Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Buruh wanita: mengapa malah dijemur?

Komentar terhadap buruh perempuan di pabrik garment yang dituduh mencuri, dan dihukum. agar masalah ini tidak dipandang sebagai persoalan kriminal, tapi hubungan buruh dan pengusaha.

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhana, buruh perempuan di pabrik garmen PT WS, Jalan Raya Mauk, Tangerang, tiba-tiba mendapat haid sewaktu bekerja. Untuk mengatasi hal yang tak diduganya ini, ia mengambil beberapa potongan kain dan sehelai celana dalam (komoditi produk perusahaan) apkiran. Pada saat itulah majikannya (pengusaha) melihat dan menuduhnya mencuri, yakni setelah kaus dan roknya diangkat untuk diperiksa. Lalu ia dihukum jemur pada waktu makan siang. Setelah lebih dari satu jam dipanggang terik matahari, Muhana, yang tak sempat makan pagi sebelum bekerja dan tidak bisa makan siang karena dihukum, jatuh pingsan. Gejala ini merupakan personifikasi persoalan perempuan, yaitu tidak diakuinya kodrat seorang perempuan karena ia perempuan hak istirahat selama haid tak diberikan kepadanya. Ini berarti tak dilindunginya kesehatan reproduksi perempuan. Pengabaian ini merupakan watak dari suatu masyarakat yang mensubordinasikan perempuan, suatu watak dari tata masyarakat patriarkis. Muhana, buruh perempuan yang tak bisa mengatasi persoalan kesehatan reproduksinya karena tak diberi cuti haid dan pelayanan kesehatan oleh pengusaha malahan dituduh: melakukan pencurian. Tuduhan itu jelas menguburkan persoalan kesehatan reproduksi perempuan dengan memunculkan persoalan lain yang disebut kriminal. Itu justru dilakukan secara langsung oleh seorang perempuan, CS, pemilik PT HS. Dengan demikian, CS tidak melihat persoalan itu sebagai sesama perempuan yang karena kodratnya punya persoalan biologis. CS bertindak sebagai pemilik perusahaan yang kepentingan objektifnya terletak pada kelangsungan akumulasi modal. Dengan demikian, CS berusaha menghilangkan hal-hal yang mengganggu proses produksi. Persoalan Muhana bukanlah persoalan pribadi antara dia dan CS yang emosional, tapi persoalan ketimpangan struktural antara buruh dan modal. Juga bukan hanya persoalan perempuan, tapi persoalan buruh secara keseluruhan. Perjuangan perempuan buruh adalah bagian dari perjuangan buruh. Pengorbanan perempuan karena dirinya perempuan dalam kasus itu berjalan di atas dasar hubungan perburuhan kapitalistis pengorbanan itu adalah demi kelangsungan laba perusahaan. Patriarki bekerja jalin-menjalin dengan tata ekonomi kapitalistis yang tegak di Indonesia. Muhana hanya salah satu contoh. Persoalan Muhana-CS juga terjadi di banyak kasus di negeri ini, yang biasanya menjadi kabur bila dilihat sebagai persoalan individual. Kami menyerukan agar persoalan Muhana tidak dipandang dan diperlakukan sebagai persoalan kriminal (penganiayaan), tapi sebagai persoalan hubungan buruh-pengusaha. ITA D. ASKAMAL Manajer Yayasan Kalyanamitra Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus