Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Jakarta tak selalu brutal jika melakukan protes. Kesal karena jalur lambat di depan Kedutaan Besar Australia di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, ditutup berbulan-bulan sehingga menimbulkan kemacetan, warga melakukan aksi. Tidak mengarak poster, bahkan tidak berjalan kaki turun ke jalan. Protes dilakukan dari dalam mobil dengan membunyikan klakson.
Meski tak semua pengendara membunyikan klakson, karena mempertimbangkan ada rumah sakit di dekat kedutaan itu, toh suaranya sudah didengar pihak Kedutaan Besar. Juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O'Neill menanggapinya dengan meminta maaf kepada warga kota. Mereka berjanji membuka separator (pagar pembatas) di jalur lambat itu jika perbaikan pagar dan gedung kedutaan sudah selesai. Sampai kapan? "Setidaknya dalam beberapa bulan mendatang, kami meminta pengertian warga Jakarta," kata O'Neill melalui siaran pers.
Pagar dan tembok depan gedung Kedutaan Australia memang rusak ketika bom meledak di jalur lambat itu pada 9 September tahun lalu. Sejak itu jalur lambat diblokir, mula-mula untuk memperlancar penyidikan polisi, kemudian diperpanjang untuk pengamanan pekerja yang merenovasi pagar dan gedung. Namun, setelah 10 bulan berlalu dan tidak tampak lagi ada pekerjaan memperbaiki pagar, jalur lambat tetap saja ditutup.
Akan halnya di Kedutaan Besar AS, tidak ada apa-apa yang meledak. Kisah berdirinya separator pun beda. Awalnya adalah permintaan Kedutaan AS untuk membangun pagar tinggi di depan gedung setelah banyaknya aksi unjuk rasa ke kantor perwakilan itu. Apalagi warga AS trauma terhadap serangan teroris pasca-11 September yang meruntuhkan gedung kembar Word Trade Center. Gubernur Sutiyoso tidak memberikan izin pembangunan pagar tinggi karena melanggar aturan, namun memberikan izin untuk memasang pembatas jalan dalam waktu terbatas. Kini unjuk rasa sudah berkurang, separator tetap berjejer.
Sutiyoso mengaku sudah melayangkan surat ke kedua kedutaan ini agar membuka pembatas jalan itu. Alasannya, selain mengganggu arus lalu lintas, situasi keamanan sudah berbeda. Ia berjanji memberikan surat yang lebih tegas agar jalur publik itu segera dibebaskan.
Sutiyoso benar. Kedutaan negara lain tak ada yang melakukan pemblokiran jalan umum. Kalau takut terhadap aksi unjuk rasa yang merangsek ke gedung kedutaan, hal itu tentu berlebihan karena aparat kepolisian siap mengamankan. Bukankah polisi sudah diterjunkan ke sana, bahkan sewaktu-waktu ditambah jumlahnya jika diperkirakan keamanan terganggu. Jalan di depan Istana Merdeka, misalnya, tak pernah dipasangi separator, padahal hampir setiap hari ada aksi unjuk rasa di sana. Sampai saat ini polisi belum pernah kebobolan dan pelaku aksi tak ada yang bisa lolos masuk ke Istana.
Adanya pembatas jalan yang merugikan masyarakat dan pengamanan yang mencolok juga memberikan kesan Jakarta tidak aman bagi orang asing. Memang, aksi bom pernah menteror Kedutaan Besar Australia, tetapi hal itu tidak dapat dijadikan alasan ketakutan berlebihan. Kewaspadaan perlu dan pengamanan pun perlu, namun bagaimana semuanya itu dilakukan dengan tidak mengorbankan hak orang lain. Kalau memang Kedutaan Besar Australia dan Amerika Serikat ingin "sempurna" betul tingkat keamanannya, cari saja lahan yang luas, sehingga letak kantor berjauhan dengan jalan raya dan tidak saling mengganggu. Jika tetap di tempat sekarang, ya, singkirkan selekasnya separator itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo