Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUNGLAH hampir semua calon presiden dan wakilnya memasukkan bab hukum dalam program mereka. Menumpangkan masalah hukum pada pemerintahan mendatang tampaknya merupakan keharusan. Orang bilang, dari sekian aspek reformasi, bidang hukum jauh dari rampung. Ambil masalah penegakan hukum. Sinyalemen adanya mafia peradilan sudah seperti ekspresi klasik. Dari rezim lama hingga ke rezim sekarang, orang selalu mengeluhkan masih ramainya praktek ini. Terakhir sampai ada yang menyatakan Mahkamah Agung sebagai sarang penyamun (TEMPO, 4 April).
Penegakan hukum di pengadilan memang hanya satu aspek dari masalah hukum. Tapi, karena ia berada di muara atau menempati bagian terbesar muara, kenegatifannya sangat membekas di khalayak, lebih-lebih dunia usaha. Ke mana lagi orang mengadu, kalau bukan kepada sang pengadil? Bukankah seperti kata Alexander Hamilton pada abad ke-18: "Justice is the end of government. Justice is the end of civil society. It ever has been, and ever will be pursued, until it be obtained, or until liberty be lost in the pursuit."
Ada yang berpendapat, pemberantasan "mafia peradilan" seyogianya didekati da-lam perspektif yang integral dan sistematis. Langkah semacam ini sebagian sudah dilakukan lewat reformasi hukum.
Misalnya, berkat amendemen UUD 45, ditegaskan adanya kekuasaan kehakiman yang sepenuhnya berada di bawah MA. Jadi, MA merupakan penguasa tunggal penegakan hukum. Ini diharapkan akan memudahkan pengawasan terhadap perangai hakim. Tindakan indisipliner, umpamanya, tidak perlu diputuskan bersama dengan instansi lain seperti yang sebelumnya dilakukan dengan Departemen Kehakiman. Jadi, benar-benar mandiri sesuai dengan perintah konstitusi.
Tapi urusan memandirikan ini punya cerita tersendiri. Sebab, ia bukan hanya menyangkut konsep, tapi juga fisik. Ibarat merger dalam konteks korporasi, 30 ribu pegawai dari Departemen Kehakiman dan Departemen Agama yang selama ini juga merupakan administrator para hakim terpaksa diboyong ke MA. Namun, tak seperti perusahaan, yang boleh menawarkan PHK sukarela dengan imbalan yang besar, MA bisa dapat uang dari mana. Akhirnya ya menumpuk.
Terobosan reformatif terlihat pula dengan dibukanya jalur hakim agung nonkarier. Ini pun belum cukup karena kebutuhan meningkat. Jumlah kasus kasasi dan peninjauan kembali terus pula melonjak. Upaya berikutnya, Ketua MA mengembangkan konsep perdamaian antara para pihak yang bersengketa dengan Peraturan MA No. 2 Tahun 2003. Dengan ketentuan ini, gugatan perdata baru akan diperiksa oleh pengadilan negeri, kalau kasus itu sudah diperiksa dengan cara mediasi. Dengan begitu diharapkan berkurangnya perkara yang masuk ke pengadilan.
Langkah lain adalah pengembangan pengadilan niaga. Krisis ekonomi 1997 telah mengharuskan pemerintah melakukan revitalisasi hukum kepailitan, sekaligus membentuk pengadilan niaga, yang merupakan bagian dari pengadilan negeri. Kini sudah ada lima pengadilan niaga, dan lebih penting, lingkupnya menyangkut pula bidang lain, yakni hak kekayaan intelektual. Belum lama ini, bekerja sama dengan Bappenas dan atas bantuan IMF, serta partisipasi LeIP, MA telah berhasil menerbitkan satu cetak biru tentang pengembangan pengadilan niaga. Isinya cukup ambisius namun memang diperlukan, antara lain mencakup masalah kewenangan, sumber daya manusia, transparansi dan akuntabilitas, serta dilengkapi dengan program aksi.
Berkenaan dengan aspek transparansi dan akuntabilitas di atas, telah terbit buku "Laporan Kegiatan 1998-2003 Pengadilan Niaga/Pengadilan Negeri Jakarta Pusat". Ini benar-benar satu produk yang signifikan. Tidak kalah dengan perusahaan kan? Teramat penting adalah perihal kesejahteraan hakim. Maka, berbarengan dengan pengeluaran cetak biru ini, sedang dilakukan satu studi penilaian kebutuhan (needs assessment) pengadilan niaga. Lo, pengadilan lain? Pengadilan niaga baru sebagai proyek perintis.
Di samping cetak biru tentang pengembangan pengadilan niaga, dibuat pula cetak biru pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi, guna menampung perkara yang disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Satu hal yang masih menjadi utang adalah belum terbentuknya komisi yudisial, padahal ini sudah diperintahkan oleh UUD 1945. Lembaga ini sangat esensial sebagai lembaga pengawas pelaksanaan sistem peradilan secara keseluruhan yang tentu saja lebih luas dari lingkup pengawasan internal MA sendiri. Keberadaan komisi yudisial sejalan dengan penyerahan sepenuhnya kekuasaan kehakiman. MA akan gamang dan karena itu tidak bisa dibiarkan sendiri, apalagi dengan tubuhnya yang gemuk sekarang ini. Komisi yudisial juga termaktub dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dapatkah lembaga ini dibentuk sebelum penyerahan kepada pemerintah yang baru?
Tulisan ini sekadar denah kasar, bukan neraca hukum. Tentu masih ada lagi bidang hukum yang belum tekerjakan, sebaliknya tak kurang prestasi lain, termasuk produk legislatif yang telah tertunaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo