Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bukan Sekadar Tidak

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia JR

Beberapa waktu yang lalu, di sebuah koran terbitan Jakarta ada judul berita ”Sekaten Tidak Sekadar Pasar Malam”. Artikel itu bercerita bahwa, dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan perayaan Sekaten di Solo diramaikan oleh hiruk-pikuk perdagangan, pameran, dan kesenian daerah.

Sementara itu, di sebuah situs promosi wisata suatu provinsi ada kalimat berikut ini. ”Potensi kepariwisataan Banten tidak sekadar pantai Anyer, Karang Bolong, dan Carita yang sudah telanjur dikenal warga Jabotabek. Tetapi juga ada kawasan Baduy, pemandian Cikoromoi, dan banyak lagi lainnya.”

Dua paragraf di atas hanya sedikit contoh dari cukup banyak kasus pemakaian pasangan kata tidak sekadar secara tidak tepat. Untuk sementara, mari kita copot kata sekadar pada dua kalimat itu sehingga akan terbaca: ”Sekaten tidak pasar malam” dan ”Potensi kepariwisataan Banten tidak Pantai Anyer,…”

Nah, sekarang tampak keganjilan pada kalimat itu, bukan? Dalam terminologi linguistik, pasar malam dan pantai Anyer adalah konstruksi nomina alias kata benda, yang dalam deskripsi keilmuan ”tidak dapat didampingi tidak”. Sama mustahilnya jika kita bilang ”tidak rumah”, ”tidak gelas”. Tentu saja, kita akan menyebutkan ”bukan rumah”, ”bukan gelas”. Sebagai contoh, jika ada dua pilihan kita akan berkata, ”Saya ingin sirup jeruk, bukan sirup mangga.” Tak mungkin kita katakan, ”Saya ingin sirup jeruk, tidak sirup mangga.”

Secara ringkas saja, tanpa berargumen dengan jurus-jurus teknis-teoretis pun kita bisa sepakat bahwa konstruksi ”Sekaten tidak pasar malam” itu keliru, minimal terasa janggal, aneh, ”tidak masuk nalar”. Tidak mungkin, misalnya, kita bertanya, ”Sekaten itu pasar malam atau tidak?” Tentunya pertanyaan kita: ”Sekaten itu pasar malam atau bukan?” Dengan ilustrasi itu jelas bahwa konstruksi yang logis adalah ”Sekaten bukan pasar malam”.

Nah, sekarang kita kembalikan kata sekadar yang tadi dicopot, sehingga jadinya ”Sekaten bukan sekadar pasar malam”. Penambahan kata sekadar menjadi syarat untuk menjelaskan keterangan tambahan mengenai tradisi Sekaten di Solo akhir-akhir ini. Menurut artikel itu, Sekaten kini bukan lagi semata-mata acara ritual keagamaan dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad, namun sudah diramaikan dengan berbagai kegiatan komersial berupa pameran, perdagangan, serta pergelaran kesenian daerah.

Begitu pula, ”Potensi kepariwisataan Banten bukan sekadar pantai Anyer, Karang Bolong, dan Carita yang sudah telanjur dikenal warga Jabotabek. Ada juga kawasan Baduy, pemandian Cikoromoi, dan banyak lagi.”

Cukup aneh, sebenarnya, pasangan kata tidak sekadar begitu digandrungi sampai-sampai orang seolah tak menyadari bahwa sewaktu-waktu perlu juga mempertimbangkan pasangan kata bukan sekadar untuk mendampingi unsur atau konstruksi nomina alias kata benda.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa tidak dan tidak sekadar berfungsi mendampingi kata kerja, misalnya ”tidak pergi”, ”tidak bercukur”, ”tidak memukul”. Meskipun demikian, dapat pula kata kerja didampingi bukan, umpamanya: ”Tujuan dia ke sana bukan untuk bekerja, melainkan untuk main-main saja.” Juga: ”Tujuan dia ke surat kabar bukan sekadar untuk bekerja, tetapi juga untuk menyalurkan hobi menulis.”

Contoh yang lain terdapat pada sebuah surat kabar terbitan Jakarta, sebagai judul artikel: ”Tidak Sekadar Kemiskinan, tapi Pemiskinan”. Dari bentuk dasar kata sifat miskin, kemiskinan dan pemiskinan merupakan nomina alias kata benda, yang hanya dapat didampingi adverbia bukan dan bukan sekadar. Jadi, yang tepat adalah ”Bukan Sekadar Kemiskinan, tapi Pemiskinan”.

Lain halnya dengan kalimat: ”Keputusan Menteri Keuangan terbukti tidak sekadar memiskinkan rakyat, tetapi juga melenyapkan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan.” Memiskinkan dan melenyapkan adalah dua kata kerja yang ditegaskan secara sekaligus oleh konstruksi adverbial tidak sekadar.

Hal yang sama terjadi pada konstruksi kalimat seperti berikut: ”Bagi saya, tidak masalah, dia datang sebagai kawan atau lawan.” Kasus ini kerap terjadi pada ragam cakapan, meski tidak dapat dibenarkan dalam ragam baku. Sebagai nomina, masalah tidak dapat didampingi adverbia tidak. Seperti kasus-kasus di atas, sebaiknya dipakai kata bukan di situ: ”Bagi saya, bukan masalah, dia datang sebagai kawan atau lawan.” Bisa juga dibuat sebagai berikut: ”Bagi saya, tidak jadi masalah, dia datang sebagai kawan atau lawan.”

Ada sejumlah variasi pasangan kata yang kurang-lebih semakna: tidak sekadar, bukan sekadar, tidak melulu, bukan melulu, tidak hanya, bukan hanya, tidak saja, bukan saja, tidak semata-mata, bukan semata-mata, tidak cuma, bukan cuma. Kita dapat memilih yang mana saja tergantung tendensi maknanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus