Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI itu keluarga Iman Dimejo, 65 tahun, tak pergi berladang. Se-sepuh Desa Jrakah di lereng Gunung Merapi itu mesti menyiap-kan berbagai sesaji untuk sebuah acara tradisional malam harinya. Ubo-rampe yang mesti tersedia cukup beragam: tumpeng nasi jagung, tempe bungkil, kedelai hitam, tempe bakar, dan lain-lainnya. Inilah sesaji komplet untuk meredakan amarah Merapi yang mulai tersulut dua pekan terakhir.
”Seharian kami mempersiapkan tum-pengan ini. Kami percaya doa kami akan didengar Yang Mahakuasa dan sesaji ini diterima Mbah Buyut Merapi,” tutur Iman, serius. Sejak dulu warga di lereng Merapi memang sepenuhnya percaya bah-wa selamatan tumpeng nasi jagung tiap malam Jumat Pon merupakan cara un-tuk bersahabat dengan Merapi. Bahkan pun jika sang gunung mesti meletus me-muntahkan lava dan menyemburkan awan panas, warga percaya ”dia” tak akan menyakiti. ”Kepercayaan itu sudah turun-temurun.”
Maka malam itu, 14 Juli lalu, ribuan war-ga di punggung Merapi mendatangi ru-mah sesepuh desa mereka. Ini memang se-buah tumpengan di luar kebiasaan. Da-lam keadaan normal, biasanya tumpeng-an dilakukan hanya dengan perwakilan tiap desa. Tapi kali ini hampir semua ”puak” di Merapi terlibat langsung. Apa bo-leh buat, Merapi memang tengah meriang pada hari-hari ini.
Hingga pekan lalu status salah satu gunung teraktif di dunia itu masih ”waspada Merapi” (dari sebelumnya aktif normal). Sta-tus itu berarti warga mesti bersiaga un-tuk mengungsi jika Merapi meletus. Ba-lai Penyelidikan dan Pengembangan Tek-nologi Kegunungapian (BPPTK) Yog-ya-karta, yang memantau polah Merapi, men-dapati gempa vulkanik dan guguran lava terus meningkat sejak dua pekan lalu. Mulai saat itulah berbagai persiap-an dilakukan.
Kemungkinan terburuk, seperti saat ter--jadi letusan-letusan hebat sebelumnya, bukan tak mungkin terjadi. Apa-lagi sudah lebih dari empat tahun gunung se-tinggi 2.911 meter itu tidak menunjuk-kan aktivitas berarti. Terakhir Merapi me-letus pada Februari 2001. Letusan ka-la itu terjadi setelah didahului peningkat-an ak-tivitas selama sekitar sebulan. Letus-an hebat lain terjadi pada 1984 yang menyebabkan 69 orang tewas, serta pada 1997 ke-tika 18 ribu orang terpaksa mengungsi.
Ada puluhan ribu jiwa yang kini ber-mu-kim di lereng Merapi. Di lereng selat-an, Desa Kinahrejo dan Turgo (Kabupaten Sleman) adalah wilayah yang dekat de-ngan puncak. Di sebelah barat ada Desa Ke-miren dan Jurangjero (Kecamat-an Srum-bung, Kabupaten Magelang). Semen-tara di sebelah utara, Desa Tlogo-lele, Jra-kah, dan Klakah adalah area tertinggi di wilayah itu. Kini tiga desa di wilayah Ka-bupaten Boyolali itu dalam ancaman. Se-bab, berdasar pengamatan Badan Vulkanologi Yogyakarta, bila gunung mele-tus, guguran lava dan luncur-an awan panas diperkirakan mengarah ke utara.
Apalagi tiga desa itu hanya berjarak 3,5-7 kilometer dari puncak. Dengan ke--cepatan luncuran 60 kilometer per jam, wedhus gembel (nama julukan untuk ”awan panas”) hanya butuh waktu ku-rang dari lima menit untuk melumat per--mukiman penduduk di sana. Sebuah ho-ror yang mengerikan karena ada sekitar 10 ribu jiwa yang bermukim di desa-desa itu.
Horor itulah yang ingin dicegah peme-rin-tah setempat. Berbagai persiapan dila-ku-kan, mulai dari sosialisasi informasi hingga simulasi evakuasi penduduk. Ca-mat Selo, Luwarno, memerlukan menyam-bangi setiap dusun untuk menga-barkan kondisi Merapi. ”Saya temui para tokoh ma-syarakat setempat untuk merancang per-temuan dengan warga,” katanya.
Tugas Luwarno memang cukup me-nan-tang karena warga Merapi punya cara sendiri merespons lingkungannya. Sebab, berbagai kepercayaan tradisional yang mereka anut kadang tak selaras dengan hasil pengamatan berbasis teknologi.
Saat ini, misalnya, warga hakulyakin Me-rapi masih aman. Memang, mereka tak akan pernah lupa pada bencana-bencana sebelumnya. Pada malam tumpeng-an itu pun, di depan warga, Iman Dimejo menceritakan kembali letusan hebat pa-da 1954 saat saudara kandungnya ikut men-jadi korban. Toh, warga masih yakin bah-wa alamlah yang akan mengirimkan pe-san sejati kepada mereka jika bahaya mengancam.
Salah satu pesan alam yang mereka ak-rabi adalah berupa jumlah lindu (gem-pa vulkanik kecil) dalam satu hari. ”Ka-lau lindu-nya hanya tiga kali sehari, ka-mi belum terlalu khawatir,” tutur Mitro, warga Desa Jrakah. Mereka baru akan siap mengungsi jika lindu terjadi tujuh ka-li sehari.
Pesan lain yang mereka anut be-rupa hamburan hewan yang menjauhi pun-cak dan petir yang sahut-me-nyahut jika baha-ya mengintai. Belakang-an ini memang sering turun hujan -deras di kawasan tersebut. ”Tapi belum ada petir yang meng-gelegar,” kilah Su--pardi, Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Jrakah.Se-lain pada bisikan alam, warga Merapi ju-ga menggantungkan kepercayaan pa-da para tetua kampung yang dianggap mam-pu berkomunikasi dengan penunggu gunung. Itu sebabnya, ketika Selasa pekan lalu pemerintah setempat menggelar si-mulasi evakuasi, tak seluruh warga di area berbahaya mengikutinya.
Adalah warga Dusun Stabelan, Desa Tlo-golele, yang enggan latihan karena ya-kin Merapi masih aman. ”Kami selalu mendapat kabar dari danyang (penunggu) Merapi jika mau meletus. Sampai sa-at ini kami masih merasa aman-aman,” ucap Sukarmo, 80 tahun, seorang yang di-tua-kan di Stabelan. Dia mengaku te-rus melakukan kontak batin dengan da-nyang Merapi guna mendapatkan pesan (wangsit). Sesuatu yang juga dilakukannya ketika Merapi meletus 2001 silam.
Bagaimana kontak batin dilakukan? ”Dengan roso (rasa). Hal itu ndak bi-sa diungkapkan dengan kata-kata. Su-sah menjelaskannya, Mas,” ujar Parto Pa-wi-ro, tetua lain di Stabelan, pekan lalu. Kon-tak batin itu, kata dia, sudah seperti antar-keluarga sendiri karena siang-malam mereka selalu berdekatan. Alias, Parto tak perlu semadi atau semacamnya untuk memetik wangsit.
Menurut dia, wangsit bisa dirasakan se-cara tiba-tiba, atau bisa juga lewat mimpi. ”Seperti baru-baru ini, saya mimpi di-datangi Mbah Buyut Merapi yang menya-takan keadaan masih aman,” kata-nya.
Kelak, ketika Merapi benar-benar meletus, Parto masih memiliki penangkalnya. Itulah keris Singkir Geni yang diwarisinya secara turun-temurun. Keris itu diyakini Parto dan warga lain memiliki kekuatan membelokkan wedhus gembel yang mengarah ke permukiman. ”Keris itu tidak bisa dikeluarkan sembarangan, hanya saat-saat tertentu,” ujarnya ketika Tempo ingin melihatnya. Terakhir keris itu dikeluarkan dari penyimpanannya pada 2001.
Seluruh mitos itu kini kembali menye-ruak ke permukaan. Untunglah pemerin-tah setempat tak memilih cara kaku untuk mengabarkan bahaya letusan Merapi. Seperti Camat Luwarno yang memilih mendekati para tetua kampung, para kepala desa pun mencadangkan kesabaran untuk berdialog dengan warga. Menurut Kepala Desa Tlogolele, Budi Harsono, kepercayaan dan mistik di kalangan warga sudah diyakini secara turun-temurun hingga mendarah daging. ”Jika ada pemahaman baru, harus disosialisasi dengan hati-hati dan sabar,” kata Budi.
Ketelatenan pendekatan semacam itu tampaknya bakal memberi kebaik-an pada semua. Luwarno, misalnya, mengaku sudah berhasil meyakinkan warga Stabelan untuk menggelar simula-si evakuasi. Saat ini mereka tinggal me-nunggu waktu pelaksanaannya saja.
Di sisi lain, keyakinan tradisional warga di lereng gunung juga tak terusik. Betapapun, mereka sudah secara turun-temurun tinggal di kawasan itu. Sebuah ”ikatan” batin sudah terjalin antara mereka dan Merapi. Seperti kata Parto Pawiro, ”Kami bagian dari Merapi, dan Merapi bagian dari hidup kami.”
Tulus Wijanarko, Anas Syahirul (Boyolali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo