Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pipa cangklong, wajah keriput dengan rambut dan jenggot putih awut-awutan, bunga matahari, sarung, plototan tube. Itu agaknya kenangan umum orang terhadap almarhum pelukis Affandi.
Seratus tahun kelahirannya dirayakan terpisah-pisah. Di Yogya, diadakan karnaval. Puluhan orang mengenakan topeng berwajah Affandi berarak di sepanjang Jalan Gejayan. Dan kini Galeri Semarang mengundang hampir 70 pelukis untuk berpameran di Arsip Nasional Jakarta dengan tema Imagined Affandi. Mereka dibebaskan menafsirkan kehidupan Affandi.
Dan ternyata tak banyak interpretasi atas kehidupan Affandi. Baik dari generasi lama maupun baru, mereka sama-sama menyajikan wajah Affandi yang itu-itu juga. Djoko Pekik, Dede Eri Supria, Nyoman Erawan, Rosid, Sunaryo, Galam Zulkifli, F.X. Harsono, S. Teddy, Didik Nurhadi, Deddy Paw, walau berbeda gaya, semuanya menampilkan wajah Affandi yang populer. Wajah saat ia tua. Dede Eri Supria, misalnya, menampilkan gambar wajah Affandi dari samping dengan warna dominan hijau memegang canglong. Seraut ekspresi Affandi mungkin di umur 70-an meski rambut ditampilkan rapi.
Memang sosok Affandi saat sepuh jauh lebih dikenal masyarakat. Makin tua makin eksentrik, menjadikan ia terkenal. Tak banyak masyarakat kita yang akrab dengan wajah Affandi muda. Bila disodorkan foto usia 30-40-an mungkin jarang yang akan mengenali karena parasnya amat berbeda. Padahal sebetulnya itu adalah masa-masa saat Affandi banyak menghasilkan potret diri yang oleh kalangan yang mengenalnya disebut bercirikan sorot mata muram, rambut pendek, ekspresi muka yang keras, wajah yang tak bahagia.
Periode itu juga adalah masa Affandi subur menjadikan keluarganya obyek lukisan. ”Lukisan Papi yang paling mengesankan saya adalah saat Papi menggambar Nenek,” kata Kartika Affandi. Menurut Kartika, Affandi sangat sayang pada ibunya. Ia terus-menerus menggambar sang ibu, baik ketika perempuan itu gembira maupun sedih. Ada satu lukisan sekitar tahun 1965 berjudul Ibu Marah yang mengharukan Kartika. Menurut Kartika, lukisan itu memperlihatkan wajah neneknya saat marah ketika Affandi pamit hendak pergi ke luar negeri.
Dan cangklong. Sejak kapan maestro ini mengisap pipa cangklong? Cangklong memang identik dengan Affandi tua. Dan itu juga yang menjadi favorit para perupa. Saftari, Bayu Yuliansyah, Sugiyo Dwiarso, Pande Ktut Taman, menggambarkan pipa cangklong dari berbagai perspektif. Berjudul The Smoking Pipe, Sugiyo Dwiarso, misalnya, menggambar pipa cangklong kesepian di atas meja bundar.
Kurator pameran, Wahyudin, selaku pihak yang menyeleksi pelukis memang membebaskan karya. Ia bersama dengan pemilik Galeri Semarang, Chris Dharmawan, selaku penyelenggara tak membatasi tema. Wahyudin lebih menekankan aspek lintas generasi. ”Kita menyuguhkan berbagai aspek pandang dari pelukis seangkatan Djoko Pekik hingga David Armi Putra yang kelahiran 1984,” ujarnya.
Tapi tetap tak banyak sisi kehidupan Affandi yang terlacak selain citra yang sudah populer itu. Padahal Affandi salah satu maestro kita yang kehidupannya paling berwarna. Awal kehidupannya sebagai portir dan pelukis poster film di Bandung, misalnya, adalah periode yang mengundang keingintahuan. Orang ingin tahu poster film apa yang pernah ia gambar. Ia juga dikenal suka bertualang. Cerita bagaimana Affandi mengenakan sarung dikira gembel di Amerika atau Eropa sudah menarik. Belum lagi pergaulannya dengan beberapa modelnya, baik di Yogya maupun di Eropa.
Atau kisah pergumulan spiritualnya yang jarang diungkap. ”Bila Papi ke Bali, hal pertama yang dilakukan adalah Papi minta pemberkatan air suci di Pura Rambut Siwi Negara,” kata Kartika. Affandi begitu menghormati Bali. Sebelum berkelana di Bali, ia berpendapat secara rohani harus meminta izin terlebih dahulu di Pura Rambut Siwi yang merupakan pura terdekat dengan Gilimanuk. Menurut Kartika, sang Papi kemudian menempelkan beras di dahinya.
Hal lain yang paling menancap di ingatan adalah sikap agresif Affandi dalam melukis. Plototan cat dari tube yang langsung disambarkan ke kanvas dan kemudian diusap-digores tangan tanpa melalui perantara kuas. Inilah mungkin yang membuat Agus Suwage memberi judul lukisannya yang menggambarkan Affandi di hadapan cat Hungry to Paint. Para kolektor Affandi seperti Oe Hong Djien sampai kini pun masih memendam ketakjuban, bagaimana melihat Affandi mengalami trans saat melukis. ”Hasilnya menjadi sangat greget dan emosional,” kata kolektor asal Magelang ini.
Hal demikian juga diungkapkan Daoed Joesoef. Cara melukis Affandi dengan intensitas yang cepat, membuat dirinya jungkir balik, belepotan tak keruan, bercucuran keringat, meledak-ledak. ”Seperti kesurupan, makanya jangan dekat-dekat nanti kecipratan cat,” kata Daoed Joesoef.
Bila citra Affandi pada saat sepuh lebih dikenal daripada ketika mudanya, dalam pergaulan publik, yang paling diingat perupa kita agaknya adalah perjumpaannya dengan Chairil Anwar. Padahal dalam biografinya disebutkan bahwa Affandi cukup bersahabat, misalnya, dengan tokoh pergerakan Wikana. Atau Kasman Singodimedjo semasa sekolah di AMS, dan Mohamad Roem. Atau seperti dikisahkan Daoed Josoef di katalog pameran, Affandi juga kenal langsung dengan Soekarno.
Pada titik itu seolah antara Chairil dan Affandi terdapat afinitas ”bohemian” yang besar—keduanya adalah ”binatang jalang dari kumpulan terbuang”. Chairil Anwar sendiri memang pernah membuat puisi yang secara khusus dipersembahkan untuk Affandi, meski ketika ditanya wartawan, Affandi mengaku tak paham dengan larik-larik Chairil. Namun mungkin yang membuat Affandi dan Chairil sering dibicarakan orang adalah gara-gara poster Boeng Ajo Boeng!
Pada 1945 Affandi mendapat tugas membuat poster perjuangan. Soekarno meminta poster itu bergambar orang yang dirantai dan rantai telah putus. Yang menjadi model saat itu pelukis Dullah. Setelah gambar selesai, Affandi membutuhkan kata-kata yang bernas, yang membangkitkan gelora, sebagai seruan poster. Kebetulan lewatlah penyair Chairil Anwar. Pelukis Soedjojono menanyakan kepada Chairil, kata apa yang sebaiknya dibubuhkan. Dengan enteng Chairil menjawab: Bung Ayo Bung! Selesailah poster itu dan diperbanyak untuk dikirim ke berbagai daerah. Ungkapan Bung Ayo Bung menjadi ungkapan yang heroik, seolah seruan agar bangkit. Padahal Chairil mengambil kata-kata itu dari kalimat pelacur Jakarta saat menawarkan dagangan.
Karena itu kita tersenyum ketika Sigit Santoso dan Hari Budiono mampu secara tepat menafsirkan kata-kata itu. Sigit Santoso menampilkan lukisan bertuliskan Bung, Ayo Bung! dengan gambar: seorang anak kecil yang mengacungkan jempolnya berada di antara telunjuk dan jari tengah. Simbol umum tentang persetubuhan.
Akan halnya Hari Budiono dengan judul Bung, Ayo Bung, menampilkan sosok Rubiyem, istri kedua Affandi, tengah menindih seorang laki-laki bertopeng Sukrosono. Sukrosono adalah tokoh wayang buruk muka tapi berhati mulia yang paling diidolakan Affandi. Pada kedua lukisan itu, secara tepat ungkapan Bung Ayo Bung dihubungkan dengan seks.
Tapi tentu soal yang terakhir ini menarik untuk digali. Erotisme Affandi adalah erotika yang tersembunyi, tak banyak diekspos. Affandi, menurut Kartika, sering menggunakan ibunya, Maryati, sebagai model, sampai Affandi hafal lekukan-lekukannya. Affandi juga diketahui orang pernah memproduksi lukisan-lukisan senggama. Dedy Kusuma, kolektor, pada 1992 misalnya pernah ditawari cucu Affandi serial lukisan making love karya Affandi yang sampai menggambarkan kemaluan laki-laki . ”Saya berpikir, menimbang-nimbang satu minggu, karena terlalu erotis.”
Ia akhirnya tak jadi membeli. ”Tapi saya kemudian menyesal.” Untungnya pada awal 2000 dia mendengar dua buah lukisan itu dilelang di Amsterdam, yang kemudian dia buru dan dia ambil. Orang juga mendengar bahwa bekas sopir pribadi Affandi, Pak Djono, yang banyak mengantar Affandi ke mana-mana, memiliki banyak kisah tentang kehidupan ”liar” Affandi. Tentunya, apabila kisah-kisah underground ini digali, akan bisa memunculkan variasi tema.
Citra Affandi lain yang banyak diolah pameran ini adalah bunga matahari, yang bagi Affandi merupakan simbol kegairahan yang tak lekang. Tengok karya Budi Kustarto, Aku, Affandi dan Dia. Budi menampilkan potret dirinya tengah mengunjungi sebuah makam dengan nisan besar bertulisan: H. Affandi, lahir 1907 - WF 23 Mei 1990. Bunga-bunga matahari tumbuh mekar di atas tanah pusara itu. Akan halnya Ronald Manulang dalam Alternate for Affandi’s Legong Bali menyajikan gambar seorang perempuan cantik memegang kipas, dengan belahan rok terbuka sampai pada daerah kelamin. Dan di bagian terlarang itu terdapat tato bunga matahari. Sebuah tafsir yang nakal.
Tapi yang paling menyegarkan adalah bagaimana dalam pameran ini wajah tua Affandi dijadikan idiom industri budaya pop. Menarik, misalnya, melihat Yuswantoro Adi sampai memiliki gagasan mengganti wajah Kolonel Sanders yang menjadi lambang Kentucky Fried Chicken dengan wajah Affandi. Perupa yang sering mengeksplorasi dunia anak-anak ini menampilkan seorang anak di sebuah restoran cepat saji, baru saja menandaskan ayam, kentang, es krim, dan pepsi cola. Tembok restoran itu penuh logo bulatan merah dengan gambar wajah tua Affandi dan huruf AFC yang singkatan Affandi Fried Chicken. AFC seolah-olah merupakan salah satu brand paling kuat di dunia.
Akan halnya Putut Wahyu Widodo dalam karyanya berjudul Stylissimo (Homage to Affandi) memperlihatkan sesosok tubuh perempuan dengan gaya busana rok dan baju mini. Di bawah pusarnya ada tato wajah sepuh Affandi tengah menyedot pipa. Tampak tato itu tak ubahnya stiker Marilyn Monroe, Che Guevara, Kurt Cobain, Bob Dylan, Madonna, atau Ho Chi Minh yang membanggakan. Seolah siap dipertontonkan di mal-mal.
Affandi pada titik ini memang seolah berada di deretan tokoh simbol perlawanan. Affandi was Punk, tulis Eddi Hara dalam lukisannya. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa pada diri Affandi kita temukan nilai-nilai pemberontakan berspirit punk. Affandi, yang bengal sepanjang hidupnya, tak patuh pada masyarakat dan tak kompromi bila melukis.
Jadi? Wajah tua, berambut dan berjanggut putih acak-acakan, dan bila tertawa ompong, meski itu-itu saja yang dieksplorasi, ternyata cocok juga sebagai ikon budaya pop. Ia bisa ditempel di mana-mana, dari dinding resto sampai pusar. Tak kalah dengan Kolonel Sanders.
Seno Joko Suyono, Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo