Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Damai di Aceh dari Helsinki

Dengan pendekatan praktis, semua pihak sebaiknya menyambut penyelesaian damai untuk Aceh. Jangan terlalu mempersoalkan hambatan teknis saat ini.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika memang air mata dan darah tak boleh lagi tetes setitik pun, berunding adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh. Jusuf Kalla, seperti biasa, hanya menggunakan pikiran sederhana tapi mengena ketika mengatakan itu. Ia membalas kritik yang ditujukan terhadap rangkaian perundingan informal antara pihak pemerintah dan perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia. Sekarang draf nota kesepahaman sudah diparaf bersama, tapi kritik dan tentangan belum hilang sama sekali.

Pro dan kontra antara perdamaian melalui meja perundingan dan melanjutkan perang di medan pertempuran selalu timbul dalam memilih cara penyelesaian konflik bersenjata. Di belahan bumi mana saja dan sepanjang sejarah hal itu biasa terjadi, sehingga bukan merupakan masalah istimewa. Pertentangan garis keras dan garis lunak pun tajam tatkala Perjanjian Linggajati dan Renville ditandatangani dalam perang kemerdekaan Indonesia dulu. Merebut Irian Barat kembali, dan konfrontasi dengan Malaysia, yang dimulai dengan gerakan militer, akhirnya juga diselesaikan melalui saluran perundingan.

Sekarang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih penyelesaian konflik secara damai untuk masalah Aceh, mengandalkan apa yang disebutnya sebagai soft power. Tak urung kritik tetap dilancarkan terhadap berbagai segi musyawarah Helsinki, dari soal isi yang dirundingkan sampai soal sifat dan kedudukan perundingan dengan GAM itu sendiri. Sebenarnya ada inkonsistensi dalam berbagai kritik itu: kalau yang dimasalahkan adalah prinsip sah-tidaknya perundingan, mestinya isi yang dirundingkan tak relevan lagi untuk ditolak dan dipersoalkan.

Dalam soal substansi, seperti gugatan terhadap dibolehkannya mendirikan partai lokal di Aceh nanti, juga ada semacam inkonsistensi. Pengecualian khusus bagi Aceh itu dianggap membuka jalan menuju pecahnya negara kesatuan Indonesia. Padahal sebelumnya suatu pengecualian yang lebih ekstrem sudah diberikan, yaitu berlakunya syariat Islam di daerah otonomi khusus Aceh. Penyimpangan konstitusional dan asas kesatuan hukum negara akibat berlakunya syariat Islam ini jauh lebih serius daripada soal partai politik lokal. Kalau dulu berani menyimpang, mengapa sekarang harus khawatir? Kedua pengecualian itu pada hakikatnya ialah sarana untuk menjaga keutuhan negara kesatuan Indonesia, dengan Aceh di dalamnya.

Inkonsistensi juga terjadi pada reaksi sebagian anggota DPR yang mempersoalkan sahnya kesepakatan Helsinki karena dibuat sebelum mendapat persetujuan DPR. Sebelumnya, rangkaian negosiasi informal di Helsinki itu dikecam karena mencerminkan internasionalisasi masalah Aceh, yang sesungguhnya cuma persoalan dalam negeri. Tak pantas bila pemerintah memberikan kedudukan setara kepada pemberontak GAM. Sekarang, dengan menuntut agar DPR dimintai persetujuan, berarti kesepakatan perdamaian Helsinki itu diperlakukan sebagai perjanjian internasional. Jadi yang melakukan internasionalisasi perundingan Helsinki justru para anggota DPR itu sendiri, bukan pemerintah.

Semua pihak tak perlu menempatkan kesepakatan Helsinki sebagai perjanjian internasional. Karena itu tak perlu ratifikasi atau persetujuan DPR. Adanya bau atau keterlibatan internasional dalam mengawasi—yang wajar karena dibutuhkan sebagai jaminan pelaksanaan kesepakatan—tidak menjadikannya sebagai perjanjian antarnegara. Pemerintah merasa yakin akan memperoleh dukungan mayoritas di DPR. Sebaiknya didukung, agar air mata dan darah berhenti mengalir di Aceh sejak saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus