Apalagi kalau mau ditemui di kantor Berita Yudha, susahnya setengah mati. Padahal, bila saya menemui Rendra, dramawan besar itu, gampangnya bukan main. Saya selalu disambut Rendra bagaikan menyambut sahabat lamanya, anggota perkumpulan dramanya yang paling diandalkan. Ya, bagaimana Otje bisa berceloteh mau membawa-bawa masalah tunanetra dalam perjuangannya, sedangkan kelakuannya seperti itu. Pendeknya, saya mengimbau Otje, Anda boleh merencanakan sesuatu, membuat gagasan muluk, tapi tak usah bermimpi di siang bolong, berkhayal di awang-awang. NUNUNG NURMAHDI Jalan Pembangunan III RT 007 RW 03 Nomor 53 Bintaro, Kebayoran Baru Jakarta Selatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus