Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kartika, Patung-patung Falus itu

Kartika adalah saksi mata perjalanan Affandi. Pengaruh kuat bapaknya terhadap lukisannya tak tersangkalkan. Namun dalam setahun terakhir ini ia menghasilkan karya berbeda, dengan obyek khusus.

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartika Affandi termasuk orang yang paling sibuk mempersiapkan perayaan 100 tahun Affandi. Dari Kartika untuk Affandi, ia menamakan pamerannya di V-art Gallery Yogya pada Maret lalu. ”Saya jual karya-karya saya dengan harga murah untuk dana peringatan kelahiran Papi.”

Kartika bisa disebut orang yang paling mengerti ”roh” kesenian Affandi. Dari kecil ia mengikuti pengembaraan sang Papi ke India dan Eropa. Suatu saat, pada 1951, ia ingat Affandi mengajak dirinya dan ibunya, Mariati, ke Candi Madhu Rai, India Selatan.

Ketika itu ada upacara. Affandi begitu ingin menyaksikan patung-patung yang disucikan. Tapi, selain yang beragama Hindu dilarang masuk. Affandi lalu mengaku diri, istri, dan anaknya adalah Hindu. ”Saya ingat prasyarat ikut upacara itu seluruh tubuh kami harus dipoles dengan tahi sapi.”

Masih banyak cerita unik tentang Affandi yang dikenang Kartika. Dari kisahnya dapat ditarik kesimpulan, bagaimana Affandi, meski tak suka membaca, haus akan pengalaman. Bila Kartika dianggap secara mendarah daging menguasai teknik dan gaya impresionistis Affandi, sesungguhnya warisan utama Affandi adalah: jiwa-bebas untuk menyaksikan keaneragaman hidup.

Seperti Affandi, ia suka melukis on the spot tentang masyarakat, dari tukang perah sapi di Austria sampai pedagang jalanan di Prambanan. Seperti sang Papi, ia juga sering merefleksikan perasaannya, kecemasannya, dan kegeramnya dalam rangkaian potret diri.

Pada 2004, Kartika mengadakan pameran tunggal di Galeri Nasional Jakarta, Looking Back through Life. Yang menggetarkan adalah menyaksikan lukisannya My Father is Painting. Sosok Affandi telanjang bulat tengah bermain dengan cat. Tertulis di situ gambar itu diciptakannya pada 1989, setahun sebelum kematian Affandi.

Namun, dari pameran itu juga tampak bahwa Kartika memiliki kegelisahan; ia terus-menerus berusaha keluar dari bayang-bayang papinya. Suatu kali ia pernah berkata bahwa ia lega karena menurut Affandi ada perbedaan utama antara karyanya dan karya putrinya. Karya Kartika sangat memiliki unsur feminin. Memang, menyaksikan lukisan Kartika, meski ”secorak” dengan Affandi, ekspresinya lebih halus, tak segarang bapaknya. Tapi toh secara umum orang tetap merasakan Kartika tak bisa membebaskan diri dari ”atmosfer” Affandi. Maka bila tiba-tiba terbetik kabar bahwa selama setahun ini Kartika membuat patung-patung yang lain daripada yang lain, patung tentang falus—yang berbeda sekali dengan karyanya sebelumnya—tentu itu kabar menarik.

Kartika tertawa ketika ditanya soal itu. ”Sebetulnya pada 1980-an, ketika tinggal di Wina, Austria, saya banyak membuat lukisan telanjang,” katanya siang itu di rumahnya yang asri di kawasan Pakem, Yogyakarta. Ia berkisah ketika sekolah restorasi di Academie der Bildenden Kunste fur Technologie und Conserviering. Ia merasa kesepian. Lingkungan yang terbuka lalu membuatnya tak rikuh melukis tema nude. ”Lukisan itu tidak pernah saya pamerkan,” katanya. ”Patung-patung penis ini mungkin juga baru beberapa tahun lagi saya pamerkan,” tambahnya.

Dan seorang cucunya kemudian mengantar, menuju sebuah studio yang terpisah dengan ruang utama. Di sana patung-patung yang terbuat dari resin itu dipajang. Segera terlihat patung kemaluan pria dengan ujung ”topi”-nya dalam berbagai bentuk: muka ayam, anjing, ikan. Tidak jorok, tidak vulgar, malah jenaka. ”Penis-penis” itu tidak tegang tapi dibuat plastis. Sebuah karya, misalnya, terdiri dari tiga penis berkepala ikan, monyet, ayam, lengkap dengan buah zakar yang saling melilit.

Ide membuat patung penis itu, menurut Kartika, tidak berasal dari simbol lingga-yoni di candi kita, tapi dari kawasan lampu merah di Belanda. ”Di red-district itu ada etalase yang menampilkan kondom yang lucu-lucu.” Dan ia ingin membuat ”kondom” yang memetaforakan sifat seksualitas laki-laki yang menurut dia tak pernah puas. ”Ayam jago yang berjengger adalah simbol laki-laki yang sudah memiliki istri tapi tetap mengais-ngais perempuan lain,” katanya. Dan ikan, katanya, adalah sifat laki-laki yang licin. ”Kita ladeni (layani) dalam segala hal, tapi selalu masih saja kita salah.”

Ada karya berbentuk dua penis berwajah anjing yang saling melilit. ”Ini tentang pasangan homoseksual,” tuturnya. Sebagai pelukis ia merasa hambar apabila patungnya itu dibiarkan polos tanpa warna. Maka ia mengecat patungnya warna-warni. Kini ia tengah persiapan membuat beberapa bentuk ukuran falus dengan besar dan panjang yang berbeda. ”Judulnya nanti Silahkan, Mana yang Cocok dengan Anda,” katanya.

Tambah tua agaknya tambah liar imajinasinya. Baginya, menggambar dan membuat patung nude adalah persoalan kemanusiaan. Affandi, menurut dia, melakukan studi nude pada 1950-an dengan obyek Mariyati—ibu Kartika. Sewaktu di Eropa pun Affandi sering menyewa mahasiswa seni rupa yang terbiasa menjadi model nude.

Ia sendiri, pada 2004, di Pelabuhan Ratu, sempat menggambar telanjang pelacur-pelacur di pantai. ”Saya masuk kamar mereka, lantainya tanah tapi tempat tidurnya bagus.” Ini bukan hal baru bagi Kartika. Ia ingat, pada 1975, setelah bercerai dari Sapto Hudoyo, ia pernah tinggal bersama dengan pelacur-pelacur di Jakarta. Tepatnya di daerah Tanah Abang. Di situ ada rumah empat tingkat: tingkat satu digunakan salon, tingkat dua untuk kamar esek-esek, tingkat tiga untuk keluarga pemilik bisnis itu, lantai empat ia sewa. Setiap hari ia mengobservasi dan mewawancarai dan kemudian menggambar mereka.

Selain patung falus, di tamannya yang luas di Pakem itu ada sebuah patung berbentuk vagina yang diletakkan di pojok taman. Tinggi dan dicat merah. Sesungguhnya patung itu untuk pameran pada 2004 di Galeri Nasional. ”Ini untuk pintu masuk pengunjung, tapi saya diingatkan bahwa saat itu bulan puasa,” kata Kartika. Walhasil, ”gerbang masuk” itu pun diganti dengan karya berbentuk bibir.

Di usianya yang hampir 73 tahun ia makin bergairah melakukan eksperimen radikal. Kartika mengaku suka dengan tantangan. Daya hidup adalah warisan ayahnya. Ibu 8 anak, 19 cucu, dan 5 cicit ini sangat antusias bercerita tentang perjalanan kelilingnya menggambar di berbagai pelosok daerah dan dunia, tentang ular yang suka melintas di ruang kerjanya, tentang mahasiswa perkebunan yang suka riset di tamannya, tentang almarhum suaminya Sapto Hudoyo, tentang cita-citanya membuat museum karya-karya perempuan, dan tentang bagaimana ia terus-menerus melukis papinya pada detik-detik menjelang akhir hidupnya.

Dan juga tentang kesepiannya. Bagaimana membuat patung falus adalah bagian dari hiburan, imajinasi, dan refleksi parodisnya tentang laki-laki. ”Saya bisa memeluk patung-patung ini sudah seneng banget...,” ia bergurau.

Seno Joko Suyono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus