Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERAP kecolongan dalam menangani penyakit berbahaya tak membuat para pejabat kita lebih waspada. Saat virus flu burung alias Avian influenza menyerang jutaan unggas di berbagai daerah pada awal tahun lalu, pembasmian tidak dilakukan maksimal. Kini mereka baru tergopoh-gopoh menyusun seribu rencana setelah virus maut ini semakin menyebar dan akhirnya merenggut jiwa manusia.
Kabar duka itu tersiar dari Tangerang, Banten. Iwan Siswara Rafei, 37 tahun, seorang warga Serpong, tiba-tiba tewas setelah mengalami flu berat dan demam. Kematian yang mencurigakan karena empat hari sebelumnya anak bungsunya yang menderita sakit yang sama juga meninggal. Hanya berselang sehari setelah Iwan berpulang, anaknya yang kedua pun menyusul.
Sesudah melakukan penelitian, Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari melontarkan kecurigaan: mereka terkena virus flu burung. Kontroversi terjadi karena pada waktu yang berimpitan, Menteri Pertanian Anton Apriantono tetap berkeyakinan virus H5N1 yang menyerang unggas di Indonesia tidak berbahaya bagi manusia. Buktinya, ada orang Sulawesi Selatan yang positif terkena virus ini sampai kini masih segar-bugar.
Keyakinan itu ternyata keliru. Khalayak terhenyak ketika hasil uji di laboratorium rujukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Hong Kong diumumkan pekan lalu. Terbukti Iwan dan anaknya positif terkena H5N1, subtipe virus flu burung yang ganas. Inilah pertama kali korban manusia yang meninggal karena virus flu burung ditemukan di Indonesia. Sebelumnya virus ini telah membunuh 6 orang di Hong Kong pada 1997, kemudian menyebar ke negara Asia lainnya. Di Vietnam mematikan 14 orang pada 2004, dan di Thailand menyebabkan 5 orang meninggal pada tahun yang sama.
Jika sang Menteri saja semula kurang yakin tentang bahaya virus maut itu bagi manusia, bisa dibayangkan bagaimana keseriusannya melakukan pencegahan selama ini. Di atas kertas, memang tidak ada kemajuan. Data Departemen Pertanian menyebut, sampai Februari 2004 flu burung telah mematikan sekitar 6,2 juta unggas di 80 kabupaten yang tersebar di 11 provinsi. Kini wabah ini justru merebak ke 132 kabupaten/kota di 21 provinsi, dan total unggas yang mati bertambah menjadi 9,5 juta ekor.
Bukan berarti tidak ada upaya yang dilakukan. Sebuah pedoman tentang pemberantasan flu burung telah dikeluarkan oleh Dirjen Bina Produksi Peternakan pada Februari 2004. Petunjuknya lengkap, mulai dari karantina hewan yang terkena virus, vaksinasi, pemusnahan, sampai urusan penyadaran masyarakat. Hanya pelaksanaannya yang kurang serius, dan juga kurang dana. Karena tak mendapat pasokan, banyak peternak membeli vaksin tak resmi yang terkadang palsu.
Pernyataan menteri yang berbeda nada juga menggambarkan tidak adanya koordinasi yang rapi dalam mengatasi flu burung. Belum lagi soal anggaran. Setelah Iwan dan dua anaknya meninggal, barulah pemerintah mencari dana untuk mengatasi wabah itu. Padahal flu burung telah meluas tahun lalu. Menteri Pertanian akhirnya memakai separuh anggaran tanggap darurat sebesar Rp 104 miliar, yang semula untuk membeli bibit tanaman dan ternak serta menangani bencana.
Kini pemerintah baru tergerak pula meneliti penyebaran flu burung ke Indonesia. Diduga virus H5N1 ditebarkan oleh rombongan burung yang bermigrasi dari Australia ke daratan Asia dan sebaliknya. Burung-burung liar yang suka beristirahat di pesisir Indramayu dan Cirebon itu sering ditangkap penduduk untuk dijual. Selama ini juga tidak ada larangan atau peringatan dari pemerintah kepada masyarakat agar mewaspadai burung-burung penebar maut itu.
Seabrek pekerjaan rumah yang tertunda membuat upaya pembasmian flu burung sekarang bertambah berat. Apalagi pemerintah juga harus mengungkap teka-teki, dari mana sebenarnya Iwan dan anaknya tertular virus itu. Mengungkap misteri ini amat penting agar mata rantai penularan bisa diputus segera.
Seharusnya pula pemerintah melakukan langkah pemusnahan ternak yang terbukti mengidap virus flu burung sejak dini. Sejak April lalu di Tangerang terdapat peternakan babi yang dipastikan terkena flu burung. Tapi baru sekarang upaya pemusnahan dilakukan, termasuk terhadap unggas dalam radius tiga kilometer dari peternakan itu. Untuk menghindari kesalahan yang sama, aksi pemusnahan mesti segera dilakukan pula terhadap sejumlah peternakan di daerah lain yang berstatus "tertular" seperti di sejumlah kabupaten di Sumatera Utara.
Pemerintah juga perlu membuka semua kasus flu burung di pelosok mana pun di negeri ini. Sebab, sikap menutup diri justru akan mengundang bahaya lebih besar. Ini pernah dilakukan Cina saat diserang sindrom pernapasan akut parah (SARS). Akibatnya fatal, karena virus dibiarkan menyebar ke negara lain. Menangani flu burung pun mesti dilakukan dengan terbuka dan membutuhkan kerja sama dengan negara lain serta WHO, karena keganasannya mengancam seluruh umat manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo